Kopi dan Tiket Masuk Surga

Kopi tanpa gula pahit, hati tanpa Allah sempit

Faktanya, dari dulu hingga saat ini kopi menjadi salah satu bahan minuman yang populer di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, yang merupakan salah satu produsen kopi dunia, dalam beberapa tahun belakangan tumbuh kultur kopi spesialitas sebagai variasi dari dominasi kultur kopi instan. “Kopi Hitam” sebagai konsumsi sehari-hari serta nongkrong di kafe, angkringan- kami menyebutnya Warjo “warung ijo, tempat tongkrongan teman-teman  Mahasiswa Nurul Jadid”, sudah jadi bagian dari gaya hidup normal, terutama di kalangan anak muda.

Sepanjang sejarahnya, kopi banyak terlibat dalam berbagai peristiwa menarik di berbagai belahan dunia. Mulai dari peristiwa yang menimbulkan kegegeran, sampai kronik-kronik jenaka. Mulai dari kelompok agamawan hingga kalangan pedagang, punya cerita masing-masing dengan kopi.

Dalam historiografi penyebaran Islam, kopi juga punya tempat tersendiri. Kuatnya kultur ngopi di kalangan bangsa-bangsa Arab membuat kopi menjadi salah satu bekal para penjelajah pendakwah Islam. Tak heran jika sebagian sejarawan mengatakan bahwa, kopi menyebar bersama Islam. Di mana ada Islam, di situ ada kopi.

Secangkir Kopi Surga

Di suatu malam yang santai, bapak memohon dibuatkan secangkir kopi oleh Ibu. Ibu sedang asyik menonton acara kesukaannya terpaksa diam dan menghela napasnya sejenak. Merasakan dengan dalam dan khidmat kegiatan santainya di depan televisi harus terganggu dan melangkahkan kaki ke dapur untuk menjerang air dan menyeduh kopi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ibu. Ia hanya sedikit menghela napas, memberi senyum kecut kepada bapak, segera bangkit dan memulai langkah pertamanya. Tak ingin kalah, bapak pun membalas senyum kecut lengkap dengan mata penuh harap.

Baca Juga:  Dua Barista; Pesantren dan Kritik Sosial

Melihat gelagat orang tua seperti itu, saya tersenyum dalam hati. Terenyuh. Bagaimana seorang Ibu pada saat malam hari, waktu ketika ia beristirahat dari hiruk-pikuk kesibukannya seharian mengurus rumah harus tetap mengiyakan permintaan secangkir kopi untuk bapak. Menurut saya, walau membuat secangkir kopi adalah hal sepele, saya yakin bahwa itu akan menjadi pemberat amal kebaikan Ibu di akhirat kelak. Siapa tahu Ibu saya dan seluruh ibu-ibu masuk surga berkat ketaatannya kepada suami dalam wujud rajin membuatkan secangkir kopi? Bukankah kita tidak pernah tahu amalan mana yang mengantarkan kita ke surga atau, dosa mana yang bisa mengantarkan kita ke neraka?

Amalan itu terlalu abstrak. Walau terdapat banyak keterangan bahwa Allah “mengobral” ganjaran terhadap amal kebaikan seorang hamba, tapi kita tidak pernah tahu secara pasti ukuran, nilai, atau jumlah dari setiap kebaikan yang kita lakukan. Allah punya sistem penilaian yang sangat kompleks yang hanya diketahui oleh-Nya. Tidak seperti dosen atau acara kuis yang punya poin-poin secara khusus dan jelas.

Kebaikan sekecil apapun, kalau kita ikhlas melakukannya, bisa jadi itu yang mengantarkan kita ke surga. Sebaliknya, kebaikan yang dilakukan dengan pengorbanan sebanyak apapun, dengan sumber daya yang tinggi sekalipun, kalau tidak ikhlas justru bisa jadi mengantarkan kita ke neraka.

Alih-alih ingin mendapat pahala dan diganjar surga, eh malah sombong, riya, dan penyakit hati yang dihasilkan. Kalau begitu, jatuhnya lebih dekat ke neraka ketimbang ke surga. Sekali lagi, kita tidak pernah tahu amalan mana yang mengantarkan kita ke surga dan a dosa mana yang bisa mengantarkan kita ke neraka. Bisa jadi, membuat secangkir kopi jika tidak ikhlas justru menjadi penyebab kita masuk neraka.

Baca Juga:  Memilih Cara Masuk Surga: Cara Muhammadiyah atau NU

Benang merahnya adalah: jangan menyepelekan suatu amal perbuatan, baik itu kebaikan ataupun keburukan. Amal kebaikan yang kita anggap kecil bisa jadi sangat bernilai dan berharga di sisi Allah. Sementara dosa yang kita anggap perintilan bisa jadi amat membuat Allah murka.

Hal sepele yang menguntungkan

Kita sudah jamak mendengar kisah seorang pelacur yang diampuni dosanya berkat memberi air kepada anjing yang kehausan, bukan? Secara dzahir, pandangan manusia biasa terhadap seorang pelacur pasti punya persepsi tidak baik. Dan memberi air kepada seekor anjing dianggap bukanlah perkara yang patut dibanggakan. Tapi, Allah tidak sesempit persepsi kita. Allah punya perspektif lain, Allah Maha Rahmah, Allah ampuni dosa pelacur itu.

Kisah lain tentang amalan yang mungkin kita anggap sepele, tapi Allah ganjar dengan pengampunan. Apakah Anda tahu kisah tentang seorang laki-laki yang melihat duri di jalan lalu menyingkirkannya karena khawatir orang lain akan terkena duri itu? “Saat seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah berduri yang menghalangi jalan. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).

Sungguh, Allah itu Pemurah. Hal kecil bisa jadi agung ketika kita tulus dan ikhlas melakukannya untuk kebaikan bagi pihak lain, baik itu manusia ataupun hewan. Dua kisah yang tergores dalam hadis nabi itu sepatutnya membuat kita merenung mendalam tentang hakikat amal kebaikan.

Hal remeh yang sering kali kita lewatkan dalam keseharian karena kita anggap itu kecil dan tidak bermakna, justru bisa jadi punya nilai yang besar dalam pandangan Allah. Maka, jangan sekali-kali kita menyepelekan suatu amal kebaikan, sekecil apapun itu. Walaupun itu hanya secangkir kopi.

Baca Juga:  Imam Ghazali Masuk Surga Karena Seekor Lalat

Melakukan amal ibadah, baik ritual maupun sosial termasuk pada pemberian rahmat Allah kepada kita. Ketika kita melakukan suatu amal kebaikan, yang mungkin dalam pandangan kita itu remeh dan kecil, itu merupakan bukti rahmat Allah membukakan hati kita untuk melakukan kebaikan. Termasuk ketika amalan kecil itu yang menjadikan rahmat Allah turun kepada kita dan dapat mengantarkan kita ke surga-Nya.

Kita masuk surga karena rahmat Allah. Kita tidak tahu bagian hidup mana yang dijatuhi rahmat secara khusus oleh-Nya. Bisa jadi ketika seorang istri membuatkan secangkir kopi untuk suaminya padahal ia sangat lelah. Bisa jadi ketika seorang ayah yang memberi nafkah berupa makan kepada anaknya. Bisa jadi ketika kita memberi sedikit uang kepada yang membutuhkan di jalan.

Kita tidak tahu lewat jalur dan pintu mana masuk ke surga Allah. Karena ketidaktahuan itulah kita harus memperbanyak pintu yang kita masuki. Pintu ibadah ritual, sosial, hingga hal kecil nan remeh-temeh membantu seseorang atau hewan sekalipun. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini