Kontras Dua Imam Hadist: Bukhari Muslim

Di antara banyak ulama hadis, imam Bukhari dan Muslim adalah yang paling beken. Paling tidak masyarakat awam dengan kompetensi terbatas cukup mengerti dua nama itu. Imam Bukhari (256 H)— begitu sering disebut—memiliki nama lengkap Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah Al-Ja’fi Al-Bukhari. Lahir di Bukhara; satu daerah di ma wara’a an-Nahr berjarak sekitar 300 Km dari Samarkand. Ma wara’a an-nahr kini segmentasi bangsa berakhiran ‘Tan’ seperti Pakistan, Khazastan dan sebagainya. Kini, Bukhara masuk bagian negara Uzbekistan.

Sementara Imam muslim (261 H) adalah Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Wardi Al-Qusyairi An-Naisaburi. Al-Qusyairi merupakan suku bangsa Arab. Karenanya, imam Muslim—yang punya kun’yah (panggilan sayang) Abu Husain itu—secara historis bergaris turun Arab murni. Tahdzibu al-Asma wa al-Lughat, (2,89).

Kedua ulama ini punya dedikasi besar dalam sejarah ilmu hadis. Terutama perihal dokumentasi serta pengumpulan beberapa segmen yang mula-mula tercecer tak keruan hingga menjadi kumpulan utuh hadis sahih. Perjalanan intelektual sejoli muhadits itu cukup heroik; dimana semestinya perawi harus memperhatikan betul etika dalam tahammul; menggali, melacak dan mengambil hadis langsung dari sumber (man yunsabu ilaihi qaulun) sampai pada nabi sehingga tersusun sanad bersambung.

Namun tak pelak pula dalam proses pelacakan itu, mereka berdua (juga perawi lain) memiliki metode khas yang demikian ini besar ditentukan oleh kreativitas masing-masing. Gaya yang mereka pakai itu barang tentu juga berdampak pada mutu hadist sebagai objek ijtihad yang pengaruhnya berlanjut hingga kini. Dalam perannya sebagai kurator hadist yang bekerja secara individual, tentu tiap keduanya punya kode etik tersendiri sesuai kepiawaian mereka dalam mencermati esensi hadis.

Imam Bukhari, misalnya, sangat ketat dalam penyeleksian hadist terlebih cara pandangnya terhadap rekam jejak perawi. Sementara Imam Muslim sedikit mentolelir kriteria para perawi namun tetap pada ‘ADRT’ periwayatan hadis.

Baca Juga:  Imam Bukhari Pun Pernah Dibully

Adapun perbedaan mencolok antara keduanya—taruhlah ini sebagai keniscayaan—antara lain, Imam Bukhari meriwayatkan hadis setidaknya dari 433-439 perawi (rojul). 80 diantaranya dianggap kurang cakap (dha’if). Sementara Imam Muslim meriwayatkan hadis dari 620 perawi dan 160 orang dianggap low record. Artinya, dengan perbandingan kuantitas perawi valid (tsiqah) itu, tampak Imam Bukhari memilah betul kualitas hadis yang terkumpul sekalipun kalah jumlah perawi dengan Imam Muslim.

Kedua, Imam Bukhari tidak banyak mentakhrij hadist yang didapat dari perawi dha’if. Mentakhrij (sesuai kaul muktamad) berarti berupaya menelusuri sumber utama suatu hadis serta menilai trayek perawi-perawinya sehingga bisa dipertimbangkan apakah hadis itu layak jadi hujah atau tidak. Sementara Imam Muslim tidak menyekat perawi dha’if dalam arti tetap mentakhrij hadis-hadisnya. Seperti riwayat Abu Zubair dari Jabir, Suhail dari ayahnya juga ‘Ala bin Abdirrahman dari ayahnya pula. Nama-nama ini dikenal sebagai perawi yang lemah karena dianggap ‘bermasalah’.

Selain itu, Imam Bukhari senantiasa memetik hadis dari orang-orang terdekat yakni guru. Tentu dengan demikian, Imam Bukhari paham betul sikap perawi hadisnya terlebih karena sering berinteraksi, belajar dan bertukar pendapat mengenai hadis-hadis yang akan ‘dieksekusi’. Berbeda dengan Imam Muslim, dimana beliau mentakhrij langsung dari sumber terjauh antara lain tabi’in dan generasi setelahnya. Melalui jalur ini, barangkali, tidak menutup kesempatan adanya ‘kecelakaan-kecelakaan’ kecil di rentang masa antara tabi’in dan Imam Muslim yang terhitung begitu berjarak—kurang lebih 104 tahun hijriyah.

Imam Bukhari dalam mentakhrij hadis memilih generasi pertama (thabaqat ula) yakni para sahabat sebagai acuan utama. Sahabat dalam arti yang sudah memenuhi kriteria jelas sebagai rojul tsiqah seperti punya ingatan kuat dan jeli. Lain dengan Imam Muslim yang menjadikan generasi tabi’in sebagai poros pokok pada sanad hadis-hadisnya.

Baca Juga:  Imam Bukhari Pun Pernah Dibully

Dari sekian perbedaan, agaknya semua itu didasari oleh daftar kriteria berikut ketentuan hadis masing-masing. Imam Bukhari menganggap sanad hadis bisa diklaim sambung (muttashil) sampai nabi jika seseorang hidup satu masa dengan perawi dan meriwayatkan langsung darinya. Kriteria ini tidak ada dalam indeks perawi Imam Muslim. Artinya, satu hadis bisa dianggap muttashil sanad (tidak terputus) cukup dengan hidup sezaman dengan perawi sekalipun tidak meriwayatkan langsung di hadapan muka.

Mula-mula perbedaan ini menjadi suatu pertimbangan penting mengapa Imam Bukhari tinggi satu tingkat di atas Imam Muslim. Terlepas dari ulama yang masih memperdebatkan siapa yang paling unggul antara keduanya. Namun, dengan mencermati satu persatu ketentuan yang cukup pelik itu, barangkali akan terlihat konkret siapa yang tampak lebih depan—tentu tanpa ada sedikit pun maksud untuk membandingkannya. [HW]

Tulisan ini banyak mengambil dari Mukadimah fi Mustalah Al-Hadist, Dr. Alwi bin Hamid

Ilham Romadhan
Penulis Buku Kumpulan Puisi Jununi Majnun: 2018, Persegi: Guepedia-2019, dan Novelet Ketika Ada Yang Tiada: Divapress-2019 dan sekarang masih Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini