Beliau adalah Abu Ubaiydah Abdul Wahid bin Zaid al-Bashri salah seorang sufi besar di zamannya. Beliau lahir dan besar di Kota Basroh, Irak. Di kota ini pula beliau mengakhiri hayatnya pada tahun 177 H.

Sebagaimana kebanyakan ulama, sejak kecil beliau sudah mendapatkan pendidikan intensif dari lingkungannya. Guru yang paling berperan dalam membimbingnya di jalan kesufian adalah Hasan al-Bashri.

Lewat Hasan Al-Bashri lah beliau mulai menapaki tingkatan-tingkatan kehambaan sehingga mengantarnya menjadi sufi dan zahid kenamaan di zamannya. Bahkan menurut catatan Al-Hafidz Al-Mundziri dalam Siyar A’lam An-Nubala selain masyhur sebagai pembesar sufi, beliau juga dikenal sebagai orator ulung.

Setiap nasihat-nasihatnya selalu didengar oleh siapapun. Hal tersebut dikarenakan apapun yang dikatakannya selalu bersumber dari hati yang tulus. Dari hati ke hati. Itulah metodenya, hal itu pernah ditegaskan dalam salah satu ceramahnya:

خروج الموعظة من قلب المتكلم تقع في قلب المستمع

Nasehat-nasehat yang muncul dari hati pembicara, akan selalu sampai pada hati pendengarnya

Selain memberikan nasihat kepada para pengikutnya. Hari-harinya juga selalu dihiasi dengan ibadah tanpa henti. Setiap malamnya tak pernah sepi dari munajat dengan sang Ilahi.

Syekh Daud al-Anthoki dalam kitab Tazyinul Asywaq fi Akhbar Al-Ussyyaq menceritakan, pada suatu malam sebagaimana biasa Abdul Wahid bin Zaid menjalani rutinitas beribadah di sebuah masjid. Entah tak seperti biasanya,  malam itu ia merasakan sakit yang luar biasa pada betis kakinya. Walaupun begitu ia tetap memaksakan untuk tetap beribadah. Namun, tak sampai usai satu rakaat, ia sudah tersungkur merintih kesakitan.

Ia memutuskan untuk beristirahat di mihrab masjid dengan harapan siapa tahu nanti malam sudah reda sakitnya dan ia bisa meneruskan ibadahnya. Ia tidur dengan alas seadanya. Sarungnya ia lipat untuk dijadikan bantal sementara ia terlelap dengan segala kesakitannya.

Tiba-tiba dalam tidurnya ia seakan-akan ditemui gerombolan wanita yang menyerupai bidadari. Ia pun sampai tak bisa menggambarkan cantiknya. Karena baru sekali ini selama hidupnya di dunia ditemui bidadari seperti itu.

Belum sempat ia mengakhiri kekagumannya, salah seorang diantara mereka sudah berkata pada yang lainnya sambil memberikan perintah:

“Rawatlah dan jangan sakiti ia” sambil menunjuk ke arah Abdul Wahid bin Zaid

Seperti perawat, kemudian ‘bidadari’ itu memerintahkan untuk melapisi tikarnya dengan 7 permadani, bantal sarungnya pun diganti dengan bantal hijau yang aduhai. Tak lupa badannya pun diolesi dengan minyak wangi yasmin yang semerbak harumnya.

Setelah itu, betisnya yang sakit itu disentuh oleh bidadari tersebut. Seraya berucap:

“Berdirilah, semoga Allah memberikan kesembuhan dan lekaslah teruskan sholatmu!” serunya

Ajaib! Ia pun bangun dengan kaki sempurna. Tak ada lagi sakit yang terasa. Ia pun kembali melanjutkan rutinitasnya menghidupkan malam beribadah sebagai rasa syukur atas karunia-Nya.

Menurut informasi Abu Nuaim Al-Asfihani dalam kitab Hilyatul Auliya,  di masa akhir usianya cobaan sakit itu kembali menghampirinya. Bahkan separuh badannya mengalami kelumpuhan.

Jadi ia sama sekali tidak bisa melakukan aktifitasnya. Semua kegiatan mengajar, beribadah terpaksa ia lakulan di atas ranjangnya.

Namun istimewanya, dalam kondisi seperti itu ia pernah berdoa kepada Allah agar menghilangkan kelumpuhan itu ketika wudhu. Agar tidak menyusahkan orang lain yang membantunya.

Karena kedekatannya dengan Allah, Allah pun mengabulkan doanya. Jadi setiap ia hendak wudhu, kaki dan badanya bisa digerakkan menuju tempat wudhu. Namun setelah sampai di tempat tidurnya kelumpuhan kembali menyerang badannya.

Diantara kalam hikmah yang pernah disampaikannya:

الإجابة مقرونة بالإخلاص لا فرقة بينهما

Dikabulkannya doa (selalu) disertai dengan ikhlas. Tidak ada pemisah antara keduanya“. (HNZ)

Akhmad Yazid Fathoni
Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah