Kisah Sahabat Nabi Zeid bin Haritsah yang tertulis di dalam Al-Quran

Abu Samah Zaid bin Haritsah berasal dari suku Bani Mu’in. ibunya bernama Su’da binti Tsa’labah. Pada zaman jahiliyah, ibu Zaid ini berkunjung ke kampung anaknya, yaitu kampung Bani Mu’in. Pada ketika ibu dan anaknya berada di kampung itu tiba-tiba ada peyerangan dari suku lain, sehingga penduduk kampung itu lari, juga ibu Zaid tak tentu kemana perginya. Setelah musuh masuk kampung itu mereka dapati ada seorang anak tercecer, lalu dipunggutnya sebagai harta rampasan dan ternyata anak kecil itu adalah Zaid bin Haritsah.

Kemudian ia dijual seharga 400 dirham di pasar ukazh oleh penghulunya dalam usia 8 tahun. Yang membelinya ketika itu adalah Hakim bin Hizam bin Khuwailid, untuk bibinya Siti Khadijah binti Khuwailid. Setelah Siti Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad Saw, maka Zaid bin Haritsah ini dihadiahkannya kepada Nabi Muhammad Saw, yang ketika itu belum menjadi Nabi. Ia tinggal bersama Nabi sampai Nabi diangkat menjadi Rasul. Beliau mencintai Nabi dan Nabi pun mencintainya walaupun beliau berasal dari budak belian.

Pada suatu hari datang bapaknya Haritsah dan pamannya Ka’ab kepada Nabi beliau meminta untuk menebus anak ini, Nabi memberi pilihan kepada Zaid apakah mau pulang dengan bapaknya ataukah akan tinggal bersama nabi. Ia memilih tinggal bersama Nabi karena Nabi memperlakukannya sangat baik, dengan kasih sayang yang mesra walaupun ia berasal dari budak belian.

Islam yang dibawa Nabi menghargai kemanusiaan seseorang dan manusia ini dianggap sama tak ada yang tinggi dan tak ada yang renda, kecuali orang yang bertakwa kepada Allah itulah yang tinggi derajatnya.

Pada suatu hari Nabi keluar ke Masjid berpidato di hadapan umum mengatakan kepada orang banyak, bahwa Zaid bin Haritsah bukan lagi budak tetapi sudah diangkat menjadi anak angkat Nabi. Setelah itu orang-orang memanggilnya Zaid Bin Muhammad atau Zaid anak Muhammad. Begitu sayangnya Nabi kepada beliau maka ia dinikahkan dengan seorang wanita bangsawan Quraisy Zainab binti Jahasy.

Baca Juga:  Hamdalah dalam Al-Qur'an

Begitulah nabi mengangkat derajat budak supaya mereka sama rata sama rasa dengan manusia yang lain. Tetapi demikian agama Islam tidak membenarkan adat “anak angkat” itu, sehingga nama “Zaid bin Muhammad” harus ditukar dengan namanya yang asli, yaitu Zaid bin Haritsah. Allah menyatakan hal ini dalam Al-Quran surah Al-Ahzab : 5 yang artinya: “Panggillah mereka dengan menurut nama bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Tuhan.

Jadi setiap orang islam dilarang mengambil bangsa nama bukan dari nama bapaknya, (meletakkan nama orang lain di belakang nama bapaknya) karena hal itu bisa mengacaukan keturunan, bisa mengacaukan harta pusaka, bisa mengacaukan perkawinan.

Ada satu adat jahiliyah lagi yang dibatalkan oleh islam, yaitu larangan untuk menikahi bekas istri anak angkat. Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah supaya menikahi istri Zaid yang telah diceraikannya, dengan maksud supaya adat anak-anak angkat ini dibatalkan. Nabi melaksanakan perintah Tuhan itu untuk “tasyri‘”, untuk kepentingan hukum agama, yaitu menghalalkan menikahi bekas istri anak angkat. Hal ini diterangkan allah dalam QS.Al-Ahzab : 37 artinya:

Dan setelah Zaid menyampaikan keperluannya (dengan menceraikannya). Kami (kata tuhan) kawinkan ia dengan engkau (Hai Muhammad) supaya di masa datang tiada keberatan lagi bagi orang-orang yang beriman untuk mengawini bekas istri anak-anak angkat mereka.

Inilah hikayatnya Zaid bin Haritsah dengan istrinya Zainab binti jahasy yang kemudian menjadi ummul mu’miniin. Zaid kemudian bangga sekali, karena tidak ada nama seorang sahabat pun yang tercantum abadi dalam Al-Quran kecuali namanya yaitu “Zaid” yang tersebut dalam QS.Al-Ahzab : 37.

Lalu beliau wafat pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun, dalam peperangan Mu’tah dimana ketika itu beliau menjabat sebagai kepala pasukan Islam. [HW]

Ai Umir Fadhilah
Mahasiswi sekaligus Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah