Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan Presiden Joko Widodo menanggapi insiden penyerangan tanpa provokasi oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang melukai dua prajurit TNI yang bertugas di misi UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon), ia mengatakan bahwa “perang memang seperti itu”. Sekilas, kalimat tersebut tampak sebagai komentar realistis tentang kerasnya peperangan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ucapan ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Presiden dengan kalimat ini?

Ketika presiden yang juga seorang panglima tertinggi berbicara tentang prajuritnya yang terluka di medan tugas, harapan publik adalah pernyataan yang setidaknya menunjukkan simpati jika bukan empati, dukungan moral, dan apresiasi atas pengorbanan mereka. Sayangnya, ungkapan “perang memang seperti itu” terdengar terlalu datar dan seakan menganggap peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. Presiden seolah lupa bahwa prajurit yang menjadi korban bukan sekadar tentara, melainkan warga negara yang telah bersumpah setia untuk menjalankan misi perdamaian dan mewakili bangsa.

Empati yang minim ini bisa berakibat buruk terhadap moral prajurit lain yang masih bertugas di berbagai misi internasional. Bagaimana mereka bisa yakin akan mendapat dukungan penuh dari pemimpin tertinggi negara ketika mereka menghadapi risiko terbesar dalam hidup mereka? Alih-alih memberikan pernyataan yang bisa membangkitkan semangat dan rasa aman bagi keluarga di tanah air, Presiden justru seolah menciptakan jarak antara dirinya dengan para prajurit yang terluka.

Presiden Jokowi dikenal sebagai sosok yang santai dalam berbagai kesempatan. Namun, dalam konteks ini, sikap tersebut tampaknya berubah menjadi ketidakpekaan. Dengan mengatakan “perang memang seperti itu,” Presiden menurunkan standar wibawa sebagai kepala negara. Pemimpin negara diharapkan untuk tidak hanya melindungi rakyatnya, tetapi juga untuk berbicara dengan wibawa yang mencerminkan kekuatan moral dan diplomasi yang kokoh.

Baca Juga:  ESQ dan Pendidikan Karakter

Kurangnya Sikap Tegas terhadap Kejahatan Perang

Israel telah lama dikritik secara internasional atas tindakan militernya, terutama dalam konteks pelanggaran hukum internasional dan serangan yang menargetkan masyarakat sipil dan pasukan penjaga perdamaian. Pernyataan Presiden Jokowi yang datar dalam menghadapi serangan ini menunjukkan lemahnya sikap pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara lain, khususnya Israel. Padahal, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang segala bentuk agresi Israel.

Serangan terhadap Lebanon, termasuk insiden yang melukai dua prajurit TNI dalam misi UNIFIL, bukanlah kejadian yang terisolasi. Ini adalah bagian dari strategi lebih besar Israel untuk menghancurkan tanah Palestina secara keseluruhan dan menumpas setiap perlawanan terhadap pendudukan mereka. Lebanon, yang secara aktif mendukung perjuangan Palestina dan sering kali membalas serangan Israel, menjadi target dalam upaya Israel untuk melemahkan solidaritas internasional terhadap Palestina. Serangan tersebut tidak hanya bertujuan untuk melukai secara fisik, tetapi juga menghancurkan semangat solidaritas di kawasan, terutama dari negara-negara yang berdiri teguh dalam menentang agresi dan menuntut keadilan bagi Palestina. Dengan menyerang Lebanon, Israel berusaha mengirim pesan kepada dunia bahwa dukungan terhadap Palestina akan membawa konsekuensi militer dan politik yang serius.

Selama ini Menlu Retno Marsudi dengan gagah berani mengutuk tindakan Israel dan menegaskan posisi Indonesia dalam mendukung perdamaian, pernyataan Presiden ini malah mengaburkan sikap tegas yang telah diambil oleh Indonesia.

Pernyataan jokowi ini juga dapat dilihat sebagai langkah yang kontradiktif dengan upaya internasional Indonesia untuk mempromosikan perdamaian di Timur Tengah.Tidak adanya kecaman terhadap Israel dalam pernyataan tersebut justru memberi kesan seolah Indonesia menormalkan serangan tanpa provokasi terhadap pasukan penjaga perdamaian internasional. Jika kepala negara tidak menunjukkan sikap yang jelas dan tegas dalam mendukung misi perdamaian dan menentang kejahatan perang, maka akan sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan kredibilitasnya di kancah internasional.

Baca Juga:  Overdosis Beragama: Refleksi Dinamika Keberagamaan di Indonesia

Sebagai negara yang selalu mendukung perjuangan Palestina, pernyataan Presiden Jokowi ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai sikap Indonesia terhadap isu kemerdekaan negara tersebut. Presiden dalam pernyataannya seolah menunjukkan ketidakpedulian atau, lebih parah lagi, ambivalensi terhadap perjuangan yang telah lama diusung Indonesia. Ini adalah kesempatan yang terlewatkan untuk menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap perdamaian dan keadilan.

Namun pernyataan Presiden Jokowi yang tampak datar dan kurang tegas dalam mengecam serangan Israel terhadap prajurit TNI di Lebanon bisa jadi tidak sepenuhnya terlepas dari dinamika politik dan ekonomi yang sedang berlangsung. Kementerian Pertahanan juga Polri selama ini telah memperkuat sumber daya, termasuk melalui hubungan perdagangan senjata dengan Israel. Meskipun tidak selalu diakui secara terbuka, hubungan semacam ini sering kali mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sikap diplomatik suatu negara. Pernyataan yang tampak “tonedeaf” dari Presiden ini mungkin merupakan upaya untuk menjaga stabilitas hubungan bisnis tersebut bagi rezim berikutnya, yang bisa berdampak pada kelancaran kerja sama militer yang sedang dirintis. Di balik kata-kata yang kurang tegas, terdapat kemungkinan bahwa kepentingan ekonomi dan politik lebih diutamakan dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral dan dukungan tradisional Indonesia terhadap Palestina.

Akhirnya, kita hanya bisa bertanya-tanya: apakah dengan pernyataan seperti ini, wibawa Indonesia di mata internasional masih dapat dipertahankan? Ataukah kita sekarang harus menerima bahwa dalam diplomasi, terkadang pernyataan pasif adalah satu-satunya yang bisa kita harapkan? Di tengah situasi yang membutuhkan empati, kecaman, dan ketegasan, jawaban ini terasa lebih mirip pelarian yang tak punya arah jelas.

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini