kerja dan usia senja orang tua kita

Suatu ketika, saat pulang ke kampung halaman, saya jumpai ibu saya sedang asyik membuat kue kering. Beliau tampak asyik menikmatinya, sambil dibantu bapak dan adik saya. Meski cuaca desa kami sedang panas-panasnya, ibu tak merasa gerah sama sekali. Peluh keringat yang mengalir deras tak terasa mengganggunya.

Pesanan saat itu tak banyak, hanya sekitar setengah kilo kue kering saja. Terlihat, semua kuenya hampir matang. Sambil memberesi alatnya, ibu menoleh ke arah saya yang baru tiba di rumah.

“Baru datang tho, le?”

“Iya, bu. Berangkat tadi pagi. Ibu masih sibuk buat kue, tho?”

“Iya, le. Lha wong cuma hobinya cuma ini”

Saya tersentak. Ibu berkata bahwa itu cuma sekedar hobi. Apa benar? Apa ibu rela repot membuat kue yang ketika dijual nanti tak mendapat laba berlipat-lipat, lalu Ibu menamainya sebagai hobi?

Saya amati, belakangan ibu dan bapak sudah masuk usia senja. Usia dimana kata orang, sudah waktunya banyak bersila. Artinya, sudah tak lagi direpotkan dengan berbagai target atau capaian hidup. Sudah waktunya menikmati hidup, kira-kira begitu.

Selain hobi membuat kue, ibu juga hobi menjahit. Saat SMA dulu, ibu sempat ikut kursus menjahit. Setelah lulus kursus, kakek saya membelikan ibu sebuah mesin jahit. Hingga sekarang, mesin jahit itu masih bisa dipakai seperti biasa, meski terkadang rewel minta diperbaiki.

Meski orderan menjahit tak sebanyak tukang jahit umumnya, ibu tetap melayani siapa saja yang datang. Entah orang datang sekedar mengecilkan baju atau celana, memesan sarung bantal atau guling, dan lainnya. Ibu pun tak mematok tarif. Seikhlasnya. Benar, ibu tak pernah meminta berapa uang yang harus dibayar.

Baca Juga:  Pak, Mak, Jangan Marah!

Lama tak menjahit, belakangan ibu lebih intens membuat kue. Alasannya sederhana, karena hobi, seperti saya tulis di atas. Ibu beralasan, karena usia sudah makin senja, apalagi yang mau ibu cari selain menikmati hidup, selain menikmati hidup, salah satunya dengan membuat kue itu.

Berbeda dengan bapak. Bapak saya termasuk orang yang suka bergaul dengan banyak orang. Tak heran, bapak pernah memegang salah satu jabatan penting di desa. Dua kali beliau pernah memegangnya.

Meski tak pernah kuliah, jiwa bapak ibarat aktivis. Beliau aktif dalam berbagai acara atau kegiatan, meski lingkup desa. Tak heran banyak orang menyukai sosok bapak, meski tak sedikit pula yang tidak menyukainya.

Masuk usia senja, kelincahan bapak tak lagi seperti sedia kala. Bapak sudah mulai tak aktif dalam berbagai kegiatan di desa. Bapak lebih memilih menghabiskan waktu untuk bekerja di pabrik kertas lalu pulang ke rumah. Bila senggang, bapak lebih memilih untuk memancing atau merawat tanaman. Bapak suka merawat tanaman karena bapak dulu alumni SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) yang sekarang gedung sekolahnya beralih fungsi menjadi kantor anggota dewan.

Sepintas, hobi-hobi tampak biasa, dan alasan kedua orang tua saya tampak menggelikan, tho? Seorang ibu berkepala lima yang mengatakan bahwa hal-hal yang ia lakukan itu sebatas hobi saja. Tapi disitulah sisi yang kerap kita abaikan selama ini.

Kita sebagai seorang anak sering memikirkan bagaimana orang tua kita nanti saat masuk usia senja. Kita sering membayangkan bagaimana membuatkan rumah yang nyaman untuk mereka, bagaimana jaminan kesehatan mereka, bagaimana mereka bisa beribadah dengan tenang, bagaimana mereka bisa bertemu tiap hari dengan cucu mereka, dan seabek angan-angan lain.

Baca Juga:  Bersahabat dengan Anak

Kita kadang lupa tentang kesenangan personal mereka, yang bahkan bagi kita, hal-hal tersebut remeh bin sederhana. Kesenangan personal mereka yang tak berbiaya tinggi. Memasak kue, memancing, merawat tanaman, atau kesenangan personal lainnya. Dan paling ideal dari kesenangan-kesenangan personal itu adalah adanya saluran untuk aktualisasi.

Kita pasti paham bahwa membuat kue tentu melibatkan orang lain, yaitu pembeli. Namun, bagi ibu saya, bukan masalah nantinya bila tak mendapat keuntungan berlipat dari penjualan kue. Proses membuat kue itu sendiri sudah sangat menyenangkan bagi ibu saya.

Pun demikian bagi bapak. Hobinya memancing tak membuat bapak ingin mendapat ikan sebanyak mungkin. Adanya waktu luang untuk memancing, meski berbekal alat pancing sederhana, hal itu sudah sangat menyenangkan bagi bapak.

Maka, ada baiknya, sebagai anak, kita bisa menyiapkan saluran untuk hobi sebagai aktualisasi personal orang tua kita. Bahkan, bila perlu, tidak melarang mereka tetap bekerja. Bukan berarti kita memanfaatkan orang tua kita. Hal itu demi mereka tetap eksis, tetap merasa berdaya, tetap segar dan tetap bahagia. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini