bunga indah

Sekitar tahun 2015-an, bapak membangunkan mushola Assalam bagi teman-teman yang ngaji dirumah. Waktu itu belum muncul nama Assalam, bapak hanya membuatkan mushola saja tanpa nama. Sebagaimana umumnya mushola, bapak juga sekaligus membuatkan toilet atau jeding disampingnya. Saat proses pembangunan inilah, bapak mengarahkan harus ada jedingan besar (bak mandi besar dan panjang yang ada diluar kamar mandi-kamar mandi, dan biasa digunakan untuk wudlu bersama-sama dan atau mencuci baju diluar kamar mandi).

Saya belum tahu kenapa, saya hanya manut saja.

Baru beberapa tahun kemudian bapak menerangkan alasan kenapa harus ada jedingan besarnya, bapak menerangkan saat ngaji ihya’: “Kanjeng nabi ditangleti: remen wudlu wonten pancuran nopo wonten jedingan kang ageng kados ngeten niki? Terus kanjeng nabi ngendikan: aku seneng neng ngeneki, jedingan. Soale menowo entok barokah tangane wong-wong islam(suatu ketika kanjeng nabi ditanya oleh sahabat: wahai nabi, anda lebih suka wudlu di pancuran atau di bak mandi besar yang seperti jedingan ini?. Lalu kanjeng nabi menjawab: saya lebih suka yang seperti ini, wudlu di jedingan. Karena saya berharap kalau-kalau mendapatkan barokah dari tangannya para orang islam yang berwudlu disini)”.

Setelah membaca keterangan tersebut, bapak melanjutkan cerita dulu saat awal bangun pondok kwagean:”Kulo riyen dingendikani tiang, ken maringi jedingan ten mriki. Meskipun diparingi kran, tapi ojo ninggalaken jeding lek gae pondok. Gak enek klirune kiai-kiai ngendiko. Geh kulo paringi, wong namung maringi mawon(saya dulu dipesankan oleh seseorang, disuruh memberi jedingan besar disini di toilet masjid Kwagean. Meskipun ada kran airnya, akan tetapi jangan meninggalkan jedingan, bak mandi besar ketika membangun pondok. Dan semua ngendikan kiai-kiai itu tidak ada kelirunya. Saya ikut, dan saya kasih jedingan semua. Wong tinggal ngasih aja)”.

Kemudian bapak menerangkan, bahwa waktu itu hanya manut saja. “Nopo enten dasare? Mboten usah dasar-dasaran. Kulo pokok manut omongane tiang sepah. Eh hla kok ternyata dasare ten mriki. Dados kulo ngaji niki kelewatan bolak balek tapi dereng mlebu keterangan niki. Kulo pokok diwoco, wong ancen kemampuane sakmene. Wes ben di fahami dewe karo murid-murid niku seng luweh pinter(apakah kepatuhan saya waktu itu ada dasar dalilnya? Tidak usah dasar-dasar an, saya pokok manut apa yang dipesankan para sesepuh. Eh hla kok ternyata dasarnya ada disini. Jadi saya mengkaji kitab ini melewati pembahasan ini tapi belum masuk pemahaman tentang keterangan ini. Saya ngaji asal dibaca, karena memang kemampuannya segini. Sudah, biarkan difahami sendiri oleh para murid yang lebih pintar)”.

Meskipun keterangan tentang keutamaan jedingan ini kurang pas diterapkan ketika pandemi saat ini, namun menurut hemat saya masih tetap bisa diamalkan dipondok pesantren yang notabene lingkungan tertutup. Jadi bersamaan dengan protokol kesehatan yang diterapkan, wudlu dijedingan masih bisa dilakukan dipondok pesantren-pondok pesantren.

Sebagaimana makan bersama dalam satu nampan, atau apapun tempatnya. Sampai saat ini pun saya masih sering sahur bersama satu nampan dengan para santri setiap malamnya. Karena memang mereka sehari-hari dipondok, juga pergaulan mereka terbatas dengan saya dan lingkungan pesantren ketika beraktivitas, terutama ngaji. Jadi apabila dengan lingkungan terdekat, dan kita rasa aman bersama-sama, maka amalan makan bersama satu nampan dan wudlu dalam satu jedingan besar pun tak apa menurut saya. Namun apabila memang dirasa kurang aman, maka lebih baik untuk menghindari kebersamaan itu untuk sementara waktu. Hingga kondisi sudah memungkinkan kembali.

Selain menerangkan tentang hadis ini, bapak juga menghaturkan satu alasan kenapa harus ada jedingannya. Menurut beliau, ada beberapa kiai yang menerangkan keutamaan wudlu dalam jedingan besar seperti ini. “Menurut poro kiai kang ngengken dibangun jedingan damel wudlu sareng-sareng niku, saget ndamel tiang kang wudlu ten mriku sami rukun(menurut para kiai yang menyarankan untuk dibangun jedingan tempat wudlu bareng-bareng tersebut, bisa membuat para santri, dan orang-orang yang wudlu disana selalu rukun)”.

Maka sangat baik bagi siapa saja yang sedang membangun pondok, atau yang akan membangun pondok, untuk ikut pengamalan para ulama’ sepuh ini. Sebagaimana ngendikan bapak, toh tidak ada ruginya.

Saya sendiri mengamini dan mengamalkan pesan ini disetiap pembangunan kamar mandi untuk pondok Assalam, karena memang tersimpan barokah dan rahasia indah didalamnya. Sebagaimana saya mengamini dan mengamalkan beberapa sirri lain yang biasanya dicontohkan bapak dalam keseharian dan kehidupan. Karena bagi seorang awam seperti saya, bila tidak manut guru. Lalu manut siapa?

Semoga kita tak lelah berproses menjadi lebih baik disegala lini kehidupan, karena kita tak pernah tahu, kapan Allah membuka tabir kebaikan untuk kita amalkan.

#salamKWAGEAN

(IZ)

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini