Judul di atas mungkin menimbulkan perdebatan –dan saya yakin demikian. Nah, apakah kemenangan Sahabat Syukri pada kongres PMII ke-20 disinyalir menjadi menjadi tanda kekalahan kampus Islam? Tentu tidak. Penjelasannya kompleks. Kalau mau jujur, kongres kemarin bukanlah aktivis mahasiswa, tapi melainkan kongres para senior dengan berbagai kepentinganya. Saya tidak ingin membicarakan itu. Saya ingin bercerita hal lain, soal PMII di kampus umum.
Suatu malam di acara doa bersama untuk alm. Sahabat Muhyiddin Arubusman di Masjid PBNU, Sahabat Effendy Choiry (Gus Choi) bercerita, dirinya tidak direkomendasikan untuk bercita-cita jadi ketua umum PB PMII. Mengapa? Sebagian tokoh PMII berharap organisasi mahasiswa NU ini dipimpin oleh mahasiswa/lulusan kampus umum. Ketika itu Gus Choy menyebut nama Sahabat Muhaimin Iskandar lulusan UGM, meskipun tidak umum-umum amat karena jurusannya juga politik, sama seperti ketua umum yang baru saja terpilih. Jurusan umum itu tepatnya, jurusan-jurusan bergenre sains, lah.
Nah, kembali ke Bang Muhyidin. Para senior berharap banget PMII dipimpin mahasiswa atau lulusan kampus umum, tepatnya dari kampus-kampus kenamaan di Indonesia. Biar keren.
Kita bisa berdebat panjang soal parameter kampus keren ini, yang biasanya merujuk ke kampus umum dan negeri. Lulusan kampus keren yang biasa saja juga banyak. Pada saat yang sama, kampus-kampus Islam banyak yang bertransformasi menjadi universitas, membuka jurusan umum dan trennya sama dengan perbandingan sekolah dan madrasah: sistemnya sama, managemennya, bahkan guru/dosennya pun bisa jadi sama.
Jika mau diambil pesan, kemenangan Sahabat Syukri masih menyisakan PR, bagaimana mengembangkan organisasi mahasiswa ini di kampus umum. Dalam acara silaturrahim dengan para calon ketua umum PMII yang diinisiasi oleh komandan JAM PMII ajeungan Adhe Bagus Said beberapa waktu lalu, saya menyampaikan, tidak kuatnya PMII di kampus umum adalah persoalan serius, antara lain, menunjukkan bahwa kualitas keilmuan/bidang keahlian generasi PMII sampai beberapa generasi mendatang masih monoton.
Ber-PMII di kampus Islam tentu berbeda dengan di kampus umum. Mahasiswa Muslim di kampus umum biasanya tidak suka berpikir ribet, filosofos-liberal, berpikir yang berat-berat soal agama. Jadi kegiatan yang dilakukan sederhana saja. Lagi, mahasiswa di kampus umum suka penampilan aktivis muslim yang alim bin saleh/salehah. Meski terkesan lucu dan menggeneralisir, tapi mungkin ada benarnya.
Sementara ini, suara PMII di kampus umum masih lirih. Bahkan pada titik tertentu PMII cenderung dianggap tidak menarik. Meskipun banyak pengurus besar/wilayah PMII berasal dari kampus umum, konsentrasi PMII secara kelembagaan banyak berputar di kampus Islam. Ada paradoks begini: beberapa orang di antara kita tidak bangga dengan lembaga pendidikan Islam, maaf ini seperti beberapa keluarga pesantren atau pentolan NU yang cenderung menyekolahkan atau mengkuliahkan anak mereka di sekolah/kampus umum, tapi sehari-hari mereka bergelut (Jawa: mulek) di lembaga pendidikan Islam itu. “Ini masalahnya!” meminjam kalimat pendiri PMII Sahabat KH Nuril Huda.
Akhirul kalam, terus terang saya tidak bangga jika ketua umum PMII lulusan Brawijaya yang kata sahabat Drs Slamet Amex Thohari TOEFL-nya gede dan dapat beasiswa luar negeri. Mengapa? Jurusannya yang dipilih juga jurusan politik, sama seperti beberapa pendahulunya, bukan ahli virologi, ahli nuklir, dan keahlian umum lainnya. Justru konsentrasi politik inilah salah satu penyakit PMII. Maaf, saya tidak mengecilkan peran politisi karena “suka tidak suka, negara ini maunya seperti apa ya tergantung partai politik” kata Gus Dur. Tapi saya sedih jika acara tahunan temu alumni PMII sampai acara muktamar pemikiran dosen PMII pun, daftar tamu undangan utamanya adalah para pejabat politik. Hal ini menunjukkan orientasi para kader dan alumni masih monoton.
Maka variasi bidang keahlian, mengisi pos-pos penting yang beragam (bukan komisaris atau jatah politik) ini bisa dimulai dengan mengibarkan setinggi-tingginya bendera PMII di kampus yang disebut umum dan unggulan itu. Inilah saatnya. Opo iso? Jawaben, ISO!