Kedudukan dan Peran Ulama dalam Al Qur'an

Kedudukan dan peran ulama perlu kita pahami agar kita senantiasa menghormati para ulama. Di dalam al qur’an ulama mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia. Mereka bagikan cahaya dalam kegelapan dan juga sebagai pemimpin yang mengarahkan umat islam. Mereka juga bisa mencapai kedudukan Al Akhyar (orang yang penuh kebaikan) dan derajat orang orang yang bertaqwa dengan ilmunya. Tidak hanya itu, dalam hal kesaksian keesaan Allah sebagaimana yang termaktub dalam Q.S Ali Imran ayat  18, Allah memulai  dengan diriNya, malaikat, dan kemudian ialah orang orang ahli ilmu. Kemudian dalam Q.S Al Mujadalah 11 Allah berjanji akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu ke dalam derajat yang tinggi. Hal ini menandakan bahwa ulama memiliki kedudukan yang istimewa di dalam al qur’an.

Menurut Ibnu Katsir, kedudukan ulama dalam Q.S Ali Imran ayat 18, beliau menjelaskan bahwa Allah mempersandingkan kesaksian para malaikat dengan kesaksian orang yang berilmu dalam hal bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Dia (yang berhak di sembah) yang menegakkan keadilan. Dalam Q.S Al Mujadalah, Ibnu Katsir juga menjelaskan orang yang memiliki ilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah. Maka jika seorang ulama mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi maka wajib bagi orang orang selain mereka agar menghormati dan tahu akan kedudukannya. Seseorang wajib menjaga hak hak ulama selama mereka masih hidup ataupun sudah wafat. Salah dosa yang besar dan seburuk buruknya penghinaan Saat para ulama dihina, difitnah dan di caci maki. Padahal Allah telah membandingkan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu bagaikan orang yang mampu melihat dan orang yang buta.

Sayyid Quthub menafsirkan surat Al Mujadalah ayat 11bahwa ayat ini menganjurkan supaya memberikan tempat kepada orang yang datang dan menganjurkan agar menaati perintah dari pemimpin yang bertanggungkawab dalam mengatur jamaah agar jika orang yang duduk diminta beranjak dari tempat duduknya. Dijanjikan juga bagi orang orang yang yang mau menaati perintah berdiri dari tempat nya dan memberikan tempat untuk orang lain. Ayat ini menjelaskan, keimanan dan keikhlasan lah yang mendorong mereka berlapang dada dan menaati perintah. Melalui ilmulah, yang dapat membina jiwa kemudian rendah hati dan taat. Dengan bekal iman ilmu inilah yang akan menghantarkan seseorang menuju ke derajat yang tinggi.

Baca Juga:  KH Afifuddin Muhajir Faqih Ushuli dari Timur

Di dalam al qur’an, ulama memiliki tiga keistimewaan, antara lain:

  1. Sebagai warasatun anbiya’

Dalam Q.S Fathir ayat 32 yang berbunyi:

 ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِٱلْخَيْرَٰتِ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْكَبِيرُ

Artinya: ” Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Q.S Fathir:32)

Kata warasa terdiri atas tiga huruf yaitu Wawu, ra, dan tsa yang berarti sesuatu yang dipindahkan kepada yang lain. Misalnya, seorang ulama melalui ilmunya, dapat menjadikan dirinya sebagai pewaris nabi. Dalam hadis Rasulullah saw yang berbunyi

ان العلماء ورثة الانبياء

Artinya: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.”

Muhammad Fahmi Abdurrahman Wahhab mengatakan bahwa warisan yang ilmu yang dimiliki oleh ulama, membuktikan bahwa Allah telah memilih hamba hambaNya sebagai pewaris dan sebagai manusia yang memiliki kelebihan. Ulama sebagai pewaris para nabi juga hendaknya memiliki akhlak yang dekat akhlak Rasulullah saw.

  1. Sebagai Rahmatan Lil ‘alamin

Dalam Q.S Al Anbiya’ ayat 107:

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi  semesta alam“. (Q.S Al Anbiya’:107)

Ibnu Faris melalui kitab Mu’jam Maqayis Al Lughah dan Al Asfahani dalam kitab Al Mufradat Fi Gharib Al Qur’an mereka mengartikan kata rahmat atau rahmah yaitu belas kasihan, simpati dan kasih sayang. Ayat diatas menunjukkan bahwa nabi Muhammad saw diutus di dunia untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Hal ini perku dicontoh oleh para ulama sebagai pewaris nabi dalam kehidupan sehari hari. Bisa dengan cara menyebarkan kasih sayang terhadap sesama manusia, dan juga seluruh alam seperti yang Rasulullah saw contohkan.

  1. Sebagai sirajan munira

Dalam Q.S Al Ahzab ayat 46 Allah berfirman

Baca Juga:  Pendidikan yang Membebaskan

وَدَاعِيًا إِلَى ٱللَّهِ بِإِذْنِهِۦ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا

Artinya: “Dan (Kami mengutus) untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNyadan untuk menjadi cahaya yang menerangi.

Kata siraj terdiri dari tiga huruf yaitu sin, ra, dan jim yang berarti sesuatu yang baik , perhiasan dan keindahan. Oleh karena itu, siraj  juga disebut sebagai pelita sebab memiliki cahaya dan indah untuk dipandang.

Nabi Muhammad berposisi sebagai penerima cahaya yang diberikan Allah untuk disampikan kepada umat dalam keadaaan gelap. Maia tugas ini perlu diteladani bagi ulama dengan menjadi pelita bagi umat, menerangi dari kegelapan, memberantas kebodohan, dan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Dengan kedudukannya yang tinggi, ulama tentunya memiliki peran yang penting bagi umat islam. Menurut Quraish Shihab peran ulama sebagai pewaris nabi tidak mampu mewarisi secara sempurna. Maknanya ulama hanya sekedar berusaha memahami al qur’an sepanjang dan pengalaman ilmiah mereka. Ulama bisa saja mengalami dua kesalahan yang disebabkan oleh, pertama salah memahami dan kedua salah dalam menyampaikan.

Selain itu, ulama juga dituntut agar berlomba lomba dalam kebaikan (musabaqah bil khairat) yang tujuannya bisa mendekati. Sebab ulama juga tidak bisa mencapai secara sempurna dari orang orang yang mereka warisi (nabi dan rasul). Peran ini dapat diwujudkan dengan menyelesaikan berbagai problem sosial yang dihadapi. Dalam mengatasi masalah sosial tidak mungkin bisa kecuali dengan memahami metode penggabungan antara wahyu dan perkembangan masyarakat. []

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini