bunga bertanda kasih sayang

Orang tua saya hanya petani biasa di desa, tidak ada yang istimewa di zaman televisi hitam-putih itu yang jumlahnya hanya satu-dua di seantero kampung, karena hiburan mewah kami justru sandiwara radio: Pesanggrahan Kramat, Sabda Pandita Ratu, Wahyu Asta Brata, Tutur Tinular.

Secara tidak sengaja saya belajar bahasa Indonesia yang baik melalui sandiwara radio, di samping juga berimajinasi menjadi jagoan-jagoan silat yang memiliki jurus-jurus andalan, sesekali kami peragakan jurus-jurus para pendekar itu lengkap dengan dialognya.

Belum lazim panggilan abi-umi, mama-papa, pepo-memo, papi-bunda, dan sejenisnya. Seingat saya, saya belum pernah mendengar ibu—saya memanggilnya “Mak”, karena panggilan “ayah-ibu” adalah bagi anak-anak polisi, tentara dan para natapraja—dan terutama bapak berucap: “aku menyayangimu, Nak. Kamu anak kebanggaan Bunda. Abi-Umi senang kamu les polo air, dst…”

Yang terus berdentum saya dengar adalah: “hormat pada guru, jangan kurang ajar pada yang lebih tua, jangan berantem sama teman, dll.” Apakah orang tua tidak menyayangi saya? Masa kanak-kanak saya hingga remaja, masih terang dalam ingatan, tiap malam sebelum tidur dan pagi sebelum berangkat ke sekolah (meski saya sering bolos, rekor bolos terlama 3 bulanan, bahkan tidak ikut ujian), Mak-Bapak selalu memberi kami minum air putih yang sudah dibacakan Al-Qur’an.

Bahkan, setelah kami belajar di pesantren pun, mereka masih membawakan air Qur’an itu ketika berkunjung. Tapi, ya itu tadi, belum pernah saya mendengar Mak-Bapak memandang wajah saya dan berucap, “kami sayang kamu, Nak.”

Sosok Bapak, yang saya ingat, tipe irit bicara, pendidik yang keras, punya mainan bernama rotan dan pecut, bahkan ketika saya masih berumur 6 tahunan, bersama kakak saya, ANS, yang terpaut 2,5 tahun, kami dirantai di tiang ruang tengah karena sehari-hari main di pemandian/mata air desa. Dan banyak lagi cara mendidik yang ekstrim untuk konteks saat ini, tapi sangat lazim di zamannya, hal ini saya tahu dari orang-orang tua teman yang lebih kurang sama horornya dengan orang tua saya dalam memahat kepribadian putra-putri mereka.

Begitu pula guru-guru sekolah, guru ngaji (yang tak kalah “garang” dengan Bapak) dan anggota keluarga yang lain yang lebih kurang menasehati dengan bahasa normatif senada. Entahlah, mungkin mereka menganut manajemen cinta tertutup, cinta yang seperti pukulan mati rasa, yang lebih mengutamakan bahasa laku daripada lisan. Kalimat “aku mencintaimu karena Allah” hanya ada dalam sinetron azab dan film-film Bucin, juga barangkali drakor hijrah. Kalau begitu, apakah makna kasih?

Kasih mengobati dua pihak sekaligus, yang memberi dan yang menerima. Mengasihi, dengan demikian, memandang diri kita sendiri dalam diri orang lain. Mengasihi, dengan sendirinya, memuliakan orang lain sebagaimana mengagungkan diri sendiri yang sedemikian kaku dan aku. Adakah orang yang demikian, yang tulus seperti air hujan membasahi daun talas yang tak kunjung basah?

Seorang ibu, mari kita pandang dan hadirkan wajah ibu kita, bahkan lebih menyinta-kasihi anaknya katimbang dirinya sendiri. Ibu rela mati demi kehidupan anaknya, memilih menderita demi kabahagia-nyamanan putri-putranya. Bagaimana dengan mengasihi sesama dan terutama yang berbeda?

Orang tua kita telah mengajarkan bagaimana mencintai tanpa syarat, apa sebab? Mencintai dengan syarat, begitu syarat hilang, cintapun menguap, kasihpun melangkah ke arah hilang arti.

Mengasihi berarti memuliakan, melindungi, menyelamatkan, memberi kehidupan, menabalkan kehormatan, menyematkan nama baik, tidak memperbudak dan memberi pelayanan. Mengasihi adalah tidak menghakimi, tidak memberi label, serta memberi tanpa mengharap apapun.

Mengasihi adalah cara paling ampuh untuk tidak mudah kecewa. Mengasihi adalah obat paling mujarab untuk tidak gampang frustrasi dan gila. Mengapa? Mengasihi adalah prinsip spiritual dan cara berpikir jangka panjang. Inilah salah satu alasan mengapa orang tua kami tega “membuang” anak-anak mereka ke Pesantren sejak dini, bahkan kakak saya sudah mondok sejak usia 6 tahun dan dipaksa menghafal Kitab Suci.

Karena kasih adalah bahasa Tuhan, maka orang tuna netrapun bisa melihatnya, si tuna rungu mampu mendengar bahasa kasih justru bukan dengan telinganya, dan para tuna wicara sangat fasih mengucap arti kasih, bahkan para tuna grahita akan sangat gampang memahami makna dan nilai kasih dalam hidup.

Belakangan saya renung-insyafi mengapa masa kecil kami tidak bergelimang mainan, pakaian dan makanan yang tak lain adalah bahasa kasih paling dangkal, banal dan tak jarang menyesatkan. Tetapi pendidikan karakter, doa-doa dan air Qur’an, ini yang (hemat saya) tak banyak didapatkan oleh Milenial, generasi Z dan Alfa yang malah native internet, karib dengan telepon genggam, tak lepas-lepas suai jemala dan sekian ragam purwarupa di tengah big bang informasi, ledakan dahsyat media sosial dan supernova internet segala hal.

Nah, bagaimana seharusnya cara mengasihi? Cara paling sederhana mengasihi orang lain adalah dengan mengasihi diri sendiri. Jangan beri semua yang diminta, jangan turuti semua yang dimau. Sesekali, nikmati selagi bisa, sudahi sebelum terbiasa. Menikmati waktu sekarang dengan tidak lupa diri bahwa kita hidup untuk sekian generasi.

Cara berikutnya? Terimalah orang lain sebagaimana Anda ingin diterima. Nah, menerima orang lain (terutama yang berbeda agama, suku, bahasa dan budaya) apa adanya, adalah kasih tak bersyarat. Cara lain? Memaafkan.

Maaf adalah hadiah yang Anda berikan bukan untuk orang lain, tapi untuk diri Anda sendiri. Mungkin terdengar hebat menyalah-nyalahkan orang lain, mengutuk nasib dan membentak keadaan, tapi itu hanya membuang energi dan tidak akan merubah apapun yang membuat kita tidak bahagia.

Maaf adalah pembebasan jiwa dari penjajahan kebencian dan dendam. Cara lain lagi? Mendoakan kebaikan untuk orang lain. Cara lain? Berhenti bertanya dan lakukan, hehe. Salam dan doa untuk bapak-ibu muda dunia maya. Konon, menjadi orang tua berarti terlahir kembali sebagai manusia baru, sebagai diri yang baru. Inilah kelahiran kedua setelah kita dilahirkan sang ibu. (IZ)

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini