Kisah ini bermula ketika pada suatu malam ada seorang sultan merasa sangat gelisah akhirnya beliau memanggil para pengawalnya untuk menemaninya melakukan perjalanan. Sang sultan melakukan apa yang bisanya beliau lakukan yaitu memantau rakyatnya dengan cara menyamar. Ditengah perjalanan ia menemukan seorang mayat yang tergeletak di gang yang amat sempit tanpa ada seorang pun yang merawatnya.

Sang sultan merasa terheran melihat pemandangan itu, sang sultan pun bergegas menghampiri mayat yang ia temui dan berkata “kenapa tidak ada seorangpun yang mempedulikan jenazah ini, bukankah mengurus jenazah adalah fardu kifayah?” salah seorang menjawab “orang ini adalah ahli maksiat”. Sehingga sang sultanpun menyuruh para pengawalnya untuk membopong jenazah tersebut untuk diantarkan ke rumahnya. Sang sultan pun masih sangat terheran dengan apa yang beliau temukan malam ini.

Sesampainya mereka tepat didepan rumah sang mayat tersebut sultanpun dengan sigap mengetuk pintu rumah yang ada dihadapannya dengan berkata “Assalamu’alaikum”. Tak lama kemudian dari balik pintu ada sesosok perempuan yang menjawab salam sang sultan “Wa’alaikumussalam” ucap seorang perempuan dengan membuka pintu rumahnya. Kemudian sang sultan dan para pengawalnya meletakkan mayat tersebut di tempat yang sudah disediakan oleh seorang perempuan yang ditemui ada di dalam rumah tersebut.

Ternyata perempuan tersebut adalah istri dari seorang yang ia ditemui mati tergeletak di jalan. Melihat suaminya meninggal sang istri pun menangis dan mendoakan “semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah. Sesungguhnya aku bersaksi engkau adalah orang yang saleh” ucap sang istri. Sang sultan pun merasa kebingungan dengan doa dari seorang perempuan tersebut. “bagaimana bisa kamu katakan bahwa suamimu itu adalah wali Allah, sedangkan diluar sana banyak orang yang menganggap bahwa suamimu itu adalah ahli maksiat?” tanya sang raja kepada seorang perempuan.

Baca Juga:  Sejarah Jazirah Arab sebagai Permulaan Dakwah Islam

Kemudian sang istri pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “iya memang betul, pada setiap malam suamiku selalu membeli minuman keras dari para penjualnya bahkan ia juga sering memborong semua dagangannya. Kemudian minuman itu ia bawa pulang. Kemudian sesampainya dirumah ia membuang semua minuman itu dengan berkata “ hari ini aku sudah meringankan dosa kaum muslimin”. Setiap hari suamiku juga memberikan uang kepada para pelacur “malam mini kamu sudah berada dalam bayaranku. Maka, tutuplah pintu rumah hingga pagi!” ucap sang suami kepada perempuan pelacur tersebut”.

Kemudian ia pulang dan berkata kepadaku “wahai istriku, Alhamdulillah hari ini aku telah meringankan dosa kaum muslimin dan juga dosa seorang pelacur”. Sang sultan sangat kaget ketika mendengarkan cerita yang sesungguhnya. Kemudian sang istripun berkata “aku tidak pernah menyalahkan orang lain yang berburuk sangka kepada suamiku. Karena aku tahu kita tidak bisa mengubah hati orang lain namun, kita bisa mencegah hati kita agar tidak berburuk sangka kepada orang lain”

Dari sepintas cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain karena apa yang kita lihat belum tentu itu benar. Berprasangka buruk terhadap orang lain merupakan perbuatan yang sangat tercela dan hendaklah kita sebagai orang muslim menjauhi perbuatan tersebut karena Allah melarang hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 12:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Baca Juga:  Hikmah Hijrah di Era Pandemi

Buruk sangka atau dalam Bahasa arab disebut su’uzhan adalah tindakan yang tidak terpuji dan harus dihindari. Karena su’uzhan hukumnya adalah haram. Rasulullah Saw. bersabda: “Jahuilah olehmu sifat prasangka buruk. Karena ia merupakan paling dustanya pembicaraan.” (HR. Bukhori Muslim)

Berburuk sangka akan menyebabkan perilaku yang tercela lainnya sebagaimana yang dikatakan Al-Qasimi rahimahullahu Ta’ala berkata “Ketika buah dari su’uzhan adalah tajassus, hati seseorang tidak akan merasa puas dengan hanya ber-su’udzan saja. Maka dia akan mencari-cari bukti (aib saudaranya tersebut) dan akan sibuk dengan tajassus. Allah Ta’ala menyebutkan larangan tajassus setelah su’uzhan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang.

Oleh karena itu, jauhilah sikap berburuk sangka. Buanglah sejauh mungkin sifat tersebut dari hati kita. Sebagai umat muslim maka hendaklah kita hindari sifat berprasangka buruk kepada orang lain dan marilah kita sama-sama membersihkan hati kita dari penyakit-penyakit hati. Membersihkan hati adalah sunnah nabi dan kelak akan menjadikan kita berkumpul dengan nabi di surga, akan tetapi sebelum di surga ternyata di dunia kita sudah merasa bahagia, nyaman, tentram karena hati kita tenang. Alangkah baiknya jika kita kita senantiasa membersihkan hati kita, agar kita bisa merasakan kehidupan seperti di surga walaupun kita masih hidup di dunia. [HW]

Alfadia Fitri Aini
Mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Kepercayaan
    Cerpen

    Kepercayaan

    “Benar?!!!, Benarkah kamu melakukan itu???” Sekilas langsung mata ini terbelalak dan kaget buka ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah