Imam Abu Hanifah, adalah ahli fiqh paling terkemuka di masanya. Imam Syafi’i mengatakan : “Semua orang dalam fiqh adalah keluarga Abu Hanifah”.

Pandangan-pandangannya dikenal rasional. Ia dikenal sebagai “Imam Ahl Ra’yi”, pemimpin mazhab fiqh rasional. Ada banyak pendapatnya yang berbeda dari mazhab lainnya. Misalnya perempuan dewasa bisa menikahkan dirinya sendiri, tanpa wali.

Sekarang saya ingin menyebut contoh lain yang mungkin lucu tapi masuk akal. Ia berpendapat bahwa makmum shalat tidak perlu membaca surah al-Fatihah. Cukup Imamnya saja. Menurutnya Imam adalah pemimpin. Suara Imam/pemimpin adalah sudah mewakili suara pengikutnya. “Qiroah al-Imam Qiroah al-Ma’mum”. Bacaan Imam adalah bacaan makmum.

Apakah Imam Abu Hanifah hanya mengandalkan argumen akal? Ternyata tidak. Abu Hanifah juga mengemukakan dasar hukumnya dari hadits Nabi yang dipercayainya. “Innama Ju’ila al-Imam Li Yu’tamma bihi”, Seseorang dijadikan Imam, agar diikuti makmumya. Ini hadits Sahih Bukhari. Lagi pula al-Qur’an menyatakan: “Jika al-Qur’an dibacakan kepada kalian, maka dengarkan dan diam”.

Pendapat ini menimbulkan masalah dan kontroversial di tengah-tengah masyarakat yang umumnya penganut sebagaimana mazhab al-Syafi’i yang mewajibkan setiap orang yang shalat membaca surah al-Fatihah. Mereka marah, dan menuduh yang tidak-tidak, lalu berkumpul untuk melakukan unjuk rasa sambil berteriak-teriak emosional.

Mereka menuduh Imam Abu Hanifah telah sesat dan menyesatkan. Mereka kemudian berdemo dengan mendatangi rumah Abu Hanifah menuntutnya mencabut pendapatnya itu.

Abu Hanifah keluar menemui mereka sambil meminta bersikap tenang dan tidak membuat gaduh. Abu Hanifah lalu meminta mereka tidak saling berebut bicara. Setelah mereka tenang ia mengusulkan agar ada seorang di antara mereka yang terpandai, untuk menjadi wakil mereka guna mendiskusikan tuntutan mereka.

Baca Juga:  Jilbab, Hijab dan Kesalehan (1)

Sesudah mereka menunjuk seseorang yang dianggap paling mengerti agama, Abu Hanifah menanyakan kepada mereka: “apakah kalian setuju dengan orang ini? Mereka menjawab serentak: “Setujuu!”. Abu Hanifah bertanya lagi : “Apakah kalian akan mengikuti pendapatnya? Mereka menjawab lagi dengan suara yang sama: “Ya, kami akan mengikuti apapun yang akan disampaikan dan dilakukannya.

Kami “Sam’an wa Tho’atan”. Abu Hanifah mengatakan : “Nah, kalau demikian, masalahnya telah selesai. Sekarang kalian silakan kembali ke rumah masing-masing”. Mendengar itu, mereka, termasuk sang juru bicara, seperti orang bingung. “Kok selesai?. Apanya yang selesai?”

Peristiwa itu menunjukkan bahwa pendapat Abu Hanifah dibenarkan mereka. Bukankah pemimpin mereka adalah suara mereka juga? Jadi bukankah sudah cukup, bila dia saja yang bicara dan tidak perlu para pengikutnya ikut bicara?.

Cerita singkat di atas tidak dimaksudkan sebagai persetujuan saya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah untuk kasus ini. Melainkan hanya ingin memperlihatkan bahwa hukum agama (fiqh) tidaklah tunggal, dan bukan tanpa argument dari teks agama. Imam Abu Hanifah hanya berargumen dengan akal sederhana, karena ia mengerti siapa yang dihadapinya. Ia sebenarnya juga punya argument naql (hadits), tetapi itu harus dijelaskan, mungkin akan panjang dan belum tentu dapat dimengerti.

Jadi meskipun di tempat kita ada pandangan bagi keharusan setiap orang yang salat membaca al-Fatihah yang diikuti secara mainstream, tetapi pandangan yang minoritaspun perlu dihargai, karena iapun memiliki dasar, meski kadang tidak diketahui public. Oleh karena itu tidak sepatutnya ia disesatkan.

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kisah