Ilmu Perbandingan Agama (I): Masa Yunani dan Romawi Kuno

Adeng Muchtar Ghazali, dalam karyanya yang bertajuk “Ilmu Perbandingan Agama: Pengenalan Awal Metodologi Studi Agama-Agama” (2000), Awal mula manusia menemukan dokumen ilmu mengenai agama atau kepercayaan, yaitu pada ke-5 sebelum Masehi, tepatnya di Yunani Kuno. Terdapat dua cara yang diutarakan dalam studi agama tersebut pada waktu. Pertama, dengan catatan riwayat yang mencakup pendeskripsian agama-agama diluar orang Yunani, serta membandingkannya dengan praktik-praktik ritual yang terdapat dalam agama Yunani.

Kedua, yaitu kritik filosofi yang ditujukan kepada agama-agama tradisional. Rekam jejak tentang perkembangan dan pertumbuhan agama di Eropa bisa kita temukan dalam rangkuman ringkas yang ditulis oleh seorang dari Universitas Lund bernama Dr. Lehman. Faktanya, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, begitu banyak ilmuwan-ilmuwan dan para sarjana memberikan gambaran mengenai histori agama-agama, bahkan adat-istiadat berbagai bangsa. Yang terlibat waktu itu diantaranya: Sallustius (86-34 S.M.), Herodotus (481 S.M.), Cicero (106-8 S.M.), dan Berosos (250 S.M.).

Dalam karya Mukti Ali “Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia” (1996), Terdapat pula penulis-penulis yang sejaman dengan Yesus Kristus seperti Strabo (63 S.M.-21 M), Tacitus, serta Varro. Herodotus, sejarawan Yunani masa lampau pernah berkeliling ke berbagai negara dan suku bangsa hingga tercatat hingga 50 lebih. Hasil dari mengembara ialah tiap kali singgah, ia kerap menulis apa saja yang terdapat dalam suku bangsa yang ia kunjungi, baik dari budayanya yang bersifat agamis atau pun sekuler.

Hedorotus menyebut mereka dengan barbarian, yaitu mereka yang non-Yunani. Meski demikian, Hedorotus tidak mau mengunggulkan kebudayaan dan agamanya paling suci dan benar. Ia pun waktu itu sama sekali tidak mengkaji teori tentang comparative religion, namun uraiannya tentang Dewa-Dewa pada beberapa bangsa menunjukkan bahwa ia menggunakan apa yang sekarang disebut metode perbandingan. Dewa Bapastis yang masyhur dikenal bangsa Mesir kuno waktu itu, serupa denga napa yang diyakini masyarakat Yunani, yaitu Dewa Artunis.

Baca Juga:  Sikap Dikotomis Terhadap Ilmu

Begitu pun Dewa Heros, serupa seperti Dewa Apollo, sedangkan Dewa Osiris senada seperti Dionysus. Herodotus menggunakan banyak teknik yang hingga sekarang masih dianggap penting dalam studi agama. Ia bersifat objektif dan mencoba bersifat universal disamping datanya bersifat empiris. Uraian Herodotus hanya diarahkan kepada asal-usul Dewa-Dewa yang berkenaan dengan kemanusiaannya telah dikembangkan lebih jauh oleh Euhomerus, seorang filosof Siciclia.

Euhomerus berkeyakinan bahwa Dewa-Dewa adalah orang-orang yang berkuasa yang lambat laun didewakan. Hal ini bisa dikatakan memuja, mengagungkan dan memuliakan, Euhomerus dalam prinsip penafsirannya kini dikenal sebagai Euhomerusisme. Oleh tokoh-tokoh berikutnya seperti tokoh Kristiani, paham tersebut juga dimanfaatkan untuk menilik fenomena-fenomena agama non-Kristiani. Dalam menerangkan bagaimana asal mula agama, Herbert Spencer juga meminjam paham Euhomerusisme.

Dalam pandangan Spencer, nenek moyang-leluhur, hulubalang, dan pendiri suku merupakan Dewa. Keberanian dan kekuatannya, ia diagungnkan oleh keturunan dan penganutnya. Maka dari itu, penerimaan terhadap seseuatu yang ghaib merupakan suatu keniscayaan. Spencer menganggap bahwa pemujaan terhadap roh leluhur (nenek moyang) ialah asal usul agama-agama. Berossus, yang juga merupakan penulis berkebangsaan Yunani juga mencetak karya yang mengkaji praktik-praktik (peribadahan) keagamaan bangsa Assiria dan tentang astrologi.

Sebelum itu, Plato (429-347 SM) sering melakukan perbandingan dengan agama-agama suku suku Barbar. Theoprantus (372-287 SM) pun telah menyusun sejarah agama dalam 6 jilid. Megasthenes (302-297 S.M.) pun telah mencetak buku tentang agama di India. Hecatasus (365-275 SM) menulis tentang teologi Mesir dalam bukunya, Aegyptica. Di antara penulis-penulis zaman Romawi yang patut disebut karena karyanya yang bernilai keagamaan dan bersifat tarikhi adalah, Varro dan Marcus Tubius Cicero. Karya Varro berjudul “Roman Antioutius”  terdiri dari 40 jilid, merupakan salah satu sumber utama informasi mengenai agama-agama kuno.

Baca Juga:  Bahaya-Bahaya Ilmu Menurut Imam Al Ghazali

Sedangkan Cicero, seorang ahli hukum dan politik, ternyata mempunyai minat cukup besar terhadap agama. Menurutnya, pada dasarnya ada dua macam hukum, a). Hukum buatan manusia,  b). Hukum Tuhan. Hukum Tuhan menurutnya bersifat abadi dan universal walaupun kepercayaan dan praktk keagamaan berbeda. Buku Cicero yang popular yang mengkaji tentang agama diantanya On Fate,  One the Nature of Gods, dan On Divination. Dalam bukunya yang bertajuk On Divination, ia melontarkan kritik dan mencemooh praktik-praktik ketuhanan Romawi.

Tersebarnya kebaktian-kebaktian dari Timur, dan berkembangnya agama-agama misteri di wilayah kekaisaran Romawi, serta munculnya agama sinkretis di Aleksandria, mengakibatkan banyak orang senang mempelajari pengetahuan-pengetahuan agama antik dari berbagai negara. Selama dua abad pertama, lahirlah karya-karya tentang agama-agama, seperti: Heroenius Philon, seorang penganut euthomereisme menulis “Phoenician History”. Pausenius menulis “Description of Greece” yang dianggap sumber penting bagi sejarawan agama Titiek. Penulis Kristen lain seperti Plutarch juga menulis buku berjudul “On ISIS and Osiris” dan  Lucian dengan tajuk “On the Syrian Gods”.

Zakiyah Daradjat dalam bukunya yang bertajuk “Perbandingan Agama II”, dituliskan bahwa, dibandingkan dengan penulisan-penulisan Romawi beserta Yunani yang secara jelas sikapnya objektif kepada agama diluarnya. Justru penulis yang berasal dari dunia Barat (Kristiani) merasa unggul dan paling benar (supremasi). Bahkan mereka menyatakan bahwa seluruh agama di luar Kristiani adalah palsu beserta bukti-buktinya. Memasuki abad ke-6 dan ke-7, tradisi Euhomerisme mulai banyak kehilangan pengaruhnya di dalam polemik.

Sebaliknya Euhomerisme dipergunakan dalam mengungkapkan masalah, lalu legenda dan mite kuno untuk merekonstruksi sejarah Kristen. Seperti Isiden Sevilla dalam karyanya “Etymologica” berusaha menempatkan semua Dewa-Dewa agama yang menyembah kebiasaan berhala, terdiri dari enam periode historis dunia, diantaranya: a). Masa dari penciptaan hingga, b). dari banjir hingga masa Abraham (Ibrahim), c). Priod Ibrahim sampai Daud, d). masa Daud hingga pembuangan Babilonia, e). dari periode sebelumnya hingga Kristus lahir, f). Terakhir yaitu masa lahirnya Kristus hingga masa-masa selanjutnya.

Baca Juga:  Ilmu Didapat dengan Perjuangan Bukan Berangan-Angan

Buku-buku yang ditulis oleh orang Barat tentang agama-agama di Asia bertambah banyak dengan munculnya kegiatan aktivitas misionaris Kristen. Antara lain Giovanni di Plano Carpini (1182-1252), seorang misionaris yang menulis tentang Mongol dalam bukunya “Historia Monglorum” (1247) yang berisi informasi tentang kepercayaan-kepercayaan tradisional yang didasarkan kepada untus magis. Kemudian William de Rubruquis (1215-1270), dengan karyanya Itinerarium berisi perbandingan antara praktik-praktik keagamaan penyembah berhala dengan upacara agama Kristen. Ia melihat di dalam agama pagan ada yang mengenakan untaian manik-manik, yang dipandang serupa halnya dengan tasbih dalam Kristen. []

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini