Ilmu Didapat dengan Perjuangan Bukan Berangan-Angan

Terkadang kebanyakan orang mengganggap kecepatan memahami suatu pengetahuan (ilmu) adalah unsur bawaan yang dimiliki seseorang, suatu keistimewaan yang sudah ada sejak sononya,  “Enak ya kamu bisa cepat memahami pelajaran ini dan itu, sementara saya perlu jungkir-balik untuk sekedar memahaminya” betapa banyak orang yang beranggapan memahami adalah sebuah sesuatu yang kemunculannya tanpa sebab musabab.

Tapi apa lantas orang yang memiliki keistimewaan kecepatan memahami akan memiliki pemahaman tanpa sebab dan perantara apapun misal tanpa membaca atau belajar. Tentu saja tidaklah mungkin. Mana mungkin ada akibat tanpa sebab, ada asap tanpa api, Dalam hukum logika tentu akan tertolak dan dikategorikan sebagai logical fallacy atau logika yang salah.

Hal ini berlaku untuk apapun, termasuk proses memahami (ilmu). Paling tidak perlu ada kegiatan membaca dan mempelajarinya sekali atau dua kali baru diperoleh pemahaman. Bukan lantas rebahan, malas-malasan, tidur, bangun tidur tanpa membaca dan belajar ujug-ujug dapat ilham yang membuatnya seketika paham apapun. Meski mungkin (untuk tidak menyebutnya tidak ada) ada, jika dibandingkan dengan angka empiris, berapa banyak orang yang memperoleh pemahaman secara langsung tanpa musabab dengan mereka yang perlu perjuangan untuk mengupas pemahaman dengan beberapa kali membaca?

Pepatah Arab pernah mengatakan “الفهم يأتى بعد القراءة” yang memiliki arti “pemahaman diperoleh setelah membaca”. agaknya tidak berlebihan dan ada benarnya, untuk memasuki gerbang pemahaman yang dibutuhkan adalah kuncinya salah satunya, yakni membaca. Membaca apapun, baik buku maupun realitas kehidupan yang dapat kira keruk ilmunya.

Hal ini mengingatkan saya pada suatu untaian hikmah menarik;

تعلم فليس المرء يولد عالما # وليس أخو علم كمن هو جاهل

“Belajarlah kamu karena orang tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu # dan tidaklah orang yang berilmu itu seperti orang yang jahil.”

Dari hikmah tersebut kita belajar bahwa manusia dilahirkan telanjang, baik yang kaya maupun miskin, atau ras kulit putih maupun hitam kesemuanya sama, sama-sama telanjang dan tentu tanpa mengetahui apapun. Meminjam istilah pesohor filsuf  John Locke menyebut fenomena tersebut dengan Tabula rasa, yang menganggap manusia seperti halnya kertas kosong yang akan tercorat-coret pena melalui beragam pengalaman dan pengetahuan.

Baca Juga:  Bahaya-Bahaya Ilmu Menurut Imam Al Ghazali

Tidakkah kita menyadari, betapapun ada jenis manusia yang cepat memahami bukan berarti tidak membaca dan mempelajarinya. Mungkin saat kita terlelap dia berjihad dengan buku-bukunya untuk meraih pemahaman. Kita saja yang tidak mengetahui kapan ia membaca dan mempelajarinya, yang kita tahu saat kita belajar dia tidur, dan dengan cepat berkesimpulan “masih sempat-sempatnya tidur, padahal bentar lagi ujian” misalnya.

Butuh Perjuangan

Ada kisah menarik, kita lihat bagaimana seorang Rabi’ Ibn Sulaiman salah seorang murid Imam Syafi’i yang dikenal sebagai slow learner, yang sampai-sampai Imam Syafi’i melakukan pengulangan padanya sebanyak 40 kali. Namun ia tak jua paham. Hebatnya lagi, Imam Syafi’i tidak pernah melabelinya sebagai murid yang bodoh, bahkan menyarankannya agar senantiasa berdoa kepada Allah karena Dialah Sang Pemilik Ilmu dan pemberi pemahaman. Alhasil, dengan kekhusyukan dan kegigihan belajarnya, nama Rabi ibn Sulaiman kemudian menggema sebagai ulama terkemuka dan tersohor. Apa kabar pendidik saat ini? Sudahkah begitu bersabar menghadapi pembelajar yang benar-benar butuh pengulangan?

Penyair Arab juga mengingatkan betapa pentingnya suatu perjuangan;

لو كان نور العلم يدرك بالمنى # ما كلن يبقى فى البرية جاهل

اجهد ولا تكسل ولاتك غافلا # فندامة العقبى لمن يتكاسل

“Seandainya cahaya ilmu itu didapatkan dengan angan-angan # Niscaya tiadalah orang-orang yang bodoh itu berkekalan di bumi ini

Bersunggsuh-sungguhlah, janganlah engkau malas, dan janganlah pula engkau lalai # Karena penyesalan itu milik orang yang bermalas-malasan”

Ilmu didapat bukan hanya dengan angan melainkan perjuangan, kalau menurut syair tadi, kalau saja “nur al-ilmi” didapat hanya dengan berandai-andai, tanpa melakukan perjuangan ini dan itu, niscaya tidak akan ada manusia yang bodoh, dan pasti semuanya pandai. Misal “saya ingin menguasai dan pro ushul fiqh, dan fasih berbicara Bahasa Inggris Arab, dan Mandarin” Jika saja penguasaan ilmu hanya diperoleh sebatas angan cukup berkata demikian, manusia yang mana coba akan bodoh? Kesemuanya sudah pasti pandai.

Baca Juga:  Hubungan Tradisi Keilmuan Pesantren NU di Indonesia dan Al-Azhar Mesir

Siapa yang tak bisa melakukan, setiap orang pasti mampu berandai-andai, tapi sedikit dari mereka yang mampu istiqamah berjuang melawan kantuk dan malas saat berproses mewujudnya angan-angannya. Kalau kata Gus Miftah mengapa peluh keringat itu asin? Karena tidak ada perjuangan yang manis.

Mari singsingkan baju raih ilmu pengetahuan sebanyak dan seluas mungkin untuk kehidupan gemilang di masa mendatang, dan terpenting dapat memberikan manfaat pada sesama. Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Ali Yazid Hamdani
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga yang menulis isu-isu sosial keagamaan.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini