bayi

Semenjak kecil hingga dewasa, entah berapa kali kita mengulang ritual puasa dan menjumpai idul fitri. Ketika kecil, hari raya idul fitri begitu berarti dan sangat dinanti-nanti hingga semalaman membuat kita tak nyenyak tidur ingin cepat berjumpa pagi, agar bisa segera mengenakan pakaian baru dan bercengkrama dengan sanak saudara.

Pandangan kebahagiaan kita saat kecil masih berkisar sensasi keindahan fisik. Beranjak dewasa, jauh-jauh hari sebelum lebaran kita disibukan untuk membeli pakaian dan persiapan mudik atau pulang kampung ke tanah kelahiran. Ada kerinduan berbagi sehingga kita tak peduli ongkos melambung tinggi bahkan larangan mudik yang tahun ini kembali diterapkan oleh pemerintah. Semua dilakukan demi bercengkrama dengan segenap keluarga di kampung halaman.

Meskipun kecanggihan teknologi telah memungkinkan kita bisa bertatap muka dalam jarak jauh dengan sanak saudara tanpa perlu perjumpaan fisik secara langsung, namun belum afdol rasanya bila kita belum bersua secara fisik dengan anggota keluarga. Ujung ramadhan dalam satu sisi berpeluang meningkatkan transendensi diri—pemuliaan kemanusiaan, disisi lain berpotensi menceburkan kita ke dalam kubangan seremoni tanpa isi.

Ada ilustrasi menarik yang diceritakan oleh Komaruddin Hidayat dalam esai Kompas berjudul “Menyambut Idul Fitri Dialog Hati Nurani” yang terbit Senin 18 Januari 1999. Komaruddin menceritakan salah satu jamaah haji yang berkreasi menghias untanya lantas diikuti oleh jamaah lain sehingga berujung pada festival menghias unta dan perlombaan beradu cepat kemampuan unta berlari, sehingga melupakan niat awal hendak melakukan syariat ibadah haji dan terlena dengan festival seremonial.

Cerita yang dituturkan oleh Komaruddin tersebut merupakan bahan renungan kita bersama. Agar kita yang telah bersusah payah mengikuti aturan Allah selama ramadhan dengan berpuasa tidak terperosok ke dalam kelompok yang kata Rasul tidak mendapat hikmah apa-apa selain lapar dan dahaga. Kita menjadi lupa esensi beridul fitri lantaran terjebak pesona seremoni.

Ketika kita menikmati kesegaran nikmat berbuka yang mengobati lapar dan dahaga secara personal, hendaknya kita aplikasikan untuk mengobati lapar dahaga struktural yang dirasakan saudara-saudara kita yang lain. Tujuan Idul fitri bukan semata kemeriahan pesta lebaran melainkan upaya menggapai kerendahan hati dan kesucian yang melahirkan solidaritas sosial.

Kita mungkin mampu memenangi peperangan melawan nafsu sendiri atau meraih kemenangan personal namun kerap tak berdaya melawan dominasi kekalahan struktural. Tak sedikit orang yang mengeluhkan birokrasi dan segala bentuk kemunkaran seperti legalitas terorganisir korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di lingkungan tempatnya bekerja. Sehingga menimbulkan kegelisahan jiwanya.

Selama hari raya idul fitri, boleh jadi kita saling memaafkan secara tulus, namun tak jarang kita terjebak dalam perayaan ritus semu dan jabat tangan palsu. Saya ingat betul pernyataan guru saya yang pernah menyatakan bahwa bermaaf-maafan baru akan menghapus dosa-dosa kita, jika kita mengatakan atau mengakui dengan rendah hati dan penuh kesadaran kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang yang kita mintai pemaafan. Tak jarang lantaran tak bisa bersua terpisah bentangan jarak idul fitri kita isi dengan merangkai kalimat Whatsapp bertabur kata-kata indah dan bijak yang dikirim kebanyak saudara yang tak sempat kita kunjungi yang juga menjadi ritus semu dan pemaafan palsu.

Sebagaimana yang telah dituturkan oleh para tokoh agama, konon puasa yang dijalankan dengan penuh kesungguhan turut mengembalikan kesucian kita layaknya bayi yang baru lahir. Dengan begitu, dalam hari raya idul fitri kita tidak hanya melakukan mudik secara fisikal ke tanah kelahiran berjumpa sanak saudara melainkan juga perjalanan spiritual kembali ke muasal—Tuhan.

Dalam bahasa penyair Rumi kita ibarat seruling yang selalu melantunkan jerit kerinduan ingin kembali kepada rumpun bambu—Tuhan. jika ujung perjalanan puasa ramadhan adalah kelahiran bayi-bayi. Mungkin ramadhan ibarat seorang ibu yang tengah mempersiapkan kelahiran bayi yang sehat. Selama sebulan kita bersabar berada di perut ramadhan yang telah menutrisi fisik dan jiwa kita dengan sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan—hakiki. Sekaligus menyingkirkan segala hal yang sejatinya tidak kita butuhkan—nisbi.

Dalam buku “Belajar Cerdas” Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat) mengatakan bahwa usia pranatal hingga kelahiran bayi merupakan masa-masa penuh dengan peluang atau jendela potensi. Dengan menjadi bayi kita ibarat hardisk komputer yang baru saja diupgrade sehingga kembali segar dan memiliki performa maksimal. Sebagaimana bayi yang baru lahir langsung diperdengarkan lantunan adzan, begitu pun kita sebagai bayi pada saat idul fitri. Telinga bayi kita diperdengarkan oleh teriakan kita sendiri melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid.

Semoga seiring pertambahan usia dan pendewasaan diri. Idul fitri tak hanya kita pahami sebagai ritual tahunan tanpa pemaknaan. Sebagai bayi-bayi suci yang telah merekam takbir, tahlil, dan tahmid. Masing-masing individu atau personal hendaknya turut berkontribusi menata kehidupan sosial kemasyarakatan atau dimensi struktural.

Takbir mengingatkan kita bahwa tidak ada pembesar atau sesuatu yang patut kita besar-besarkan selain Allah, tahlil menegur kita bahwa tiada yang layak disembah selain Allah, dan tahmid menyadarkan kita bahwa tiada yang layak menerima sanjung puji juga selain Allah. Sebagai bayi, kita tak layak menyombongkan diri. Bernafsu menguasai atau menuhankan diri. Dan menyanjung diri sendiri lantaran merasa suci. Selamat idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam.

(IZ)

 

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini