Bulan kelahiran Nabi sudah memasuki minggu terakhir. Namun ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal saya semangatnya masih sangat kentara untuk menghadiri pengajian yang diadakan. Memasuki minggu ketiga kemarin, hampir setiap hari ada pengajian maulid yang bertempat di rumah warga secara bergantian. Para warga berlomba memantik semangat merayakan hari kelahiran baginda Nabi SAW. Sungguh suasana yang adem untuk meredamkan rutinitas duniawi yang semakin carut marut.
Bersawalat kepada Rasulullah memang sudah kewajiban kita sebagai umatnya. Namun di bulan kelahiran beliau ini justru menjadi moment yang tepat untuk merenungkan kembali, betapa agunya Rasulullah, betapa mulianya beliau, betapa kita sangat merindukan syafaatnya. Sosok suri tauladan yang sangat dibanggakan oleh umat manusia, terkhusus bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Begitu juga dengan ibu-ibu di tempat tinggal saya, yang sebagian bekerja di luar desa untuk menambah penghasilan keluarga. Mereka rela mengambil libur untuk menghadiri pengajian yang sudah terjadwalkan selama satu bulan ini. “Aku ambil libur ndak berangkat kerja, mau sholawatan buat kanjeng Nabi”, begitu kata Bude Lamijah, salah satu pegiat pengajian maulid Nabi. Pengajian memang diadakan di waktu siang hari setelah salat dzuhur, yang merupakan jam kerja pada umumnya. Walaupun dalam masa pandemi seperti ini, kegiatan pengajian sudah mendapat izin dari pemerintah setempat tentu dengan menjalankan protokol kesehatan yang sudah dianjurkan.
Di majles ini kami bersalawat bersama, membaca barzanji secara bergantian oleh ibu-ibu. Tempat tinggal saya bukan merupakan desa yang sebagian diisi oleh santri, bahkan dahulu kala di sini terkenal dengan kaum abangannya. Tidak sedikit pemuda-pemudinnya belum bisa mengaji dengan baik, paling jauh mereka ikut mengaji sampai pada tingkat TPQ, dan hanya beberapa keluarga yang mengirim anaknya ke pondok pesantren. Maka bacaan barzanji yang dilakukan oleh ibu-ibu juga masih jauh dari kata baik dan benar. Jika dinilai, maka masih sedikit yang menggunakan bacaan tajwid yang benar, bahkan ada yang sama sekali tidak menggunakannya.
Semangat belajar membaca barzanji ini juga dilakukan oleh Lik Jwuar. Selama bulan maulid ini setiap Senin malam dan Kamis malam pengajian memang rutin dilakukukan di serambi masjid, dan Lik Juwar adalah salah satu dari sekian ibu-ibu yang sudah ngantri untuk dapat bagian membaca barzanji. Sebelum membaca, beliau selalu berpesan, “Ojo guyu lho (jangan diketawain lho)”, yang sontak malah ditertawakan seluruh jama’ah.
Namun, bisa atau tidaknya mengaji atau lebih tepatnya membaca huruf arab dengan baik dan benar bukan merupakan point yang harus diunggulkan dalam hal ini. Semangat yang membara dari ibu-ibu ini yang membuat kita semua terenyuh dan terkesan. Semangat mengikuti majlis pengajian, semangat untuk mendapat jatah membaca barzanji, dan yang paling utama adalah semangat untuk mendapatkan syafa’at Nabi di yaumil qiyamah nanti. Tentu dengan keikhlasan kita mengikuti majlis yang insya Allah mendatangkan berkah ini. Toh yang mengukur mendapat atau tidaknya pahala kita juga Gusti Allah, bukan sesama manusia.
Sungguh, moment seperti inilah yang bisa membuat kita menyadari bahwa Islam bukanlah hal yang ketat, yang harus dijalani dengan spaneng dan kaku. Islam bisa kita peluk dengan keindahan dan kedamaian di dalamnya. Melalui guyonan-guyonan yang bisa mencairkan suasana dan menjadi intermezzo untuk moment-moment tertentu.
Bacaan thala’al badru dilantunkan begitu indahnya, dibaca serentak oleh jama’ah yang hadir. Thala’al badru ‘alaynaa, min tsaniyyatil wadaa, wa jabas syukru ‘alaynaa, maa da’aa lillaahi daa. Satu bait salawat thala’al badru yang jika diartikan maka kita patut senantiasa bersyukur karena purnama yang sempurna telah hadir di tengah-tengah kita, yakni Rasulullah.
Bulan kelahiran baginda Rasululah yang sebentar lagi akan berakhir. Bulan yang senantiasa membuat kita berlomba-lomba untuk memperbanyak bersalawat kepadanya. Momentum yang tepat sebagai pengingat bahwa kita memiliki sosok suri tauladan dalam segi apapun, termasuk berakhlakul karimah.
Jika Allah saja sudah bersalawat kepada Rasulullah, lalu kenapa kita masih enggan bersalawat kepadanya?
Allahumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad. []