Hirzul Amani

Dalam diskursus Ilmu Qiraat Al-Qur’an, ada sebuah kitab yang sering dijadikan rujukan utama sejak dulu hingga sekarang, yaitu Kitab “Hirzul Amani wa Wajhit Tahani” atau yang masyhur dengan nama “Matan Syathibi”. Kitab ini ditulis oleh Imam Qasim bin Firruh Asy-Syathibi (selanjutnya Imam Syathibi), seorang pakar Ilmu Qiraat dari Andalusia, tepatnya dari Xativa, sebuah kota di Propinsi Sevilla, Spanyol.

Kitab Hirzul Amani ini membahas tentang ragam Qiraat Al-Qur’an mutawatir yang diriwayatkan oleh para Imam Qiraat tujuh, yaitu: Imam Nafi’, Imam Ibnu Katsir, Imam Abu ‘Amr, Imam Ibnu ‘Amir, Imam ‘Ashim, Imam Hamzah, dan Imam ‘Ali al-Kisai. Pembahasan ilmu Qiraat dalam Matan Syathibi tidak terasa menjemukan, karena Imam Syathibi mampu menggubah kajian ragam Qiraat Al-Qur’an yang rumit ke dalam bait-bait Qashidah yang sangat estetik dengan menggunakan Bahar Thawil (salah satu notasi bait syi’ir dalam bahasa Arab). Qashidah Hirzul Amani atau Matan Syathibi ini seluruh baitnya ber-Qafiyah (akhir sebuah Qashidah) “La”, yang ketika dilafalkan terasa indah, dan ketika dihafalkan terasa mudah.

Selain ditulis dengan menggunakan Qasidah ber-Qafiyah “La”, Imam Syathibi juga membuat sebuah rumus yang memudahkan para pengkaji Ilmu Qiraat dalam memahami dan mengidentifikasi ragam Qiraat Al-Qur’an antar satu Imam dengan Imam yang lain, seperti: “أبج”, “أ” untuk Imam Nafi’, dan “ب، ج” untuk kedua Perawinya yaitu Imam Qalun dan Imam Warasy. Rumus “دهز”, “د” untuk Imam Ibnu Katsir, dan “هـ، ز” untuk kedua Perawinya yaitu Imam Bizzi dan Imam Qunbul. Rumus “نصع”, “ن” untuk Imam ‘Ashim, dan “ص، ع” untuk kedua Perawinya yaitu Imam Hafsh dan Imam Syu’bah, dan seterusnya. Penggunaan rumus dalam mengidentifikasi Imam Qiraat beserta ragam Qiraatnya yang dipraktikkan oleh Imam Syathibi pada kenyataannya dapat memudahkan para pelajar dalam mengkaji ilmu Qiraat.

Kitab Hirzul Amani atau Matan Syathibi ini sampai sekarang masih dijadikan Kitab pegangan inti dalam pembelajaran ilmu Qiraat Al-Qur’an di berbagai belahan dunia. Di Al-Azhar Mesir, kitab ini dijadikan rujukan utama pembelajaran Ilmu Qiraat, bahkan disyarahi oleh para Pakar Ilmu Qiraat Al-Azhar, seperti: Syekh Abdul Fattah Al-Qadhi yang menulis Kitab Al-Wafi Syarah Matan Syathibi, juga Syekh Muhammad Mustofa Bilal yang menulis Kitab Az-Zuhurun Nadiyah Syarah Matan Syathibiyyah. Di Damaskus Syria, kitab ini juga dikaji dan disyarahi oleh seorang ulama Pakar Qiraat Syekh Abu Syamah Abdurrahmah Ad-Dimasyqi.

Di Indonesia, kitab Hirzul Amani atau Matan Syathibi juga dipergunakan sebagai pegangan inti pembelajaran Ilmu Qiraat. Sebelum Kitab Faidhul Barakat fi Sab’il Qiraat ditulis dan kemudian menjadi pegangan pembelajaran Ilmu Qiraat di pesantren Nusantara, hampir di seluruh Pesantren Tahfidh al-Qur’an yang mengajarkan ilmu Qiraat, Kitab Matan Syathibi ini dijadikan rujukan inti. Bahkan, kitab ini juga menjadi pijakan lahirnya Kitab Faidhul Barakat fi Sab’il Qiraat, sebuah Kitab praksis pembelajaran Ilmu Qiraat, yang ditulis oleh Sang Muqri’ Kabir Nusantara Simbah KH Muhammad Arwani Amin Kudus, Pendiri Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an.

Besan sekaligus murid Kiai Arwani, Simbah KH Sya’rani Ahmadi juga mengkaji dan menulis sebuah kitab Syarah penjelas atas Kitab Matan Syathibi. Kitab tersebut dinamakan Faidhul Asani ‘ala Hirzil Amani wa Wajhit Tahani. Kitab karya Kiai Sya’rani yang berjumlah tiga jilid ini mengupas setiap bait Qashidah yang digubah oleh Imam Syathibi secara detail, sehingga memberikan penjelasan yang luas bagi pelajar Ilmu Qiraat yang mengkaji dan menghafalkan bait-bait Matan Syathibi.

Sebagai contoh, Imam Syathibi menggubah sebuah bait nadzam yang menceritakan tentang Imam Nafi’ seorang Imam Qiraat dari Madinah.
“فَأَمَّا الْكَرِيْمُ السِّرِّ فِي الطِّيْبِ نَافِعُ :: فَذَاكَ الَّذِيْ اخْتَارَ الْمَدِيْنَةَ مَنْزِلَا”
“Adapun yang mulia jiwanya dalam wangi semerbak Nafi’ namanya ::
Maka dia itu lah yang memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya.”

Kiai Sya’rani memberikan penjelasan mengenai sifat yang dilekatkan Imam Syathibi kepada Imam Nafi’ sebagai “al-Karimus Sirri fith-Thibi”, atau yang mulia rahasia jiwanya dalam wangi yang semerbak. Ternyata kalimat pendek ini menyimpan sebuah kisah indah tentang Imam Nafi’.

Diriwayatkan bahwa Imam Nafi’ ketika berbicara, selalu tercium dari mulutnya aroma misik. Imam Nafi’ ditanya oleh muridnya: “Syekh, apakah engkau selalu mengenakan minyak wangi ketika duduk dan mengajarkan al-Qur’an kepada manusia?”

Imam Nafi’ menjawab: “Aku tidak pernah memegang minyak wangi. Akan tetapi, aku pernah bermimpi bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad SAW, sementara beliau membaca al-Qur’an di mulutku. Sejak saat itu, tidak tahu mengapa, selalu tercium bau wangi ini.”

Penjelasan dalam kitab Faidhul Asani membuat bait-bait Qashidah Matan Syathibi yang ditulis dengan bahasa yang singkat dan padat (ijaz) menjadi lebih mudah untuk dipahami. Keberadaan Faidhul Asani yang ditulis oleh Simbah Kiai Sya’rani menambah kekayaan khazanah kajian Ilmu Qiraat, utamanya di Nusantara. Hal ini memberikan secercah harapan dan dorongan kepada para santri Nusantara, supaya mau meneruskan usaha para Ulama terdahulu dengan mengkaji Ilmu Qiraat yang akhir-akhir ini sudah jarang dipelajari.

“وَخَيْرُ جَلِيْسٍ لَا يُمَلُّ حَدِيْثُهُ :: وَتَرْدَادُهُ يَزْدَادُ فِيْهِ تَجَمُّلَا”

“(Al-Qur’ani) Sebaik-baik teman duduk yang tidak pernah jemu mendengar ucapannya.

Semakin diulang-ulang semakin bertambah-tambah keindahannya.”

Sahal Japara
Penulis adalah Pemerhati Ilmu Qiraat, Abdi Ndalem Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an 1 Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab