Opini

HAM dalam Pancasila

Pentingnya HAM saya kenal sejak masa kampus. Buku, tentu saja. Selanjutnya adalah realita dalam kehidupan. Awalnya adalah persoalan hukum yang menimpa keluarga. Saya merasa keluarga saya diperas oleh pengacara yang ini telah menjadi persepsi umum dalam masayarakat hanya menambah persoalan.

Saat berkonsultasi dengan teman yang katanya paling revolusioner se-provinsi Banten, ia memberikan pemahaman hukum yang lugas dan jelas. Diktumnya: Negara itu menindas, dan perjuangan litigasi saja tidak cukup.

Walhasil, akhir 2016 saya beranikan untuk bergabung dengan Lembaga bantuan hukum yang didirikannya. Saya mungkin satu-satunya yang kurang memahami ‘hukum secara formal’ maupun prosedural. Kasus pertama kami adalah Bantuan Struktural terhadap warga Pulau Pari (2016), kedua kasus Kriminalisasi warga Cadasari-Baros (2017) dan yang sekarang masih belum selesai kasus Pengusiran warga Pulau Sangiang (-2019).

Selama beraktivitas di LBH yang berkantor di kota Serang, saya seringkali mengisi mata kuliah Pancasila sebab sang dosen yang notabennya rekan sejawat merasa saya bisa memberikan pemahaman lebih jauh mengenai ideologi tersebut. Sebenarnya beliau memang agak malas ngajar.

Ironinya, disaat yang sama kami di LBH seringkali berhadap-hadapan dengan Negara, saya harus memberikan pemahaman pada mahasiswa, lebih jauh, menghadirkan Pancasila dalam wacana pembelajaran dikelas. Adapun konsep segitiga terbalik dalam memahami Pancasila tidak mampu menjangkau persoalan nyata masyarakat tentang implementasi Pancasila. Terutama Sila kedua.

Dalam Pancasila, sila Kedua Kemanusiaan yang adil dan Beradab, merupakan dasar ideologi Negara yang paling dekat dengan konsep HAM. Pada kenyataannya sila kedua ini dianggap lebih pantas mengalah pada sila di atasnya dan sila dibawahnya. Sila di atasnya berkaitan dengan Ketuhanan.

Sudah menjadi fenomena umum bahwa, atas nama Tuhan sisi kemanusiaan diabaikan bahkan dienyahkan. Selain itu atas nama ‘Nasionalisme sempit’ kemanusiaan seringkali dipandang sebagai aspek yang ‘mengganggu stabilitas Nasional’. Hal yang menjadi masalah utama pemahaman semacam ini, bahwa yang disebut ‘stabilitas nasional’ dan pengutamaan ‘persatuan’ dalam sila ketiga dimonopoli oleh kelompok tertentu dan tentu saja tafsir Negara.

Baca Juga:  Merangkul Harmoni dalam Keadilan dan Kemanusiaan: Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia

Tafsir Negara atas ‘persatuan Indonesia’ akan sangat bermasalah. Pertama tafsir ini dilaksanakan dalam rangka mempertegas kekuasaan Negara dan kedua oleh prosedural birokrasi ketatanegaraan. Sebagai contoh ‘rasa persatuan’ dalam tata kebijakan Negara difahami sebagai kerapihan barisan struktur kekuasaan dan ini yang paling menggiurkan rancangan anggaran.

Sangat mungkin, ‘rasa persatuan’ yang memang sudah muncul secara alamiah dan organik dalam masyarakat tidak akan bisa masuk menjadi bagian dari kekuasaan Negara dan anggaran yang dibuatnya. Hal ini memang sudah bertentangan sedari awal secara filosofis maupun operatif.

Maka wajar, mereka yang memiliki komitmen atas persatuan bangsa dan investor terbesar dalam mempererat rasa persaudaraan sesama anak bangsa seringkali tidak terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan persatuan nasional seperti perintah Rancangan Anggaran Pembelanjaan Negara.

Sebenarnya, sila Kedua yang menjadi landasan utama perlindungan HAM masih mendapatkan tantangan dari sila keempat dan sila kelima. Pada sila Keempat, proses demokrasi terkadang dipakai oleh para legislator dan pemimpin eksekutif di pusat maupun daerah untuk memperkuat kedudukan mereka.

Kadang (eks-leg) dengan dalih agama atau kompromi dengan pihak-pihak kelompok/individu pelanggar HAM yang menguasai wacana publik untuk kemudian secara struktural menciptakan kebijakan yang diskriminatif melanggar HAM.

Pada sila terakhir, berkaitan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara umum dapat dikatakan sila kelima memiliki nafas yang sama dengan sila kedua. Kedua sila tersebut merupakan ‘dasar negara’ yang paling sulit dilaksanakan karena jangkauannya yang sangat luas meliputi ‘kemanusiaan’ dan ‘seluruh rakyat Indonesia’

Sila kelima memiliki nafas sosialisme paling kental. Namun sila ini kemudian bisa menjadi masalah karena tafsir Negara atas sila kelima seringkali terletak pada perampasan hak warga Negara ‘atas nama’ keadilan sosial’ yang hendak diselenggarakan Negara.

Baca Juga:  Apakah Agama, Pancasila, dan UUD Memiliki Keterkaitan?

Tidak perlu jauh-jauh,UUD 1945 Pasal 34 (ayat 1-4) tentang penyelenggaraan jaminan sosial yang diimplementasikan dalam BPJS merupakan kebijakan yang sangat baik secara filosofis maupun konseptual. Namun sedikit saja lengah, Negara akan berusaha—justru atas nama keadilan sosial—menarik sekian iuran yang memberatkan atas nama ‘keadilan sosial’.

Lagi-lagi Dasar Negara kita bisa saling memakan satu sama lain. Sila pertama, ketiga dan keempat memiliki celah ‘ekslusifitas’ sehingga bisa membuka peluang individu/kelompok tertentu atas nama sila-sila tersebut untuk merampas HAM warga Negara lainnya. Saya tidak bermaksud untuk mengajak kita semua bersikap pesimis atas mekanisme Negara dalam menjalankan Ideologi negaranya, terutama komitmen mereka terhadap HAM.

Sependek pengalaman saya, sebagaimana ikut serta dalam bantuan hukum struktural, keadilan dan upaya mempertahankan HAM adalah hasil perjuangan. Kemerdekaan, kata Pram, tidak turun dari langit. Hak-hak dasar yang kita miliki sekarang adalah hasil perjuangan masa lalu. Maka, perjuangan kemanusiaan hari ini adalah hadiah dari kita untuk generasi masa depan.

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini