Perempuan. Satu kata, satu jenis makhluk yang dilambangkan sebagai tulang rusuk kaum Adam, sebagaimana awal masa penciptaannya yang ditugaskan untuk menemani masa sepi Nabi Adam selama ditahbiskan sebagai manusia pertama penghuni surga hingga dijadikan penyebab turunnya ke bumi sesuai dengan jejak kisah sejarah yang digaungkan hingga sekarang.
Pembahasan tentang perempuan memang menjadi hal yang menarik baik ditinjau dari aspek agama, maupun sosiologi budaya. Tugas dan visi misi penciptaannya seringkali dikaitkan dengan agama maupun budaya yang melekat pada suatu komunitasnya, atau lingkungan tinggalnya. Keterkaitan itu mengakar dan mendarah daging apalagi jika dikorelasikan dengan interpretasi dalil-dalil naqli baik yang bersumber dari al-Quran maupun Hadis yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Salah satu yang menarik dalam pembahasan perempuan adalah jika dikaitkan dengan sabda Nabi Muhammad.
Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua umat Islam setelah al-Quran yang mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kelestarian dan keberlangsungan perjalanan Islam sampai hari ini. Ada beberapa hadis Nabi yang seringkali dianggap mendiskriminasi kaum perempuan (misoginis), entah karena keterbatasan manusia dalam menginterpretasikannya atau adanya pemahaman tekstualitas yang digunakan. Istilah misoginis pertama kali digaungkan oleh Fatima Mernissi, seorang tokoh feminism muslim yang dikenal lewat pemikiran kritisnya menelaah hadis-hadis yang dinilai “merugikan” kaum perempuan.
Misoginis sendiri berasal dari bahasa Inggris, merujuk pada kamus bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris, arti kata misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti “kebencian terhadap perempuan”. Jauh sebelum Islam datang, perempuan memang mendapatkan diskriminasi yang luar biasa, kemudian Rasulullah datang membawa agama yang penuh kesantunan salah satunya terhadap kaum perempuan. Fatima Mernissi beranggapan bahwa masih banyak hadis yang diangggap shahih karena berada pada kitab shahih, beberapa diantaranya dalam shahih Bukhari.
Salah satu redaksi atau matan hadis dalam Shahih Bukhari yang dianggap misoginis adalah pada bab al-nikah dan al-haidh, dimana dijelaskan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum perempuan, termasuk hadis yang menjelaskan idza batat al-mar’ah dalam sub bab seorang istri yang menolak jika diajak berhubungan badan oleh suaminya maka malaikat akan melaknatnya hingga fajar. Termasuk dalam pembagian waris, hak menjatuhkan talak, dan posisi seorang perempuan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis menjadi rujukan utama setelah al-Quran yang dianggap mengejawantahkan makna al-Quran yang masih tersurat, sehingga ada beberapa golongan kaum perempuan yang rela untuk ditindas, disakiti, didiskriminasi atas landasan hadis-hadis yang difahaminya.
Bagaimana dengan konteks perempuan masa kini? Sebetulnya Indonesia pun mempunyai tokoh feminis yang memperjuangkan hak perempuan salah satunya adalah RA Kartini, yang di masa penjajahan sudah berjuang agar khususnya kaum perempuan mendapat hak yang sama dengan laki-laki untuk memajukan masa depannya. Banyak tokoh-tokoh perempuan berada dalam garis terdepan baik dalam sosial, ekonomi, budaya maupun dunia politik. Sudah banyak pula, perempuan sebagai penggerak aktif berpartisipasi dalam perubahan. Namun, tak dapat dipungkiri juga bahwa masih banyak sisi lain negeri bahkan dunia ini yang masih mendiskreditkan kaum perempuan terutama di daerah-daerah yang belum terjamah oleh arus perubahan pola fikir masyarakat modern khususnya dalam bidang pendidikan perempuan. Budaya yang telah mengakar sulit untuk dihilangkan terutama di masyarakat muslim pelosok-pelosok daerah yang masih memandang perempuan sebagai makhluk nomor dua. Faktanya, masih banyak perempuan di daerah terpencil khususnya di Indonesia masih sulit menghilangkan budaya diskriminasi yang tercipta sejak berabad-abad dahulu, apalagi jika budaya itu dikemas secara apik dengan smart packaging dan legitimasi dalil-dalil agama.
Telaah kritis mengenai hadis-hadis yang dinilai misoginis sudah seringkali dilakukan baik secara sanad maupun matan. Pembahasan kesetaraan gender harus benar-benar dilihat dari kacamata yang beragam. pemahaman hadis-hadis misoginis tidak serta merta harus ditelan mentah-mentah. Islam tidak pernah menyudutkan kaum tertentu dan menjunjung tinggi kaum lainnya. Harus adanya kesadaran bahwa perempuan berhak mendapat pendidikan yang layak untuk merubah arah masa depannya sesuai yang diajarkan oleh Islam, bukan hanya berkutat dengan tugas domestiknya menikah, mengurus anak, dapur dan melayani pasangannya.
Memahami dan menelaah hadis dari para pejuang feminis butuh ketelitian yang seksama. Konten yang dihasilkan adalah pemikiran Barat, dan sudah tentu mempunyai worldview yang seringkali kurang sesuai dengan ajaran islam. Menurut ajaran islam, keadilan bagi kaum perempuan harus ditegakkan karena sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Islam selalu menyamakan hak setiap makhluk khususnya laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukan dengan menyamakan posisi laki-laki dan perempuan sama rata di segala hal, namun definisi persamaan hak dan kewajiban adalah sesuai dengan porsi atau fitrah peran yang dimiliki oleh masing-masing untuk hidup saling melengkapi dalam sosial kemasyarakatan.
Meskipun sebuah hadis dianggap dan dikatakan shaḥīh secara sanad dan matan, tidak lantas kita bisa stagnan dibalik keshahihannya itu dijadikan sebuah hujjah. Teks atau redaksi hadis yang dianggap misoginis memang tak bisa ditolak dan diabaikan keberadaannya, keshahihan dan kebakuannya, tetapi proses interpretasi dan pengamalannya harus diiringi dengan dialog ilmu-ilmu lain yang berkembang saat ini, sehingga nantinya proses fiqh al-ḥadīts atau living hadith ada sinkronisasi dengan konteks jaman yang sudah kekinian karena baik al-Quran dan Sunnah memberi keadilan penuh kepada kaum perempuan. [HW]