Pengasuhan anak -kadang di istilahkan dengan hadhanah– merupakan isu sentral yang tidak bisa dipisahkan dalam hubungan pernikahan. Terlebih ketika suami istri tersebut sedang melangsungkan perceraian maka hadhanah menjadi suatu akibat putusnya pernikahan. Seperti dalam banyak kasus di negara Indonesia, setelah memutuskan perceraian yang melelahkan di pengadilan, bekas suami istri juga acap kali masih berselisih mengenai siapa yang pantas mendapatkan hadhanah.
Jelas kejadian seperti ini memunculkan persoalan yang mungkin membutuhkan waktu yang lama, dan jelas perselisihan mengenai hak asuh anak yang terus menerus akan berdampak kepada psikologi sang anak yang diperebutkan. Beberapa kasus yang pernah penulis baca dan amati di beberapa putusan pengadilan, ada kecenderungan untuk menjatuhkan antara bekas suami dan istri karena keduanya berusaha memperebutkan sang anak bahkan sampai mengintervensi anak agar ikut salah satu dari keduanya.
Seperti contoh kasus hadhanah dalam keluarga Fatimah dan Muksin yang sampai pada proses peninjauan kembali (PK) pada putusan Nomor: 4/PK/Ag/2018 yang memuat tentang penerimaan dan pengkabulan peninjauan kembali yang diajukanoleh pemohon (Fatimah), serta pembatalan putusan Pengadilan Agama Gresik perkara Nomor 1330/Pdt.G/2016 PA.Gs tanggal19 April 2018. Pada akhirnya hak hadhanah anak pertama dan kedua beralih kepada Fatimah yang sebelumnya hanya mendapatkan anak pertama. Jika kita membuka laman direktori putusan Mahkamah Agung RI, maka kita akan menemui total jumlah putusan hadhanah Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Adalah 1.000.224 (diakses pada tanggal 22/01/2022) putusan yang tercantum dalam laman tersebut, itupun masih terdapat putusan yang tidak di upload.
Banyaknya kasus seperti ini nampaknya mungkin membuat kita bertanya-tanya. Kenapa pengasuhan anak yang jelas-jelas merupakan kewajiban seorang orang tua harus diperebutkan di pengadilan? Bukankah meskipun telah berpisah keduanya juga tetap berkewajiban untuk mengasuh anak?. Pertanyaan ini mungkin sangatlah mengganjal dipikiran kita, terlebih putusan pengadilan kebanyakan memutuskan hak hadhanah di menangkan oleh salah satu pihak.
Kecenderungan Suatu Peraturan
Jawaban yang paling mendasar pada pertanyaan tersebut adalah karena dalam substansi hukum yang dijadikan acuan cenderung tidak mengenal hak asuh bersama (joint custody), sebagai konsekuensinya negara ini dalam legal system cenderung menganut hak asus tunggal (sole custody) dalam konteks akibat perceraian orang tua. Seperti misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 yang berbunyi “Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”. Pasal tersebut secara eksplisit berbicara jika kalau tidak ke ibu jatuhnya akan ke pihak ayah. Dalam pasal lain tepatnya pasal 156 ayat (a) sampai (f) juga mengatur secara detail mengenai hadhanah. Rujukan lainya juga mengacu pada yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 yang menyatakan “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu..”.
Apabila kita kritisi aturan-aturan tersebut turunan dari beberapa pendapat ulama mazhab terutama mazhab Syafi’i. Dalam pandangan madzhab Syafi’i terkait anak yang sudah mumayyiz yakni berumur tujuh tahun itu di perbolehkan untuk memilih sendiri apabila kedua orang tuanya sama-sama layak untuk mengurus hadhanah, baik itu dalam masalah agama, harta, maupun kasih sayang, maka anaktersebut di persilahkan untuk memilihnya. Alasanya adalah anak tersebut telah dianggap mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebab itu anak di beri kebebabasan untuk memilih antara Ibu dan Ayah. Bedanya dengan KHI adalah ke-mumayyiz-an di dalamnya menilai usia 12 tahun dianggap sebagai batas akhir usia si anak boleh melakukan pilihan.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang perlindungan anak juga tidak secara eksplisit mengakomodasi konsep joint custody dalam pengasuhan anak. Bisa dilihat dalam pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. Akan tetapi pada ayat (2) terdapat indikasi yang memotret keberadaan adanya joint custody, pada ayat tersebut dijelaskan bahwa anak tersebut berhak untuk bertemu dan berhubungan pribadi dengan kedua orang tuanya, mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, kemudian memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya, dan hak-hak lainya.
Wajar saja jika banyak orang yang bertanya-tanya mengenai kenapa harus hak asuh tunggal, karena memang terkadang sole custody diinterpretasikan sebagai konsep yang salah satu pihak tidak berhak lagi atas perawatan dan pengasuhan terhadap anak. Kecenderungan menggunakan sole custody seakan-akan memutuskan rantai hubungan anak dengan salah satu diantara kedua orang tuanya. Anak tersebut bisa dikatakan tidak menemukan kasih sayang secara utuh apabila putusan pengadilan sering cenderung kepada hak asuh tunggal.
Joint Custody sebagai Terobosan
Salah satu terobosan yang mungkin bisa dipakai saat ini adalah dengan kecenderungan memakai konsep joint custody dalam memutuskan perkara hadhanah. Konsep tersebut dinilai mampu menjadi bahan pertimbangan bagi seorang hakim untuk memutuskan perkara hadhanah berdasarkan kepentingan anak. Faktanya, beberapa putusan mengenai tentang hadhanah telah diputuskan berdasarkan paradigma hak asuh bersama. Misalnya saja seperti putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No. 0334/Pdt.G/PA.Gdt yang menetapkan pengasuhan anak bersama (joint custody) dengan menggunakan model membagi waktu bersama (physical custody) yang pelaksanaanya dilakukan dengan penuh iktikad baik (to perform in good faith).
Setidaknya dengan senantiasa mengupayakan joint custody sebagai paradigma memutuskan perkara hadhanah terlihat upaya yang lebih untuk mendukung pemenuhan hak-hak anak. Terdapat nilai plus tersendiri ketika menggunakan konsep seperti ini yaitu: 1). Konsep semacam ini akan terus menjaga hubungan orang tua dan anak pasca terjadinya perceraian, 2). Memberikan kesempatan bagi anak untuk senantiasa eksplorasi diri bersama orang tua secara berimbang, 3). Anak tidak akan merasa kehilangan kasih sayang orang tuanya.
Selaras dengan nilai plus tersebut, konsep joint custody juga akan meng-counter asumsi masyarakat bahwa barang siapa yang memenangkan perkara hadhanah maka dia berhak memegang kendali kehidupan anak sepenuhnya. Sehingga memunculkan persepsi akan aturan ketat pertemuan anak dengan orang tua yang tidak memegang hadhanah. Oleh karena itu konsep hak asuh bersama alangkah baiknya dibumikan demi suatu kemaslahatan, terlebih seiring berkembangnya zaman saat ini. []