Gus Baha di Mata Seorang Penghayat Kepercayaan

Selain agama Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, masyarakat Indonesia juga mengenal penghayat kepercayaan. Penghayat kepercayaan ini merupakan warisan turun temurun dari leluhur yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Dalam sebuah kesempatan, saya berbincang dengan seorang penghayat kepercayaan, 1 dari 12 paguyuban di Malang. Sebut saja, pak Bambang. Awalnya, pak Bambang bercerita tentang keluarganya yang sejak kecil menjadi penghayat kepercayaan hingga proses pencarian secara mandiri tentang ajaran kepercayaan saat sudah dewasa. Lalu, tiba-tiba pak Bambang bercerita tentang sosok yang sedang naik daun, gus Baha.

Bagi pak Bambang, sosok gus Baha adalah figur yang sejuk dan moderat. Ceramah gus Baha yang banyak diselipi bahasa yang ringan dicerna juga menjadi sebab pak Bambang mengidolakan beliau.

Pembawaan gus Baha yang demikian, dipandang pak Bambang selaras dengan beliau selaku penghayat kepercayaan. Bagi penghayat kepercayaan seperti pak Bambang, kurang tertarik dengan gaya dakwah yang berapi-api, mudah mengambil kesimpulan, atau terkesan keras baik dalam pilihan kata atau intonasi.

Bila kita mendengar ceramah-ceramah gus Baha, beliau memang sering menyentak kesadaran publik. Beribadah, bagi beliau, tidak hanya sebatas salat atau sedekah saja, tapi bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga juga termasuk ibadah. Ibadah juga tidak dimaknai untuk takut kepada Allah SWT saja, tapi juga disertai rasa gembira akan luasnya rahmat Allah SWT.

Sebelum banyak menyimak ceramah gus Baha, sebelumnya pak Bambang banyak mengikuti/mendengar ceramah-ceramah dari gus Muwafiq. Tak hanya gus Baha dan gus Muwafiq, ceramah-ceramah gus Miftah juga terkadang didengar oleh pak Bambang.

Melihat kenyataan yang demikian, perlu kiranya kampanye Islam ramah dilakukan secara masif. Dalam artian, bagaimana caranya menampilkan wajah Islam yang ramah, gembira, bahagia, bukan melulu wajah Islam yang mudah memberi penghakiman kepada pihak lain.

Baca Juga:  Gus Baha: Berkontribusi Tidak Harus Menyelesaikan Masalah

Karakter gus Baha yang tidak suka dengan hal yang membuat ribet, mengajarkan hidup sederhana, berbuat baik kepada sesama, selaras dengan apa yang menjadi keyakinan pak Bambang selaku kaum penghayat kepercayaan. Dalam pandangan kaum penghayat, hidup dijalani dengan apa adanya. Hidup diupayakan menyatu dengan alam semesta agar keseimbangan hidup bisa tercapai.

Tak hanya itu, penyampaian ceramah gus Baha yang disertai dengan kajian literatur dari berbagai kitab juga membuat pak Bambang tertarik pada beliau. Kajian literatur tersebut membuat pak Bambang sedikit banyak ikut belajar sumber-sumber mana saja yang bisa dijadikan rujukan belajar keagamaan Islam.

Fenomena gus Baha, gus Muwafiq atau gus Miftah, setidaknya membawa warna baru dalam dakwah Islam. Dimensi dakwah tidak melulu menampilkan tata laku peribadatan. Islam juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup berdampingan dengan sesama dan menyebarkan kedamaian. Wallahu a’lam. [HW]

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini