Finding Gus Dur (1) : Sosok Ulama Karismatik

Saya lahir dan besar di lingkungan NU. Jika dibedah, barangkali darah dan daging saya NU. Bapak, Pak De, dan banyak saudara saya adalah aktivis NU Par-Excellent. Sebagian jiwa dan raga mereka didarmabaktikan untuk NU di wilayah Kabupaten Semarang. Zaman saya kecil, karena saya lahir tahun 1980-an, NU adalah identik dengan Gus Dur.

Gus Dur adalah NU (Gus Dur terpilih menjadi Ketua Tanfidiyah PBNU, di Muktamar NU Situbondo, tahun 1984. Inilah kenangan masa kecil saya soal NU dan Gus Dur. Tentang sosok Gus Dur seringkali dikisahkan oleh Bapak saya, saat saya masih sekolah di ‘Sekolah Arab’ atau Madrasah Sore.

Menurut Bapak saya, kalau diringkus dalam tiga kata, Gus Dur adalah sosok yang ‘cerdas’, ‘waskita’ dan ‘sakti’. Gus Dur adalah wali Allah yang mampu membaca masa depan, ngerti sakdurunge winarah. Beliau adalah trahing kusumo rembesing madu, cucu dari Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, Putra dari Sang Mujtahid Islam Nusantara, K.H. Wahid Hasyim.

Menurut cerita Bapak saya, Kakek Gus Dur, Mbah Hasyim pernah berkunjung ke Pesantren Kakek saya, sebuah pesantren tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, di pinggiran Kabupaten Semarang. Soal tahun Bapak saya tidak menyebutnya secara detail. Sedangkan kisah soal sepak terjang dan peran Gus Dur dikenalkan oleh Bapak saya dari Majalah Aula.

Hal inilah yang membuat saya ‘penasaran’ terhadap sosok Gus Dur. ‘Rasa kepenasaran’ saya akan sosok Gus Dur ‘sedikit terpuaskan’ ketika saya hijrah ke Kota Budaya, Surakarta, untuk ngudi kaweruh di sebuah sekolah negeri berasrama yang diiniasai oleh Menteri Agama Zaman Orde Baru, Munawir Sadzali, MAPK-MAKN Solo.

Guru Bahasa Arab saya, Alm. Ustad Rosyidi Asyrofi L.C., ternyata teman satu flat dengan Gus Dur sewaktu kuliah di Al-Azhar Mesir. Gus Dur memanggil Ustad Rosyidi dengan panggilan ‘Kang Rosyidi’, karena usianya lebih tua beberapa tahun dari Gus Dur. Di flat mereka tinggal bersama Gus Mus dan Kiai Syukri Zarkasi Gontor.

Baca Juga:  Pandangan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Agama dan Negara: Dimensi Demokrasi

Ustad saya banyak bercerita, di sela-sela kegiatan mengajar, mulai dari soal hobi Gus Dur membaca dan nongkrong di Perpustakaan, hobi nonton film, Gus Dur sigap menerima tupoksi belanja ke pasar, sampai cerita-cerita lucu, kocak, konyol, dan inspiratif lainnya seputar Gus Dur. Sayang memori saya soal cerita klasik Gus Dur dari Ustad saya banyak yang tidak terekam dengan apik dalam ‘big data’ ingatan saya.

Sehingga saya kurang bisa merepro cerita-cerita tersebut secara detail. Satu hal yang sering Ustad Rosyidi tekankan ke para santri adalah menjadilah seperti Gus Dur, yakni: mampu menguasai berbagai vocabularies/mutaradifat bahasa asing secara otodidak (penulis meyakini bahwa Gus Dur adalah sosok poliglot), ‘maniak’ membaca, dan pandai menulis.

Meski uang saku saya dulu cekak, saya mengandalkan subsidi dari Departemen Agama sebesar Rp 17.000/ per santri MAPK. Saya mencoba mencari dan memborong buku-buku, mengkliping Koran, majalah yang menceritakan soal Gus Dur dan memuat tulisan-tulisannya. Pasar loak majalah di Pasar Sriwedari menjadi ‘saksi sejarah’ perburuan saya ‘membaca’ Gus Dur.

Di asrama saya selalu menanti statemen Gus Dur baik di  TV maupun radio. Di saat kawan-kawan saya lainnya berasyik masyuk dengan acara-acara siaran langsung sepak bola Liga Inggris dan menonton film kartun. Cerita-cerita Ustad Rosyidi ini benar-benar memompa semangat saya untuk terus memahami (pemikiran) Gus Dur. Pahamkah saya terhadap pemikiran Gus Dur?

Jauh panggang dari api. Makin mencoba mendalami, makin merasa kecil saya. Makin berusaha mempelajari, makin bodoh saja rasanya. Sebaik-baiknya sikap, adalah tidak berhenti. Itu artinya, saya sedang dalam perjalanan memasuki belantara Gus Dur. Ibarat spon basah, semua hal yang saya coba serap, akhirnya menumpulkan otak saya. Karenanya, saya harus segera memeras spon basah tadi, agar kembali kering dan siap menerima hal-hal baru dari seorang Gus Dur.

Baca Juga:  Perkuat Solidaritas Global, Nahdliyyin Inggris dan KBRI London Kaji Diplomasi Gus Dur

Saya melihat begitu banyak komunitas pro Gus Dur. Barangkali banyak pula pihak yang anti Gus Dur. Saya tak peduli. Mengagumi Gus Dur adalah hak saya. Sekalipun begitu, kekaguman saya sejauh ini saya anggap normal-normal saja. Artinya, saya kagum terhadap ajaran Gus Dur, tetapi tetap dengan kesadaran bahwa, Gus Dur tidak akan lebih besar kalau saya puji.

Gus Dur tidak akan lebih kecil kalau saya maki. Saya bertekad dan berusaha semampu saya, mewarisi segenap ajaran dan kebaikan yang melekat pada dirinya. Gus Dur adalah Gus Dur. Titik. Jangan ditambahi. Jangan dikurangi. Gus Dur adalah nama besar yang telah diakui seluruh dunia.

Lepas dari ‘kontroversi’ yang menyelimuti perjalanan hidup Gus Dur, dia tetaplah orang besar. Besar cita-citanya, besar ide dan gagasannya, besar pula kecintaannya terhadap Tanah Air. Dialah “Sosok pemimpin yang akan dirindukan dunia” sebagaimana ditulis Time. Gus Dur seorang santri par excellent, kiai, guru madrasah, aktivis demokrasi, pejuang HAM, politikus, seniman, pengamat sepak bola, dan sufi. []

Bersambung……

Faried Wijdan
Pengelola Pabrik Aksara

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] untuk Gus Dur, Ustad Rosyidi, Kakek, Bapak, Pak De dan Ibu saya. […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama