Hikmah

Filsafat, Tanah tanpa Tuan

Filsafat adalah tanah tanpa tuan, di antara “entah” dan “mengapa”.

Sebagai sebuah disiplin pengetahuan, filsafat dipandang sebelah mata: dianggap angker dengan kerumitan teori di dalamnya, ilmu yang melambung ke langit tanpa tahu cara untuk mendaratkan diri ke bumi, ke kehidupan nyata. Begitulah kesimpulan yang jamak Anda temui saat berbicara tentang filsafat.

Benarkah? Tentu saja! Sebab filsafat selalu bergelut dengan isu-isu abstrak, seperti identitas, dualisme pikiran-tubuh, asal-usul jagad, Tuhan, kondrat pengetahuan dan lain sebagainya. Akibatnya, ketika dihadapkan pada problem konkret akan keganjilan manusia yang digenapi dengan pengalaman pahitnya, Anda bungkam! Sebagai filsuf (yang masih kampungan) pasti Anda terbata-bata menjawab pertanyaan dari seorang gadis yang menggendong luka di punggungnya, “Apakah kondrat sejati hidup ini adalah penderitaan?”

Sebab, hidup manusia tidak seindah yang ditulis di kitab-kitab kebijaksanaan. Kita harus berani jujur pada kondisi manusia yang lemah, ambigu dengan selubung kesengsaraan. Oleh karenanya, filsafat harus bisa turun dari pertapaannya dan membumi (down to earth) dengan persoalan sekitar. Filsafat harus bisa memberi arti bagi kehidupan yang syarat dengan airmata. Namun, sebelum sampai ke sana ada dua buah pertanyaan yang harus dijawab: pertama, apakah filsafat memang bisa menghampiri kehidupan? Dan, kedua, apakah filsafat mampu berfungsi sebagai penghibur bagi kehidupan yang seringkali disuburkan oleh kesedihan?

Sekilas, jawaban untuk pertanyaan pertama adalah negatif. Filsafat adalah kerumitan-kerumitan teoritis yang memuat ratusan konsep dan bukan bahan perbincangan sehari-hari di warung kopi. Tengok saja teori-teori semacam materialisme, idealisme, rasionalisme, empirisme, substansi, aksiden, telos dan hal-hal aneh lainnya. Tentu semua itu bukan obrolan santai di sela-sela kegiatan sehari-hari manusia. Mereka adalah monopoli diskusi para profesor tak berambut dan berkacamata tebal yang notabene kering dan membosankan. Filsafat, karenanya, menjadi kurang sipp dan dijauhi orang awam. Sebuah menara gading teoritis yang berdiri angkuh di tengah-tengah taman ketidaktahuan.

Baca Juga:  Neoplatonisme (5)

Padahal, sejarah mengajarkan bahwa sesungguhnya filsafat sejak awal sudah menjalin komitmen yang mesra dengan kehidupan. Socrates, seorang filsuf Yunani, tidak berfilsafat di balik tembok-tembok dingin akademis, melainkan pergi ke pasar-pasar dan berdialektika dengan para pemuda. Socrates berhasil merubah pasar Agora di Yunani menjadi arena talk-show filsufis! Tanpa menggurui mereka panjang lebar dengan teori-teori ‘aneh’. Socrates memancing kemandirian berpikir para pemuda untuk berani mempertanyakan keyakinan yang paling tak terbantahkan dalam hidup mereka.

Berikut perbincangan Socrates dengan Meno tentang orang bijak. Dalam pandangan Meno, si bijak adalah orang yang berharta dan mampu memperoleh sesuatu yang dibutuhkan.

Socrates: Apakah kesehatan dan kekayaan termasuk apa-apa yang baik?

Meno: Saya juga menyertakan pemerolehan emas, perak dan jabatan yang terhormat dalam pemerintahan.

Socrates: Apakah Cuma itu semua hal baik yang kamu kenal?

Meno: Ya, semacam itulah.

Socrates: Apakah kamu memasukkan “adil dan jujur” pada kata “pemerolehan” atau apakah itu semua tidak berarti bagimu? Apakah kamu tetap menyebutnya bijak jika hal itu diperoleh secara tidak adil?

Meno: Tentu saja tidak!

Socrates: Jadi sepertinya, sifat-sifat adil, pengendalian diri ataupun karakter keutamaan lainnya harus disertakan dalam “pemerolehan” sesuatu itu. Bahkan, kekurangan emas dan perak, jika itu merupakan hasil dari kegagalan untuk mendapatkannnya demi menghindari perbuatan yang tidak adalah keutamaan (kebijaksanaan)?

Meno: Sepertinya demikian.

Socrates: Maka memiliki benda-benda itu tidak lebih bijak daripada tidak memilikinya?

Meno: Kesimpulan itu sepertinya tidak bisa dihindari.

Nah, dari cerita di atas, dapat kita saksikan bahwa filsafat benar-benar berfungsi dalam kehidupan. Jadi, jika filsafat telah kembali dibumikan, tentu pertanyaan seseorang tentang filsafat, seperti “Mau jadi apa dengan filsafat? Cuma sekedar pamer ilmu atau sok kritis saja?” dan lainnya, tak akan muncul kecuali dari kedunguan kuadrat! Sebab filsafat bertolak dari kehidupan, tentu ia harus searus dengan hidup. Ia dapat digunakan untuk menyoal tentang politik, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya. Bagaimana jika filsafat berfungsi tidak seideal cerita di atas? Jawabannya sederhana, apakah Anda akan berhenti kuliah, jika fakta menunjukkan bahwa para koruptor terlahir dari bangku kampus? Selesai.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (2)

Jadi, jawaban dari pertanyaan pertama (apakah filsafat memang bisa menghampiri kehidupan?) adalah “Ya, tentu saja. Kehidupan adalah rahim bagi filsafat!”

Begitu juga dengan pertanyaan kedua (apakah filsafat mampu berfungsi sebagai penghibur bagi kehidupan yang seringkali disuburkan oleh kesedihan?), “Ya, bisa.” Itulah jawabannya.

Menjadi ‘manusia’ memang tidak mudah, ini nasib yang tak dapat diingkari. Susah dan bahagia selalu menjadi hari yang diganti setiap kali oleh waktu. Persolan, kerumitan dan keberhasilan senantiasa menjadi bumbu racik yang terkadang sulit diterka tumpahannya. Namun itu bukan alasan untuk tidak memaknai hidup, atau secara sepihak mengklaim kehidupan sebagai sumber penderitaan. Filsafat mengajarkan cara memandang dunia dengan paradigmanya. Jadi, berfilsafatlah, sebab ia adalah suatu potensi besar untuk mengubah lara menjadi suka dan duka menjadi daya.

Selamat mencoba!

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah