Dinamika Relasi Orang Tua dan Anak

Keluarga merupakan unsur terpenting dalam pembentukan karakter seorang anak. Generasi milenial memiliki kecendrungan yang jelas berbeda dengan generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi dan banjirnya informasi yang tak terbendung menyebabkan generasi milenial lebih terbuka dengan berbagai macam informasi. Hal tersebut membuat mereka terkadang membandingkan model parenting orang tua mereka. Bahkan tak jarang dari mereka yang sampai tega membuat orang tua sedih dan merasa bersalah.

Padahal sejatinya, tidak ada orang tua sempurna namun hanya orang tua yang senantiasa belajar. Jika kita sebagai anak sering kali merasa ingin difahami, sudahkah kita berusaha maksimal untuk memahami keadaan mereka? Sudahkah kita mengkomunikasikan kepada mereka tentang apa yang kita dan mereka inginkan? Sudahkah kita bersyukur memiliki mereka, sebagaimana mereka mensyukuri kehadiran kita di dunia? Mari tanyakan pada diri kita sebelum kita berbicara terlalu jauh tentang hak yang harus kita dapatkan dari mereka.

Seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah namun orang tuanya lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi, dan Majusi. Begitulah yang dikatakan dalam hadis Abu Hurairah ketika Rasulullah menjelaskan bahwa iman itu fitrah. Tak cukup sampai disitu, Rasulullah pun menggunakan perumpamaan seekor kambing yang lahir dalam keadaan sehat namun justru manusialah yang membuatnya cacat. Ini menunjukkan bahwa peran sebuah lingkungan dalam hal ini keluarga amat mempengaruhi tumbuh kembang karakter dan kejiwaan seorang anak.

Syekh Ali As-Shobuni seorang ulama terkemuka asal Damaskus mengatakan dalam kitabnya Min Kunuzi Al-Sunnah bahwa sejatinya kebaikan adalah sesuatu yang mendasar bagi manusia sedangkan keburukan sesuatu yang melawan. Oleh karena itu seorang anak sejatinya memiliki jiwa kebaikan nan suci namun masyarakat yang merusaknya. Mengubah dari petunjuk ke kesesatan, dari kebahagiaan menuju kesengsaraan, dari iman menjadi kufur. Orang tua yang mengundang anak ke dunia, oleh karena itu sejatinya orang tua lah yang bertanggung jawab terhadap seluruh hal yang membentuk karakter dan kejiwaan seorang anak.

Baca Juga:  Anak (Hasil) Zina Wajib di Akui Nasab Oleh Ayah Biologisnya

Sayangnya, sering kali karena beban tanggung jawab seperti ini, orang tua lupa untuk memberikan apresiasi dan memahami kondisi. Karena sering kali orang tua hanya memberikan penjagaan bukan pendidikan. Artinya orang tua sering kali merasa cukup dalam memberikan uang saku dan segala kebutuhan yang bersifat lahiriah tanpa berusaha memenuhi kebutuhan anak yang bersifat batiniyah. Padahal, kebutuhan batiniyah tak kalah pentingnya dalam proses seorang anak menemukan jati dirinya.

Orang tua sering kali terlalu mengatur arah kehidupan anaknya, tak sedikit dari mereka yang merasa balas dendam ketika punya anak. Balas dendam bagaimana? Balas dendam ketika dulu ia tidak bisa mencapai cita citanya, ia mewariskan dan membebani cita cita kepada anaknya, padahal bisa jadi sang anak memiliki jalannya sendiri dan pastinya cita citanya pun berbeda dengan orang tuanya, terlebih zaman berubah begitu cepat, hal yang ideal bagi generasi sebelumnya menjadi biasa saja bagi generasi hari ini, dan hal yang tidak terfikirkan menjadi sesuatu yang menguntungkan menjadi sesuatu yang banyak dikejar banyak orang hari ini. Seperti menjadi Youtubers, Gamers, dan Selebgram.

Mengapresiasi anak adalah sesuatu yang tidak mudah bagi kebanyakan orang tua. Terkadang mereka bingung mengungkapkannya, terkadang mereka masih membandingkan dengan kesuksesan belajar mereka di masa lalu, terkadang mereka masih membandingkan kemampuan anaknya dengan anak saudara dan tetangganya. Namun, tidak ada salahnya bagi para orang tua untuk mencoba mengapresiasi anak anaknya dengan hal yang sederhana seperti “kamu udah ngelakuin yang terbaik, terima kasih ya”. Kata kata seperti itu akan membuat anak anak merasakan bahwa perjuangan dan usaha mereka dihargai dan dengan sendirinya mereka akan menaikkan usaha di kesempatan berikutnya.

Baca Juga:  Pengaruh Orang Tua terhadap Anaknya

Perlu difahami tulisan ini tidak ingin mengajarkan apalagi menggurui para orang tua di luar sana. Tulisan ini hanya sebagai pengamalan dari sebuah ungkapan yang berbunyi “audie et alteram partem” yang artinya manusia adalah makhluk sepadan yang pendapatnya layak didengar tanpa mengurangi otoritas atas pilihan hidup masing-masing sebagai manusia merdeka. Tulisan ini hanya sebagai refleksi bersama bahwa untuk mencapai kehidupan yang senantiasa bahagia dibutuhkan komunikasi sejujur-jujurnya dan terbuka agar kita senantiasa dapat memperbaiki apa yang sudah rusak dan menyempurnakan apa yang sudah kita anggap baik. []

Makhyatul Fikriya
Mahasiswi Ilmu Hukum UIN Bandung Sekertaris II Keluarga Duta Santri Nasional

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini