*Teruntuk yang kangen Ibu Susi*

Saat namanya muncul dalam daftar susunan Mentri Kabinet Jokowi (2014), para petinggi Partai mulai mengerutkan dahi dan media sibuk mencari jejak hidupnya. Namanya tercantum sebagai Menteri Kelautan.

Ia adalah perempuan. Para rente jabatan dari partai koalisi dan tim sukses yang kepalang percaya diri mulai menyadari kenyataan bahwa Jokowi telah menempatkan orang yang benar-benar asing bagi koalisi politik atau tradisi bagi-bagi kue jabatan yang lumrah tiap lima tahunan. Mereka terlalu lama hidup di darat dan tidak mengetahui nama-nama besar di lautan.

Benar, ia datang dari lautan. Perihnya hidup telah merasuk dalam pori-pori kulitnya, menusuk seperti luka yang dimasuki garam. Ingat, air laut itu asin. Pencarian digital dan investigasi lapangan media Nasional mulai menampakan beberapa informasi dan fakta tentangnya.

Seperti kebiasaan patriaki, wanita ini dilihat dari tubuh dan ujung kakinya, baru kemudian orang-orang ingin melihat wajahnya, kemudian apa yang ada didalam kepalanya. Darisanalah mereka memulai. Mereka membicarakan Tato yang menjalar dari tumit hingga pertengahan betisnya.

Dengan mesin kampanye politik agama, mereka yang terancam ini mulai menyerang Wanita laut ini dengan moralitas umum yang mudah diperalat: Tato sebagai cerminan kepribadian.

Tato yang dilarang agama.

Tato yang bisa menunjukan kehidupan pribadi.

Tato bisa menunjukan keretakan dan pemberontakan.

Perempuan ini adalah kepala keluarga tunggal yang pernah mengalami keretakan rumah tangga, bercerai dan memilih untuk menjadi pemimpin keluarga sendirian. Tapi, memandang seseorang tidak cukup hanya dari kaki dan tattonya.

Orang-orang dan media mulai melihat wajahnya. Masyarakat Indonesia kebanyakan tidak mengenalnya. Hanya beberapa yang masih mengingatnya. Para Korban Tsunami Aceh 2004 masih mengingat wajah Susi, sebagai pemilik Pesawat Udara yang pertama bisa sampai Aceh untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

Tentu saja: Juga para Nelayan, pedagang ikan di muara, warga Pangandaran, para pejabat Kementrian Kelautan dan para Tengkulak laut yang memberi noda hitam dalam sejarah nelayan kita. Mereka ingat betul pada perempuan ini.

Sebelum benar-benar duduk disinggasana tertinggi Kementrian Kelautan sebrang Istana Merdeka, pekerjaan kelautan telah menumpuk dibalik meja kerjanya. Menteri sebelumnya hanya numpang duduk dan cari aman, sedangkan carut-marut dunia Kelautan di biarkan morat marit.

Para pegawai Kementrian Kelautan malas sudah memasang perangkap jadwal peresmian, undangan dan potong pita yang akan membuat seorang Menteri merasa tidak akan cukup hidup sehari 24 jam. Para mafia bisnis laut dan perikanan mulai memasang jaring dan telinga diantara gerak langkah sang Gadis laut ini. Sehingga hanya tersedia dua jalan siapapun menteri Kelautan, hanya dua jalan; diam atau menerima

Orang-orang itu lupa, di laut, ombak selalu datang dan keangkuhan saja tidak akan cukup membuat seseorang bertahan di tengah badai. Pertama-tama, perubahan drastis dalam protokoler Kementrian kelautan. Ia bukan tipikal menteri yang duduk dikursi utama, atau datang ke peresmian acara Nelayan yang isinya hanyalah bos-bos besar; yang memonopoli lautan dengan rakus. Ia mendatangi semua tempat tabu yang biasanya membuat seorang Menteri menolak menerima kenyataan.

Ia datang ke tempat dimana pegawai Negeri melakukan maladministrasi dan menyelesaikan persoalan diatas kertas. Selama ini mereka hanya menari di atas kertas dan mempersilahkan mafia laut mengambil apapun bahkan hak kapal kecil yang tak seberapa.

Kita bisa memilih, untuk menyinggirkan si gadis ombak ini dan mengembalikan para komplotan laut yang rakus pada kedudukannya yang paling nyaman. Orang-orang darat yang rakus ini—paling faham cara menghancurkan mimpi kemaritiman bangsa Indonesia. Mereka lupa Negeri ini besar, justru karena berada dibawah angin.

Suatu saat, kisah gadis laut ini akan menjadi dongeng. Sebuah cerita yang akan dibisikan seorang nelayan tua pada cucunya. Bahwa pernah, laut negeri ini diurus oleh seorang gadis yang mengembalikan kejayaan manusia perahu..

Perempuan itu mengangkat impian ‘nenek moyang kita’ kepermukaan. Mendorong ikan agar sampai ke jala perahu-perahu nelayan miskin. Ia bagaikan putri duyung yang melegenda, membuat takut para bajak ikan, mengancam mereka dari ilusi kehilangan harta dunia; Meledakaan kapal rampok ikan didepan mata semua orang.

Ia menghadirkan kembali gaung laut ke daratan, seperti tsunami yang menyapu kemunafikan; sama ketika sampah terdorong ke daratan sebagai peringatan. Ia mewakili dambaan para sejarawan yang berkali-kali berkutat dalam naskah-naskah Nusantara, menyakinkan hiruk pikuk modernitas bahwa laut pernah menjadi jaya sebagai realita dan abadi sebagai legenda.

Perempuan laut itu menyediakan narasi alternatif akan kebuntuan dari dualitas pertarungan politik yang licik dan picik.

Suatu saat nanti, kita mesti bercerita, bahwa ketika negeri di bawah angin di sandra oleh dua kutub politik; ketika negeri utara dan selatan berebut surga di pulau tropis, ada saat dimana seorang perempuan mengangkat harkat negeri di bawah angin, mengancam ekspansi politik imperium dan membongkar solidaritas komplotan.

Hanya laut yang bisa membahasakan kesedihan, perih dan indahnya tantangan.

Kisah ini akan terus hidup dibawa para pelaut sebagai oleh-oleh dari negeri pulau imajinasi. Kisah ini hanya bisa bermula ketika seorang perempuan diasuh ombak dibesarkan lautan.

Gadis itu Susi Pudjiastuti. (IZ)

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Syair