Di beberapa, hitungan 40 hari oleh segelintir santri dijadikan batasan dalam beramal tertentu. Seperti berpuasa selama 40 hari, atau shalat berjamaah secara kontinu selama 40 hari. Ternyata kebiasaan tersebut memang memiliki landasan syar’i.
Sayyid Abdullah Alawi al-Haddad dalam kitab “al-Hikam” mengatakan:
العَادَةُ إِذَا رَسَخَتْ نَسَخَتْ
“Suatu kebiasaan jika sudah mengakar kuat, akan dengan mudahnya menghapus kebiasaan sebelumnya”
Ahmad Ghozali MF dalam kitab “an-Nafahāt al-Imdādiyyah” (hal. 19) menjelaskan bahwa suatu kebiasaan akan mengakar kuat bila sudah dilakukan secara rutin dan kontinu selama 40 hari. Kebiasaan tersebut akan menjadi karakter kokoh yang sulit ditinggalkan, serta akan menghapus kebiasaan lain yang dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu, seorang mukmin perlu melakukan amalan baik yang dilakukan selama 40 hari, agar menghapus kebiasaan buruk sebelumnya. Nabi SAW. bersabda:
تَمَامُ الرِّبَاطِ أَرْبَعُونَ يَوْماً، وَمَنْ رَابَطَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا لَمْ يَبِعْ وَلَمْ يَشْتَرِ وَلَمْ يَحْدُثْ حَدَثًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Kesempurnaan “ribath” (persambungan/melawan nafsu agar merubah karakter jelek menjadi karakter baik) itu selama 40 hari. Siapa yang ber-ribath selama 40 hari, tidak bertransaksi apapun dan tidak mengobrol apapun maka ia keluar dari dosanya, seperti hari ibunya melahirkannya” (HR. At-Thabrani)
Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:
مَنْ أَخْلَصَ للهَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ
“Barangsiapa mengikhlaskan dirinya selama empat puluh pagi (hari) maka dari kalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya.” (HR. Abu Nuaim)
Mengenai shalat berjamaah selama 40 hari berturut-turut, Nabi sendiri menjelaskan faedah amalan tersebut:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Siapa yang shalat berjamaah selama empat puluh hari dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram) ikhlas karena Allah, akan dicatat baginya terbebas dari dua hal, yaitu terbebas dari api neraka dan terbebas dari sifat munafik.”(HR At-Tirmidzi)
Dalam perspektif tasawwuf, Syekh Syamsuddin al-Buni menegaskan bahwa kunci rahasia ilahi dan mukasyafah tidak bisa diberikan bagi orang yang di dalam perutnya masih menyimpan makanan. Maka diperlukan mujahadah atau perjuangan melawan nafsu melalui periode 40 hari untuk membersihkan perutnya dari kotoran makanan sehingga aspek ruhaninya menjadi kuat, serta akal dan hatinya menjadi bersih. Pemilihan batas 40 hari ini semata mengikuti apa yang disyaratkan Allah kepada Nabi Musa alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-A’raf: 142:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepululh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya, yaitu empat puluh malam”
Jadi, tujuan amalan ibadah 40 hari ini semata untuk mengubah kepribadian menjadi lebih baik, sehingga sang santri memiliki kebiasaan baik yang sulit ia tinggalkan. Oleh karena itu, apabila sifat buruk santri tidak berubah sehabis bertirakat selama 40 hari, tentu yang perlu dipertanyakan adalah tujuan ia bertirakat atau kualitas amalannya selama periode tersebut. []