Dari Gus Dur Sampai Syekh Ali Jaber: Teladan Meredam Konflik

Dimana ada kumpulan manusia, hampir dipastikan disitu akan terjadi konflik juga. Karena pertentangan dan perselisihan mudah saja terjadi diantara dua manusia. Tak perlu menunggu berbeda kepentingan atau agama, bahkan dengan saudara kandung pun konflik kerap kali terjadi. Sehingga permasalahannya bukan bagaimana menghilangkan konflik, tapi bagaimana mengarahkan konflik itu ke arah kedamaian.

Mengenai penyelesaian konflik ini, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim dalam salah satu pengajiannya pernah menyampaikan, bahwa Indonesia adalah juaranya jika dibandingkan dengan negara-negara lain, di Timur Tengah, misalnya. Tentu penetapan ini bukan omong kosong belaka, namun berdasarkan fakta-fakta sejarah besar yang telah dilewati bangsa kita.

Mari kita ingat kembali. Pada masa-masa kemerdekaan, bagaimana KH Wahid Hasyim mengelola konflik yang terjadi saat itu. Yakni mengenai hubungan Indonesia dengan agama Islam. Saat rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Gus Wahid mengusulkan dua poin krusial. Pertama, presiden harus orang Indonesia yang beragama Islam. Kedua, agama negara adalah agama Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain.

Mulanya usulan itu diterima. Namun, setelah ada keberatan dari golongan tertentu, Hatta melobi tokoh-tokoh muslim. Sehingga dihapuslah dua poin yang diperjuangkan Gus Wahid tadi. Dan Gus Wahid pun berkompromi dengan apa yang disepakati. Menariknya, Gus Wahid sebenarnya tidak hadir dalam lobi itu. Prof. Yudian Wahyudi, dalam buku biografi Wahid Hasyim serial Tempo, menafsirkan jika ketidakhadiran Gus Wahid itu demi terhindarnya konflik dan perselisihan panjang.

Kemudian beranjak ke sekitar tahun 2001, ketika Gus Dur dilengserkan. Saat itu, kita tahu, Gus Dur dilengserkan secara politis dan dengan cara inkonstitusional. Mengetahui hal ini, banyak pendukung Gus Dur yang tidak terima. Sampai terbentuklah apa yang disebut Pasukan Berani Mati (PBM) di berbagai tempat. Mereka berlatih berhari-hari, baik latihan fisik maupun batin. Laporan Kompas, 300.000 pasukan siap mengepung Jakarta untuk membela Gus Dur; siap memasang badan bahkan nyawa.

Baca Juga:  Konflik Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream dalam Masyarakat Majemuk di Indonesia

Namun Gus Dur justru mencegah para pendukungnya untuk datang ke Jakarta. Gus Dur tahu gelombang massa ini jika dibiarkan akan terjadi kekacauan di negara ini, bahkan bisa saja pertumpahan darah. Para pendukung pun manut pada Gus Dur. Meski akhirnya beberapa pendukung Gus Dur ada yang sampai di Jakarta untuk memberikan dukungan moral, tetapi tidak sampai terjadi kekacauan. Itulah karena Gus Dur paham, seperti kata Virdika Rizky, penulis buku menjerat Gus Dur, yang lebih tinggi dari politik adalah kemanusiaan.

Kemudian baru saja belakangan ini, kita kembali disuguhkan bagaimana tokoh Indonesia mengelola konflik dengan baik. Adalah Syekh Ali Jaber, ulama pendakwah yang baru saja wafat pada Rabu, 14 Januari 2021 lalu dalam umur 44 tahun.

Seperti yang kita tahu, pada 13 September 2020 lalu, Syekh Ali ditusuk saat menyampaikan tausiah di Masjid Falahuddin, Bandar Lampung. Tentu penusukan ini membuat geram dan mengundang kemarahan masyarakat muslim Indonesia. Apalagi Syekh Ali adalah pendakwah yang digemari masyarakat dari berbagai kalangan. Maka tepat setelah penikaman itu juga, pelaku yang berinisial AA dihajar oleh jamaah, sebelum diminta berhenti oleh Syekh Ali.

Ya, Anda tidak salah baca, Syekh Ali sendiri yang meminta jamaah menahan diri tidak menyerang balik pelaku. Subhanallah. Kemudian saat sidang pertama pada 26 November lalu, pelaku baru meminta maaf. Dan sudah jelas, bahkan sejak hari pertama peristiwa penikaman, Syekh Ali telah memaafkannya.

Perjuangan Syekh Ali dalam meredam konflik tidak berhenti sampai di situ. Sehari setelah penikaman, Syekh Ali datang ke markas Deddy Corbuzier untuk melakukan siniar (podcast). Menurut Deddy dalam salah satu videonya, misi Syekh Ali saat itu adalah untuk menenangkan rakyat Indonesia supaya tidak terjadi kerusuhan dengan alasan membela beliau. Syekh Ali ingin memviralkan bahwa beliau tidak apa-apa. Itulah inti siniar antara 3 orang, bersama Gus Miftah, selama 1 jam itu.

Baca Juga:  Kepada Para Pembencinya, Gus Dur Bilang "Gitu Saja Kok Repot!"

Kita tahu, konten siniar milik Deddy merupakan salah satu yang paling populer di Indonesia. Sampai sekarang jumlah pelanggannya (subscriber) mencapai 13 juta. Sehingga masuk akal jika peredaman konflik oleh Syekh Ali dapat disebarkan secara cepat.

Itulah teladan-teladan dari tokoh-tokoh Indonesia dalam meredam konflik. Tentu masih banyak contoh lain dari tokoh Indonesia. Tapi kiranya itu sudah cukup dijadikan contoh bagi generasi kemudian. Dengan wafatnya para panutan kita itu bukan berarti negara kita akan sepi dari konflik. Tapi paling tidak, kita harus bersyukur, mereka telah memberikan pelajaran yang amat berharga dalam menyelesaikan konflik. [hw]

Ahmad Zamzama N
Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama