Opini

Dakwah Islam di Madura: Dinamika Sejarah dan Peran Para Ulama

Agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat memiliki peran yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari baik dari segi kebiasaan atau tradisi maupun dari segi paten nenek moyang. Di antara banyak negara di dunia, Indonesia masuk dalam salah satu negara dengan populasi pemeluk agama Islam terbanyak dibandingkan dengan Arab, sebagai negara pertama kali menyebarkan Islam.

Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M. Pendapat lain menyatakan bahwa pada abad 13 M, Islam sudah masuk ke Indonesia. Kedua pendapat ini dapat dikompromikan bahwa Islam mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 M, dan mengalami perkembangan luas sekitar abad ke-13 M.

Dari sekian banyak nya pulau di Indonesia terdapat salah satu pulau yang disebut sebagai Pulau Garam, sebutan untuk pulau Madura yang kaya akan penghasil garam di Indonesia. Terletak tepat di sebelah timur Pulau Jawa. Sebuah wilayah yang dikenal kental akan adat istiadat, tradisi dan budaya nya. Masuk nya Islam ke tanah madura bukan hanya mengubah dalam aspek keagamaan saja, tetapi juga dalam aspek adat istiadat, tradisi dan budaya nya.

Madura identik dengan Islam. Penyebaran Islam di pulau garam ini bisa dikatakan sukses, sehingga sulit menemukan penduduk asli Madura yang belum beragama Islam. Padahal sebelum Islam datang, Madura dalam kurun waktu yang lama berada di bawah kekuasaan tiga kerajaan besar Jawa beragama Hindu, mulai dari Kerajaan Kediri (1050-1222), Singosari (1222-1292), hingga Majapahit (1294-1527). Namun, setelah Islam datang, para penganut Hindu sudah tidak ditemukan di pulau garam ini. Yang tersisa hanyalah tempat-tempat pemujaan yang sudah tak terawat.

Islam masuk pertama kali ke pulau Madura melalui kontak perdagangan antar pulau, khususnya wilayah pesisir pantai Madura bagian timur. Sebagai pulau penghasil garam dan hasil laut, Madura menjadi salah satu tujuan para pedagang dari seberang, termasuk para pedagang muslim (seperti dari Gujarat, Malaka, dan Sumatera). Dengan kontak hubungan dagang tersebut, penduduk sekitar pantai Madura mulai berkenalan dengan Ajaran Agama Islam

Baca Juga:  Konflik Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream dalam Masyarakat Majemuk di Indonesia

Menurut Rifa’i sebagaimana dikutip Subaharianto, Agama Islam masuk ke madura pada abad ke 15 M, seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Penyebar agama Islam pertama adalah pedagang Islam dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatera (Palembang). Masuknya islam ke madura dibawa oleh para pedagang dari asia Tenggara. Saat itu, banyak pedagang Islam asal Gujarat yang singgah di Pelabuhan Pantai Kalianget, Sumenep, Madura.

Pada tahap awal penetrasi Islam, penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Akan tetapi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Islam mulai menyebar memasuki wilayah pesisir lainnya dan juga pedesaan. Pada fase ini, pedagang dan ulama yang sekaligus Walisongo dengan murid-murid mereka berperan penting dalam penyebaran tersebut.

Akselerasi penyebaran Islam di tanah Madura mulai terlihat setelah walisongo mengambil peran dalam penyebaran islam di Jawa. Walisongo, yang dikenal sebagai penyebar Islam di Pulau Jawa, mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (w.1417), Sunan Ampel (w.1481), Sunan Giri (w.1506), Sunan Kalijaga (w.1513), Sunan Drajat (w.1522), Sunan Bonang (w.1525), Sunan Kudus (w.1550), Sunan Muria (w. 1551), dan Sunan Gunung Jati (w.1568).

Disebutkan bahwa Sunan Ampel membagi tugas dalam menyebarkan Islam di wilayah-wilayah Pulau Jawa. Sedangkan di tanah Madura, Sunan Giri mengutus dua santrinya yang ke turunan Arab, bernama Sayyid Yusuf al-Anggawi untuk Madura bagian timur (Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya) dan Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi untuk Madura bagian barat (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan) (sjamsudduha, 2004).

Dalam penyebaran Islam, Raden Muhammad Ainul Yaqin atau dikenal dengan Sunan Giri memiliki peran yang sangat penting. Beliau menyebarkan Islam di tanah madura dengan berbagai metode. Pertama, beliau membangun pesantren yang Bernama “giri kedaton” Pesantren ini berdiri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Gresik, Jawa Timur. Pesantren Giri Gajah atau Giri Kedaton berkembang pesat dengan banyaknya santri yang berdatangan dari berbagai daerah, termasuk Madura. Banyak dari Masyarakat madura yang menuntut ilmu di pesantren itu, sehingga Sunan Giri mudah dalam menyebarkan ajaran Islam.

Baca Juga:  Seandainya Nabi Bersikap Keras, Tentu Mereka akan Menjauh

Kedua, Sunan Giri menggunakan seni sastra dan kaligrafi Arab sebagai bagian dari dakwahnya. Salah satu bentuk dakwah yang berkembang adalah shalawatan (pujian terhadap Nabi Muhammad Saw) yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Madura. Selain itu, Sunan Giri juga mempopulerkan dakwah melalui kisah-kisah para nabi dan para wali, yang disampaikan dalam bentuk cerita rakyat atau legenda yang mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Madura.

Ketiga, Sunan Giri juga memanfaatkan perayaan-perayaan keagamaan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Di Madura, perayaan-perayaan seperti Maulid Nabi Muhammad Saw dan Idul Fitri menjadi kesempatan untuk mengingatkan masyarakat tentang ajaran Islam. Melalui acara-acara ini, Sunan Giri dan para pengikutnya mengajarkan nilai-nilai Islam dengan cara yang menyenangkan dan meriah, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengikuti ajaran Islam.

Keberhasilan Walisongo dalam mengembangkan agama Islam di Madura tidak lepas dari strategi dakwah yang diterapkan, yaitu cara-cara arif dan bijaksana (bi al-hik mah), nasihat-nasihat yang baik (mau’idlah hasanah), teladan yang baik (uswah hasanah), dialog yang baik (almujādalah bi al-latī hiya ahsan), serta bersidat akomodatif terhadap budaya lokal yang ada.

Selain Walisongo, ulama tasawuf bernama Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan juga mempunyai kiprah besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Madura. Beliau membumikan Islam dengan dua pendekatan, yakni melalui jalan tasawuf yang berlandasakn pada Al-Quran As-Sunnah dan melalui jalan fiqih sufistik yang mengintegrasikan antara fiqih dan tarekat. Hal ini membuktikan bahwa beliau membumikan Islam dengan cara berfikir Islam Moderat (tengah-tengah).

Peran Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan utamanya di kawasan pesantren memang sangat masyhur dan tidak diragukan lagi hingga saat ini. Beberapa peninggalan dan warisan-warisan monumental yang ditorehkan oleh Syaikhona Muhammad Kholil bagi Indonesia ini  khususnya  di dunia pesantren tidak akan pupus ditelan masa, karena  Syaikhona Muhammad Kholil merupakan ulama asal Madura yang menjadi panutan, maha guru dan menjadi generasi lahirnya kader-kader ulama Indonesia terbaik yang kemudian kader-kader itu menjadi pimpinan-pimpinan pondok pesantren se- Indonesia.

Baca Juga:  Neoplatonisme, Proclos dan Mistisisme Islam (1)

Husein Basyaiban, seorang pemuda keturunan arab yang kini tinggal dan menyebarkan Islam di Madura. Dakwah nya yang cukup menarik pun kekinian mampu mengajak masyarakat Madura dan sekitarnya lebih mengenal dalam tentang Islam. Juga Lora Ismail Kholili, seorang selebgram penceramah muda kondang asal kota bangkalan, yang menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah nya di media sosial. Dari banyak nya para ulama dan kyai yang menyebarkan ajaran Islam di Madura, membuktikan bahwa perkembangan Islam di Pulau Garam tersebut masih terjaga dan berdampak bagi masyarakat sekitar.

Islam, kini menjadi agama dominan di Madura, tetapi Islam tidak menghilangkan kelestarian tradisi dan adat istiadat yang ada di wilayahnya. Justru, Islam di Madura cenderung beradaptasi dengan budaya lokal, menciptakan sebuah bentuk sinkretisme yang harmonis antara ajaran agama Islam dan adat istiadat setempat. Begitu juga Amaliah Keagamaan seperti, slametan, haul dan tahlil juga masih sangat kental. Acara keagamaan ini tidak hanya menjadi bagian dari ibadah tetapi juga sebagai sarana solidaritas sosial.

Dengan begitu Islamisasi di Madura tidak menghilangkan tradisi dan adat istiadat, melainkan mengubah atau memberi makna baru pada tradisi tersebut agar selaras dengan ajaran Islam. Hal Ini menunjukkan bagaimana Islam dapat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan budaya lokal tanpa mengorbankan esensi tauhid.

Fatwa Am 'Azza Kusuma Dewi
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini