Bolehkah Menafkahi Keluarga dengan Hasil Korupsi?

Istilah korupsi sudah menjadi hal yang tidak asing lagi di pendengaran seluruh masyarakat dunia, sebab ia merupakan salah satu penyebab utama ketidakstabilan politik di berbagai negara. Perilaku korupsi tidak hanya berpengaruh terhadap ketidakstabilan dalam masalah politik saja, namun juga berakibat terhadap ketidakstabilan dalam masalah perekonomian.

Di Indonesia sendiri setiap tahunnya jumlah kasus korupsi terus mengalami perkembangan. ICW (Indonesia Corruption Watch)  mencatat 169 kasus korupsi sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2020. Menurut Wana Alamsyah, peneliti ICW, rata-rata terdapat 28 kasus per bulan dengan rata-rata tersangka yang ditetapkan ada 60 tersangka.

Gejolak kasus korupsi menjadi bahan perbincangan dari setiap kalangan kalangan, baik dari mahasiswa, pegawai negeri, menteri, tokoh, bahkan masyarakat umum lainnya. Hal ini juga menjadi bahan perbincangan antara Najwa Shihab, seorang pembawa acara atau presenter dengan sang ayah, Quraish Shihab, seorang mufassir terkenal di Indonesia. Percakapan keduanya terkait dengan pertanyaan mengenai hukum koruptor yang menafkahi istri dan anak-anaknya jika dilihat dari kaca mata hukum Islam.

Beliau menjelaskan bahwa semua harta benda yang didapat dengan cara yang tidak benar akan berdampak buruk terhadap karakter seseorang. Artinya jika harta tersebut diperoleh dengan cara yang benar, maka orang yang menggunakan harta tersebut akan berperilaku baik atau memliki karakter yang baik pula.  Begitu pun sebaliknya jika harta tersebut diperoleh dengan carta yang tidak benar, maka akan berdampak buruk pula bagi penggunanya.

Nabi bersabda dalam sebuah hadits yaitu:

 كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلىَ بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih berhak baginya”. (HR. Thabrani).

Dari penggalan hadits tersebut sangat jelas untuk dimengerti bahwa hukum menafkahi keluarga dari hasil yang tidak benar adalah haram. Begitupun dengan seorang koruptor yang mendapatkan banyak harta dengan cara yang tidak benar. Dalam percakapan tersebut Najwa Shihab menyebut korupsi dengan istilah pencuri uang rakyat, karena ia mengambil uang atau harta yang bukan haknya. Jadi jelas bahwa hukum menafkahi keluarga dari hasil korpsi adalah berdosa.

Baca Juga:  Jihad Santri Melawan Korupsi

Namun perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara seorang pencuri dan yang mencuri. Menurut Quraish Shihab, “pencuri” adalah orang yang sudah berulang kali melakukan pencurian. Sedangkan “yang mencuri” adalah orang yang mengambil bukan haknya untuk pertama kalinya (sekali), maka dari itu kata beliau seorang koruptor yang sudah tertangkap berarti ia seorang pencuri, karena tidak hanya sekali melakukan pencurian.

Lantas dari percakapan tersebut munculah pertanyaan kembali yaitu bagaimana hukumnya jika sang istri atau anaknya tidak mengetahui bahwa apa yang ia makan dan pakai merupakan hasil korupsi? Jawabannya adalah tidak apa-apa, karena Tuhan tidak membebankan seseorang dengan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi bagi istri atau anak yang menyadari bahwa harta yang diberikan oleh suami atau ayahnya melebihi dari kebiasaan atau gaji yang sepantasnya didapat, maka mereka harus menanyakan kepadanya.

Namun, jika sang istri sudah mengetahui hal tersebut, maka hendaklah baginya untuk menasehati sang suami agar tidak mengulanginya kembali, serta harta yang diperoleh berasal dari cara yang baik.

Jadi, perlu kita ingat kembali dan menanamkan keyakinan bahwa sesuatu apapun yang diawali dengan cara yang tidak benar, maka akan berakibat buruk. Artinya sesuatu yang berawal dari keburukan akan berujung keburukan pula. Dalam sebuah hadits tertulis bahwa;

إِنَّ اللّهَ  كَتَبَ  اللهَ الإِحْسَانَ عَلَ كُلِّ شَيْءٍ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.

Wallahu a’lam. []

Fitriyah Yazid
Santriwati Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee II Guluk-Guluk Sumenep

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini