Berkenalan dengan Tafsir Jalalain, Kitab Populer di Pesantren

Bagi kalangan santri, tentu nama kitab ini tidak asing di telinga mereka; Tafsir Jalalain. Hampir setiap pesantren, salaf khususnya, pengajian Tafsir Jalalain selalu menjadi pilihan dalam kurikulum pembelajaran bidang tafsir al-qur’an.

Tafsir Jalalain dikarang oleh duet guru-murid sekaligus dua orang ulama dan cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-15 di Kairo, Mesir. Meski dikarang oleh orang berbeda dengan masa yang juga berbeda, namun tidak banyak perbedaan dalam penyajiannya, baik dari segi kualitas ataupun kebahasaan.

Adalah Imam Jalaluddin Al-Mahalli (Al-Imam Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Syihabuddin Ahmad bin Kamaluddin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-`Abbasi Al-Anshari Al-Mahalli Al-Qahiri Asy-Syafi`i), 1389 M (791 H) – 1459 M (864 H) sebagai pengarang pertama. Beliau menafsirkan Surat Al-Kahfi hingga An-Nas (setengah akhir juz 15 – juz 30) ditambah surat Al-Fatihah. Namun belum sempat mengkhatamkan karangannya, maut telah menjemputnya lebih dahulu.

Kemudian karangan tersebut diteruskan oleh muridnya; Imam Jalaluddin As-Syuyuthi (Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin Al-Misri As-Suyuthi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari), 1445 M (849 H) – 1505 M (911 H). Beliau melengkapi surat yang belum ditafsirkan oleh gurunya; Surat Al-Baqarah – Al-Isra’ (juz 1 – setengah awal juz 15). Mulai menulis pada awal Bulan Ramadan, dan rampung pada tanggal 10 Syawal 870  H.

Kedua tokoh ini memiliki gelar yang sama, yaitu ‘Jalaluddin’, sebuah gelar yang tentu memiliki makna dan alasan dibaliknya. Menurut Syeikh Ahmad bin Ash-Shawi, julukan ‘Jalaluddin’ bermakna sosok yang diagungkan dalam bidang ilmu agama dan gelar ini hanya diberikan kepada seseorang yang diagungkan sebab kontribusinya yang besar dalam karya-karyanya di bidang ilmu agama. Oleh sebab itulah, karya tafsir ini disebut denganTafsir Jalalain yang bermakna tafsir dua orang yang bergelar Al-Jalal.

Tafsir Jalalain dalam pengelompokan sesuai sumbernya, termasuk dalam tafsir bil ra’yi. Yaitu penafsiran al-Qur’an yang menggunakan kemampuan ijtihad seorang mufasir untuk menerangkan maksud suatu ayat dan mengembangankannya. Dalam pembahasan ini, mufasir yang dimaksud adalah Imam Al-Mahalli dan Imam As-Syuyuthi. Adapun pengelompokan sumber lainnya selain bil ra’yi adalah bil matsur(tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih; al-Qur’an, sunah, perkataan sahabat, dan Tabi’in).

Baca Juga:  Dinamika Sejarah "Pesantren" Mahasiswa (1)

Sementara pengelompokan sesuai metodologinya, Tafsir Jalalain termasuk dalam tafsir tahlili. Yaitu metode penafsiran al-Qur’an yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan menyesuaikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana wajarnya. Tafsir tahlili juga  menjelaskan kosakata atau lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju, dan kandungan ayat; unsur-unsur i’jaz (ilmu al-qur’an yang membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan al-qur’an, hingga dapat mengalahkan ahli-ahli bahasa Arab dan ahli-ahli sastra lainnya), balagah, keindahan susunan kalimat, dan menjelaskan apa yang dapat diambil dari suatu ayat; hukum fikih, dalil syariat, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya. Adapun pengelompokan metodologi selain tahlili adalah maudhu’i (upaya menafsirkan al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (tema) serta mengarah pada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya).

Dari segi kualitas materi, tafsir ini tidak begitu menukik, uraiannya sangat sederhana, tidak menonjolkan kecenderungan berpikir, bahkan nyaris seperti kamus gharib (bahasa abnormal) al-Qur’an. Memang ada uraian qiraat (bacaan), sabab an-nuzul (sebab turunnya ayat), i’rab (aspek tata bahasa Arab yang mengatur perubahan bunyi kata (biasanya bunyi vokal terakhir), akibat perubahan kasus atau fungsi kata tersebut dalam kalimat, nasikh-mansukh (dapat didefinisikan sebagai penghapusan, penyalinan, mengganti, transkripsi; lihat Kitab At-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an karangan Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, lahir 1930-sekarang), tapi semua itu dijabarkan dengan redaksi yang mudah dan ringkas.

Dari segi bahasa, tafsir ini terasa sederhana dan lumayan gampang untuk dicerna. Hanya saja tetap memerlukan penopang keilmuan keagamaan yang mumpuni. Sementara dari segi kuantitas, tafsir ini tidak terlalu tebal sehingga bisa dikhatamkan  dalam waktu yang relatif singkat. Yakni terdiri dari 2 juz yang masing-masing juz dikarang oleh orang berbeda. Menurut Dr. Kh. Ahsin Sakho Muhammad, salah satu ahli tafsir juga pakar ilmu qiraat dari Cirebon, Jawa Barat dalam bukunya Membumikan Ulumul Quran (2019), berpendapat bahwa Tafsir Jalalain adalah tafsir tahlili paling sederhana. Bahkan menurut Syekh Musthafa bin Abdillah Al-Qusthunthani, dalam Kitab Kasyf Adz-Dzunun, meriwayatkan bahwa ada sebagian ulama Yaman mengatakan, huruf al-Qur’an dengan tafsirannya di Tafsir Jalalain sampai surat Al-Muzzammil memiliki jumlah yang sama. Baru pada surat Al-Muddatsir dan seterusnya tafsir ini melebihi huruf al-Qur’annya.

Baca Juga:  Nderek Kiai Sampai Mati

Seorang pemikir muslim dari Mesir dan salah satu penggagas gerakan modernisasi Islam, Muhammad Abduh (1849-1905) sering merujuk tafsir ini sebelum memberikan kuliah tafsir di Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir. Perhatian paripurna atas Tafsir Jalalain ditunjukkan dengan adanya pemberi hasyiyah (komentar) terhadap tafsir ini, seperti HasyiyahAsh-Shawi (4 jilid) karangan Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shawi Al-Maliki(wafat 1214 H) dan Al-Futuhat Al-Ilahiyyah (8 jilid) karangan Imam Sulaiman bin Umar Al-‘Ajiliy Asy-Syafi’i (wafat 1604 H), biasa juga disebut Hasyiyah Al-Jamal.

Di Indonesia, Tafsir Jalalain ini biasa dicetak menjadi satu kitab (menggabungkan juz satu dan dua dalam satu kitab. Ditemukan juga dicetakan lokal, dalam sebuah Kitab Tafsir Jalalain disertakan empat kitab pelengkap lain; Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul  karangan Imam Asy-Syuyuthi, Ma’rifat An-Nasikh wa Al-Mansukh karangan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Hazm, Alfiyyah Al-Iraqi karangan Imam Abu Zar’ah Al-Iraqi yang menjelaskan tafsir kata-kata langka dalam al-Qur’an, dan Ma Warada fi Al-Qur’an Al-Karim min Lughat Al-Qaba’il karangan Imam Abu Qasim bin Salam.

Tafsir ini tidak mengedepankan persoalan-persoalan kekinian, entah terkait fikih, sosial,  dan ilmu sains dan teknologi. Sebaliknya, tafsir ini masih sebatas refleksi pengarangnya sehubungan dengan permasalahan di era klasik. Seperti banyaknya ayat yang dinasakh dengan ayat qital (ayat tentang berperang) yang dewasa ini tidak lagi relevan, tidak lagi bisa diamalkan. Padahal penafsiran setiap ayat seharusnya bisa dioptimalkan pengamalannya dengan berbagai situasi dan kondisinya sesuai dengan zaman yang dihadapi. Dengan kata lain, Tafsir Jalalain ini merupakan cerminan masyarakat masa itu. Alasan inilah yang menyebabkan Tafsir Jalalain kurang bisa ‘merangkul’ masyarakat kontemporer.

Akan tetapi, bagaimana pun juga Tafsir Jalalain tetap menjadi sajian primadona di dunia pesantren. Alasan pertama adalah pengkajian kitab kuning menunjukkan adanya tradisi kesinambungan sanad yang selama ini masih dianggap sebagai tradisi yang luhur dan layak untuk dipertahankan. Kedua, di samping nilai ilmiah, nilai ketakwaan, dan keutamaan atau kemuliaan penulis, kitab- kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning selalu menjadi acuan di dunia pesantren. Di sini, unsur keberkahan menjadi alasan kunci yang tidak bisa dinafikan.

Baca Juga:  Alfiyah, Pesantren dan Kiai Kholil

Umumnya, pengajaran kitab-kitab kuning di pesantren, termasuk Tafsir Jalalain dilakukan dengan metode bandongan. Istilah tersebut bermakna, ada satu orang (biasanya seorang Kiai, Gus, atau orang dengan ahli keilmuan agama lainnya) yang akan membacakan ayat serta tafsirannya, menjelaskan maksud dari ayat tersebut, dan memberikan penjelasan tambahan lainnya. Sementara para santri mendengarkan sekaligus menulis makna dari ayat sekaligus tafsir yang dibaca oleh kiainya. Adapun model tulisan mereka adalah tulisan pegon atau tulisan Arab gundul(menggunakan bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab tanpa harakat).

Bebarapa pesantren mengkhatamkan kitab ini dalam satu periode, misalnya selama Bulan Ramadan atau ketika terdapat suatu peringatan tertentu. Mereka akan berganti kitab lain jika pengajian kitab tersebut sudah dikhatamkan. Sedangkan pesantren lainnya menjadikan kitab ini sebagai kajian tanpa periode. Mereka memiliki jadwal harian ataupun mingguan untuk mengkaji kitab ini. Jika telah khatam, mereka akan mengulangi kajian tafsir ini, begitu seterusnya. Tanpa henti. Maka tidak jarang juga seorang Gus (sebutan di pesantren untuk putra kyai) akan melanjutkan pengajian Tafsir Jalalain ayahnya atau mengulangi dari awal jika telah tamat. Semata-mata agar dapat menjaga tradisi dan demi merengkuh keberkahan al-Qur’an. [HW]

Muhammad Zulfan Masandi
Siswa MAN 4 PK Jombang, Santri Asrama Hasbullah Sa'id PP. Mambaul Ma'arif Denanyar, dan Pergiat di Komunitas Pena PeKa Denanyar.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] referensi atau bacaan wajib di Pesantren Al-Urwatul al-Wutsqa sendiri, justru yang digunakan adalah tafsir al-Jalalain, penelusuran ini sesuai dengan informasi yang didapatkan penulis dari alumni pesantren Al-Urwatul […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini