Menurut Musthafa Azami, ada 100 rawi kitab Muwaththa’ Imam Malik bin Anas. Kitab Muwaththa’ merupakan kitab hadis dan fikih sekaligus, yang menjadi rujukan utama ulama mazhab Maliki. Dari seratus rawi tersebut, yang paling populer di dunia Masyriq (Timur Islam) dan Maghrib (Barat Islam) adalah Yahya bin Yahya al-Laitsi.Al-Laitsi berasal dari suku Barbar Mashmudah Tangier. Ia termasuk salah satu kelompok al-rahilin min Al-Andalus (pendatang dari al-Andalus) yang belajar langsung kepada Imam Malik. Al-Laitsi wafat pada tahun 234 H.
Menurut al-Maqqari dalam kitabnya, Nafh al-Thib min Ghushn al-Andalus al-Rathib, makam al-Laitsi berada di Córdoba. Ketika hujan tidak kunjung turun dan kekeringan meluas di mana-mana, maka masyarakat datang ke makam tersebut untuk salat istisqa’ (meminta hujan). Tradisi di Córdoba tersebut jelas menyerupai tradisi ngalap berkah ke makam para ulama dan wali.
Tujuannya untuk tawassul, napak tilas, “menghidupkan” yang punya makam, kirim doa dan amal shalih lainnya. Sayangnya, makam para ulama dan penguasa di Córdoba khususnya, dan di Al-Andalus pada umumnya, sudah rata dengan tanah. Tidak ada sisa makam yang bisa diziarahi atau di-alap berkah-nya. Termasuk makam Imam Ibn Hazm di Huelva (Walbah), sebelah barat Córdoba, yang diperkirakan ada di bawah suatu bangunan hotel di sana.
Belajar dan Ngalap Berkah di Córdoba
Al-Laitsi pada awalnya adalah murid dari Ziyad bin ‘Abd al-Rahman Syabthun. Ia kemudian berkhidmah dan ngalap berkah pada Ziyad. Setelah sekian lama, al-Laitsi mempunyai ilmu yang cukup dan sudah bisa berijtihad sendiri. Ia kemudian dinasehati Ziyad bahwa para ulama di Córdoba sudah banyak yang wafat. Oleh karena itu, al-Laitsi sudah tidak bisa belajar lagi pada mereka dan harus belajar ke daerah yang lain.
Menurut al-Qadli ‘Iyadl dalam Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Ziyad memberikan uang saku pada al-Laitsi untuk pergi haji dan belajar di sana. Tentunya untuk pergi dari Al-Andalus ke Makkah yang jaraknya lebih dari 6.600 km bukanlah hal yang mudah. Namun dengan tekad dan niat yang ikhlas dan bulat, ratusan ulama Al-Andalus dapat melakukannya. Menurut Prosopografía de ulemas de al-Andalus (PUA), ada 919 ulama Al-Andalus yang melakukan riḥlah (perjalanan) ke Makkah dan 77 ulama yang ke Madinah dari tahun 138 H – 897 H.
Majelis Imam Malik dan Gajah
Sesampainya di Madinah, al-Laitsi kemudian berguru pada Imam Malik. Pada suatu ketika, ada seekor gajah yang lewat majlis Imam Malik. Seketika itu, semua murid Imam Malik berhamburan keluar untuk melihat hewan yang unik dan istimewa tersebut. Pasalnya, di daerah gurun pasir, hewan yang dapat hidup biasanya adalah kadal gurun, onta, rusa dan lainnya yang tidak butuh banyak tanaman hijau seperti gajah.
Di kelas tersebut, hanya Al-Laitsi yang masih bertahan di kelas. Imam Malik pun keheranan dan bertanya kenapa ia tidak ikut teman-temannya melihat gajah tersebut. Al-Laitsi menjawab bahwa tujuan satu-satunya ia datang jauh-jauh dari Al-Andalus adalah untuk melihat Imam Malik, belajar ilmu dan ngalap berkah. Bukan untuk melihat gajah yang tidak punya ilmu apalagi memberikan keberkahan. Imam Malik pun terkejut dan mendoakan agar menjadi ‘aqil Al-Andalus (orang yang cerdas dan bijaksana dari Al-Andalus).
Sebenarnya al-Laitsi belajar hanya dalam waktu yang singkat kepada Imam Malik. Ia datang di Madinah pada 197 H, tahun di mana Imam Malik wafat. Namun dengan doa tersebut, Al-Laitsi menjadi fakih dan ulama terkemuka di Al-Andalus. Bahkan menjadi rawi utama (rawiyah) Muwaththa’ Malik di seluruh dunia. Ia juga yang menyebarkan mazhab Maliki di Al-Andalus dan mempunyai murid yang tidak terhitung jumlahnya di sana. [HW]