Ada rentetan tanya yang melekat dalam diri penulis, hingga akhirnya tergerak untuk mencoba menganalisis dan mencari tau hakikat sebenarnya. Apakah agama mengajarkan pada doktrin saling menyalahkan dan menstampel sesat orang lain? Bukankah Islam sendiri membawa misi rohmatan lil ‘alamin? Lantas mengapa masih banyak orang yang beragama (Islam) namun perilakunya tidak mencerminkan wajah ke Islaman yang kaya akan nilai humanis dan kasih sayang? Adakah yang keliru dari ajaran Islam? Ataukah cara memaknai beragama yang keliru? Serta Bagaimana beragama yang rileks sejatinya? Cukup membuat kita untuk berpikir lebih dalam mengenai memahami agama (Islam) secara komprehensif dengan landasan ilmu pengetahuan bukan atas dasar ego dan pendapat tanpa makna.

Untuk menjawab pusparagam pertanyaan di atas, tentunya pastikan diri anda dalam kondisi senyaman mungkin, serileks mungkin sambil ditemani secangkir kopi hangat plus sebungkus rokok yang menjadikan pikiran terasa fresh dan plong. Namun ingat, kalau tidak suka kopi dan rokok jangan dipaksakan. Cukup teh hangat dan cemilan ringan menemani anda.

Secara garis besar, konsep agama mengajarkan pada nilai – nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Tak ada rumus kekerasan dalam beragama, terlebih dalam agama Islam yang menjunjung tinggi akan toleransi antar umat beragama dan internal Islam sendiri. Jadi, Islam sebagai agama yang diturunkan Allah SWT melalui rosul terkasihNYa Nabi Muhammad SAW membawa misi rohmah (kasih sayang) bagi seluruh alam bukan hanya teruntuk orang Islam saja. Universal rohmah tersebut adalah dalalah bahwa Allah SWT merupakan Dzat yang memiliki sifat Rohman & Rohim.

Dalam literatur Islam, term “Ar- Rohman” memiliki cakupan lebih luas bila dibandingkan dengan “Ar- Rohim”. Kata “Ar- Rohman” memiliki makna kasih sayang yang berlaku bagi semua hamba Allah, baik yang beriman maupun tidak beriman selama hidup di alam semesta. Sedangkan “Ar- Rohim” lebih spesifik bermakna kasih sayang yang mengacu orang-orang beriman di akhirat kelak. Dapat dipahami bahwasanya Tuhan kita, Allah SWT adalah Dzat yang begitu baiknya pada hambaNya. Orang-orang yang tidak mempercayai adanya Allah –pun , tetap mendapatkan limpahan kasih sayang-NYa. Maka jangan heran apabila orang-orang non Islam tetap diberikan nikmat di dunia ini, baik kekayaan, kemewahan, jabatan, dan keserbacukupan lainnya.

Berbicara mengenai problematika dewasa kini perihal agama yang begitu memalukan dan memilukan. Orang berbuat kekerasan atas nama agama, orang melakukan diskriminasi kepada minoritas berasumsi ini bentuk amar ma’ruf nahi munkar, orang dengan mudahnya menyatakan kafir, sesat, bid’ah, masuk neraka atas nama agama. Kalau anda melihat fenomena yang terjadi di era medsos ini, dimana pemahaman agama yang dangkal dan semangat membela agama dengan tanpa dasar ilmu ilmu yang benar. Solah -olah mengaku membela agama Allah, namun pada kenyataannya adanya muatan kepentingan tertentu semata. Ajaran agama memang memerintahkan “Amar Ma’ruf & Nahi Munkar”, tapi harus sesuai aturan yang baik dan benar, menggunakan kacamata humanis bukan dengan aksi kekerasan dan diskriminasi pada minoritas. Inilah menunjukan bahwa minimnya pemahaman agama, dangkalnya pola pikir dan pola sikap yang terbentuk  dan bisa jadi tidak adanya sanad keilmuan yang jelas darimana sumber ilmu itu diambil. Sehingga banyak oknum yang mengatasnamakan bela Islam, namun sebenarnya salah paham dalam memahami ajaran Islam hingga berujung pada paham yang salah. Medsos saat ini lebih banyak dimonopoli oleh meraka yang tidak pernah ngaji namun teriak lantang perihal ke-Islaman. Aksi mencaci maki, menghina, menyalah-nyalahkan bahkan lebih ekstrimnya mengkafirkan sesama muslim.

Baca Juga:  Minder Beragama

Beberapa waktu yang lalu, penulis membaca di platform instagram terdapat statement dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA selaku ketua umum PBNU yang menyatakan bahwa dalam Al Qur’an tidak ada ayat yang secara tersurat menyebutkan “Allah itu wujud (Ada)”. Lantas beramai – ramai oleh para netizen yang devisit ilmu, dangkalnya logika berpikir dan gagal paham menyerbu di kolom komentar dengan kata – kata yang kasar, buruk dan kontradiksi dengan ajaran Islam itu sendiri . Mereka (oknum) yang menurut hemat penulis tidak pernah mondok di pesantren, bermujalasah dengan orang – orang ‘alim dan jelas kurang wawasan membaca khazanah ke Islaman itu menunjukan kebodohan diri mereka secara nyata. Apa sebab?Coba anda renungkan, apakah Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghujat, menghina,mencaci maki? Jelas jawabannya tidak. Mencaci maki, menghujat dan menghina kepada umat agama saja tidak diperbolehkan apalagi terhadap orang Islam sendiri. Lantas, penulis berusaha berkomentar dengan bahasa yang ramah tanpa marah, proposisi humanis tanpa ekstrimis dan berargumentasi dengan ilmu bukan dengan emosi dan nafsu.

Pernyataan dari Kiai Said tidaklah salah, kalau mereka (netizen) dengan segala devisit ilmunnya tidak grusa – grusu (ceroboh), tapi sejenak berpikir dan merenung. Namun lagi – lagi karena pola pikir dan hati nuraninya sudah terpenuhi oleh rasa benci, iri dan emosi maka yang terjadi malahan unjuk kebodohan di ruang publik. Kalau mau jujur dan terbuka, sebenarnya memang tidak ada ayat yang secara tersurat menyatakan “Allah itu Wujud (Ada). Anda tidak percaya? Silahkan dapar dibuktikan dengan membaca seluruh ayat dalam Al – Qur’an mulai dari surah Al – Fatihah sampai dengan An-Nas, tidak akan anda jumpai ayat yang menyatakan “ Allah itu Wujud”. Yang anda temui diantaranya “Innallaha Sami’un ‘Alim, Innallaha Roufur Rohim dan seterusnya yang lebih mengarah kepada sifat selain Wujud.

Baca Juga:  Unorthodox; Pemberontakan atas Kemapanan Identitas Beragama

Perlu dipahami bersama bahwa Al Qur’an adalah Kalam Allah yang bersifat global, maka perlu adanya tafsir dan ta’wil untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Perlu mengetahu dan memahami ilmu – ilmu penunjang,diantaranya ilmu Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Nahwu Shorof, Mantiq, Balaghoh,Tajwid dan lain sebagainya. Tidak sampai disitu, dalam Ulumul Qur’an harus memahami asbabul nuzul, nasikh – mansukh, makkiyyah – madaniyah, am – khos, muthlaqoh – muqoyyadah, muhkam – mutasyabihat, haqiqi – majazi, ada yang Nash nya qoth’i dilalah ada juga zhanni dalalah dan seterusnya. Belum lagi dalam Ulumul Hadits perlu menyelami asbabul wurud, qoth’iyatul wurud – zhanniyatul wurud, hadits ada yang shohih,hasan,ahad,masyhur,dloif dan lainnya. Lantas darimana kita memahami bahwa Allah itu Wujud? Nah, kalau anda yang mengaku berhaluan ahlussunnah wal jama’ah tentunya mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dalam bidang teologi (Aqidah).  Dalam aqidah Asy’ariyah, setiap mukallaf wajib meyakini sifat wajib 20, sifat mustahil Allah dan 1 sifat Jaiz Allah, ditambah 4 sifat wajib Rusul, 4 sifat mustahil Rusul dan 1 sifat jaiz Rusul.

Dalam konteks ini, hanya akan menjelaskan mengenai sifat wajib bagi Allah. Adapun Sifat Wajib Bagi Allah berjumlah 20 sifat dengan diklasifikasikan menjadi 4 sifat, diantaranya (1). Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang berkorelasi dengan Dzat Allah. Sifat Nafsiyah itu sendiri hanya ada satu, yaitu Wajib. (2). Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menegasikan adanya sifat sebaliknya. Maksudnya sifat – sifat yang tidak layak dan tidak patut dengan kesempurnaan Dzat Allah. Sifat Salbiyah meliputi sifat Qidam, Baqo’, Mukholafatu Lil Hawaditsi. Qiyamuhu Binafsihi dan Wahdaniyah. (3). Sifat Ma’ani, yaitu sifat – sifat abstrak yang wajib ada pada Allah, sifat ini berjumlah 7 sifat diantaranya sifat Qudroh, Irodah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor. dan Kalam. (4). Sifat Maknawiyah, yaitu sifat kelaziman dari sifat ma’ani. Maksudnya sifat maknawiyah merupakan konsekuensi dari adanya sifat ma’ani. Misalnya sifat Ilmu (Ma’ani), meniscayakan Dzat yang bersifat dengannya mempunyai konsekuensi hukum  berupa Kaunuhu ‘Aliman (keberadaanya sebagai Dzat yang berilmu). Maka sifat Maknawiyah berjumlah 7 sebagaimana sifat Ma’ani.

Untuk lebih menyelami lautan ilmu mengenai aqidah (teologi), maka meniscayakan membaca khazanah ke- Islaman mengenai konsep Ketuhanan melalui beberapa kitab diantaranya kitab sulamul munawroq, Mi’yarul Ilmi dan kitab – kitab aqidah seperti Aqidatul ‘Awam, Kifyatul ‘Awam, Ummul Baroghin dan lainnya. Pun dalam berargumentasi tidaklah hanya mengandalkan retorika semata, namun perlu basis argumentasi yang logis dengan logika yang benar.

Oleh karena itu, tidak ada rumus cuti belajar ilmu Tuhan, dimanapun bersama siapapun dan kapanpun senantiasa terpatri dalam jiwa untuk mereguk ilmu pengetahuan. Dalam hidup yang penuh misteri ini, kebosanan, galau, kemalasan dan kemageran tentunya biasa menjalar dalam ritme hidup ini, akan tetapi spirit untuk menyadari akan kebodohan diri harus prioritas atas warna – warni entitas kemalasan dan kemageran dalam hidup. Alhasil untuk menopang wawasan intelektual, perlu memperbanyak literasi dan menjelajahi pengalaman dengan tetap mencari makna dari setiap langkah kehidupan, mengambil filosofi atas keadaan yang terjadi dan tetap menjaga nalar berpikir yang kritis dan kreatif agar tidak tergolong katagorisasi oknum cuti nalar, devisit ilmu ,dangkal pola pikir dan jumud dalam pola sikap yang tendensius memiliki kebiasaan mudah menyalahkan, menyesat – nyesatkan bahkan mangkafirkan sesama umat Islam.

Baca Juga:  Bermadzhab itu Mudah

Beragama secara rileks dengan memperlebar jaringan persahabatan, mendalami khazanah pengetahuan, mengubah pola pikir yang logis dan bersandarkan pada basis nalar yang sehat serta bersikap toleransi terhadap macam – macam sudut pandang dan pusparagam pendapat dan klaim seseorang individu maupun kelompok. Menjadi ummat yang berwawasan luas tidak mudah kagetan dan gumunan apalagi mudah terkontaminasi dengan informasi, doktrin maupun berita yang tidak jelas sumbernya. Beragama dengan ilmu akan menuntun pada jalan moderat dalam berpikir dan bertindak,sehingga akan lebih menikmati kehidupan ini dengan nafas Islam sebagai agama kasih sayang baik sesama umat Islam sendiri maupun antar umat beragama lainnya. Menghiasi berkehidupan di Negara Kesatuan Repulik Indonesia ini dengan sudut pandang kasih sayang dan toleransi.

Catatan yang tidak kalah penting, sebagai umat yang memiliki kesadaran kritis mengenai pentingnya bermedsos maka sudah sepantasnya penulis mengajak kepada anda sekalian para pembaca yang budiman rohimakumullah untuk jihad di medsos. Apa sebab? Hal ini untuk meramaikan jagad media sosial dengan hal – hal yang positif dan menebar kemanfaatan dan kemashlahatan sebagai umat beragama dan atas nama warga Indonesia. Lebih indahnya terdapat kabar bahagia, anda sekalian masih diberikan garansi hidup oleh Tuhan hingga kini, maka marilah mengisi dan menghiasi hidup dengan menebar kebaikan dan menolak mafsadah. Hal ini selaras dengan kaidah pokok “Jalbul Masholih wadaf’ul Mafasid” (meraih kemashlahatan dan menolak mafsadah).

Dengan demikian, apabila orientasi hidup untuk menarik kemashlahatan dan menolak mafsadah dilandasi dengan ilmu pengetahuan, maka outputnya menjadikan beragama dengan tenang tanpa melibatkan kekerasan, mencaci maki, menghina, profokasi, dan mengintimidasi bahkan diskriminasi. Menurut hemat penulis, Islam adalah agama yang memberikan garansi bagi pengikutnya untuk bersikap tawashut (moderat), tasamuh (toleransi)dan ta’addul (berkeadilan) serta tawazun (seimbang). [RZ]

 

Nur Kholis
Mahasiswa IAIN Pekalongan

Rekomendasi

1 Comment

Tinggalkan Komentar

More in Opini