Belajar Sopan Santun pada Nabi Khidir (Analisis Penggunaan Kata Iradah dalam Surah al-Kahfi)

Pilihan diksi, laksana memilih budi. Dalam bahasa Arab, penggunaan dhamir “Antum” ada yang menganggap sebagai ihtiram (memuliakan), walau yang khitab-nya (yang dituju) adalah satu orang, terkadang menggunakan jamak (plural), seperti Ilaikum, antum, nahnu, dan beberapa kata lainnya.

Dalam surat al-Fatihah, Kalimat “An-amta alaihim” “Yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, menyebutkan dan menampakkan kata “Engkau” yang telah memberi kenikmatan, sebagai pelaku. Tetapi pada Ayat berikutnya, seakan-akan tidak ada, disembunyikan. Ini belajar sopan santun dalam urusan kebaikan. Bila hal tersebut adalah kebaikan, maka Allah yang memberikan kebaikan tersebut, tetapi pada hal yang tidak baik, maka tidak menyebut asma-Nya.

Yang menarik dalam Surat Al-Kahfi terdapat satu kata (derivasi berbeda) dengan subjek berbeda. Dialog Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nabi Khidir AS memilih kata (diksi) yang digunakan dalam percakapannya dengan Nabi Musa AS yaitu kalimat;
(فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا)
“Aku bermaksud merusaknya..
(فَأَرَدْنَا أن يُبدِلَهُمَا)
Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya….
(فَأَرَادَ رَبُّكَ)
Maka Tuhanmu menghendaki..

Penggunaan kalimat di atas menurut Syekh Fadhil Shaleh al-Samraai bagaimana nabi Khidir bersikap dan berujar yang sangat baik (sopan santun) pada Allah SWT. Pada kalimat pertama فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا, kerusakan yang terjadi dengan melubangi perahu, ia nisbatkan kepada dirinya sendiri. Bahwa dirinyalah yang telah melakukan kerusakan, “Aku bermaksud merusaknya”.

Pada kalimat yang kedua فَأَرَدْنَا أن يُبدِلَهُمَا. Ketika peristiwa pembunuhan terhadap anak tersebut terlihat jelas, namun ada hal lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu menyelamatkan kedua orang tua anak tersebut dari kekafiran, maka Nabi khidir menggunakan “kami”, tidak seperti yang pertama “Aku”. Ada pelibatan pihak lain. Seakan-akan Nabi Khidir mengungkapkan “Saya yang (hendak) membunuhnya, karena Allah berkehendak menyelamatkan kedua orang tuanya dari kekafiran, dan Allah menggantinya dengan kebaikan yang lain”. Iradah (kehendak) membunuh itu datangnya dari Nabi Khidir, dan Iradah (kehendak) kebaikan untuk kedua orang tuanya itu datangnya dari Allah.

Baca Juga:  Ijtihad Umar ibn Khattāb yang Disalahpahami

Kalimat berikutnya, فَأَرَادَ رَبُّكَ. Pada kalimat ini, hanya Allah yang berkehendak, tidak melibatkan dirinya (Khidir), karena hanya kebaikanlah yang ada pada hal tersebut, tidak ada kemungkaran, baik kemungkaran secara logika atau secara syariat. “….. maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. Kehendak (Iradah) yang dilakukan oleh Nabi Khidir dengan membantu anak tersebut, murni karena hanya untuk kebaikan, walau dirinya yang melakukan kebaikan, tetapi ia nisbatkan (tujukan) kepada Allah, Allahlah yang berkehendak atas kebaikan-kebaikan itu. Ini sebagai jawaban Nabi Khidir kepada Nabi Musa, karena Nbi Khidir as membangun tembok rumah yang di sebuah pemukiman dan tidak ada satupun penduduk yang menerima mereka dengan baik dan ramah.

Pemilihan diksi yang cukup menarik, segala hal kebaikan yang dilakukan oleh Nabi khidir dikembalikan kepada Allah, sedangkan keburukan yang ia lakukan, ia kembalikan kepada dirinya. Allah ‘Alam Bishawab. []

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini