Entah saya bisa menulis materi tentang Islam yang secara mainstream dikaji oleh sarjana Islam. Saya sendiri tidak yakin dengan itu. Sebab dalam beberapa tulisan selalu kecenderungan analisis dari luar lingkaran. Iya, lebih tepat mungkin disebut sebagai orientalis. Walaupun saya bukan orang barat. Tapi untuk menghadapi tantangan itu, saya akan coba menulis sesuatu tentang Islam dan entitas-entitas mainstream di dalamnya. Walaupun tetap saja nuansa analisis orientalisnya masih ada.
Bagi saya, barat memang lebih menarik dibanding Islam. Khususnya dalam penalaran-penalaran yang dipakai untuk mengiris objek materi tertentu.
Sebagai orientalis ada yang perlu dipahami. Orientalis itu orang yang kritis terhadap timur. Khususnya dengan fenomena-fenomena yang muncul di dunia timur. Seperti misalnya kemunculan Islam sebagai agama yang mampu merevolusi secara sosial masyarakat Arab kala itu.
Kalau saya membahasakan orientalis adalah sarjana barat yang mempelajari timur. Apapun yang berkaitan dengan timur.
Dari definisi sederhana seperti dijelaskan di atas, kita patut dan boleh saja berpraduga bahwa orientalis punya agenda besar merusak Islam secara khusus. Praduga ini didukung oleh fakta-fakta empiris: dimana hasil karya para orientalis memang tidak selaras dengan magnus opus Islam sendiri. Salah satu karya yang perlu dicermati misalnya adalah menganggap Nabi Muhammad bukanlah yang profan. Ia hanyalah seorang manusia dengan kelainan jiwa dan bernafsu hewani (tinggi).
Jelas tidak akan bisa diterima akal. Islam sangat memuliakan Nabi Muhammad. Ia sangat profan. Tinda-tanduknya adalah uswah hasanah bagi umat muslim.
Tapi begitulah sarjana orientalis yang tak kenal dengan dunia profan. Analisisnya selalu kritis dan kalau bisa dikatakan melebihi analisis umat Islam itu sendiri.
Al-Ghazali dan Lanskap Orientalis
Sebenarnya, apa yang dilakukan orientalis ini ada benarnya juga. Al-Ghazali pernah sangat kritis terhadap Islam. Sampai pada akhirnya ia mengalami kegilaan dan kegelisahan batin yang amat sangat. Pada akhirnya semua itu disadari Al-Ghazali, bahwa dirinya selama ini tak mengenal Tuhan. Ia memutuskan untuk kembali ke jalan lurus.
Di jalan lurus itulah Al-Ghazali banyak menulis kitab yang bertentangan dengan jalan dirinya sewaktu muda. Seperti apa yang dilansir oleh Fahrudin Faiz bahwa Ghazali muda memang sangat giat terhadap ilmu. Apapun dilahapnya. Termasuk filsafat yang akhirnya dikritik di masa tuanya.
Sebagai penyuka Al-Ghazali, Ulil Abshar Abdalla, yang akrab dipanggil Gus Ulil sempat menguraikan bahwa mempelajari ilmu virologi adalah fardhu kifayah. Fyi, virologi itu adalah ilmu tentang virus. Kalau hari ini ya Virus Corona (Covid-19). Yang dimaksud Gus Ulil juga adalah ilmu virus Corona itu.
Al-Ghazali memang menyufi di paruh perjalanan terakhirnya. Ia banyak menghasilkan magnum opus yang sangat membantu Islam. Misalnya saja Ihya Ulumuddin, Tahfut Al Falasifah, dan Minhajul Abidin. Al-Ghazali menjadi tokoh sentral Islam dan bahkan ia dijuluki sebagai hujjatul Islam. Siapapun yang berhadapan dengan Islam, maka ia harus berhadapan dengan Al-Ghazali.
Tetapi ada hal yang menarik dalam proses perjalanan pemikiran Al-Ghazali ini. Ia sebenarnya, kalau rela dikatakan, adalah orientalis yang berasal dari dalam lingkaran. Ia adalah orang orientalis yang bukan dari barat. Ia kritis terhadap Islam sebelum para sarjana orientalis kontemporer itu bertanya-tanya soal Islam.
Sebenarnya banyak argumentasi yang menunjukkan kalau Al-Ghazali adalah orientalis. Tapi saya akan mencontohkan satu saja. Dalam karya Minhajul Abidin-nya, saya menemukan bahwa unsur utama sebelum kita beribadah adalah ilmu. Dalam perkataannya, diantara dua permata indah (ilmu dan amal), ilmu adalah permata paling indah.
Sementara dalam pembahasan yang lain, Al-Ghazali banya menukil keutamaan ilmu dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ia begitu kuat meyakini bahwa ilmu lebih penting daripada amal. Bahkan “tidurnya orang yang punya ilmu tidur lebih baik daripada orang sholat yang tak berilmu.”
Al-Ghazali juga menyatakan bahwa amal tanpa ilmu adalah kesia-isan belaka. Ini mengandung maksud bahwa segala amal yang kita kerjakan harus punya ilmunya, harus paham tujuannya dan mengenal tata caranya.
Inilah gambaran bagaiman Al-Ghazali sebenarnya adalah orientalis Islam yang berasal dari lingkaran. Ia punya tesis dasar yang kuat bahwa amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan belaka.
Jika lanskap pemikiran Al-Ghazali seperti ini ditarik dalam pertentangan orientalis dengan Islam maka akan ditemukan sintesa menarik. Saya punya imajinasi bahwa jika Al-Ghazali masih hidup dia pasti akan menjelaskan maksud kitab-kitabnya selama ini. Ia akan menjelaskan kitab-kitabnya dan pemikiran-pemikirannya secara komperhensif. Sebab, hari ini banyak orang mempelajari kitab dan pemikirannya dengan tidak mencantumkan era mudanya. Artinya masih setengah-setengah dan malu-malu.
Saya juga membayangkan jika umat Islam mampu mempelajari Al-Ghazali secara utuh maka Islam akan menjadi garda terdepan. Ia akan menjadi kapten dari para entitas-entitas lain. Bahkan, Islam benar-benar mendekati makna sempurna dari konsep rahmatan lil’lamin. Sebua peradaban akan muncul dengan kekuatan transendental-nya sehingga masyarakat tak pernah akan merasa anomali dan alienasi seperti sekarang ini.