Al-Ghazali dari Berkarya hingga Mengkritik

Faktanya tidak ada yang membantah kebesaran Al-Ghazali. pasalnya di bidang tasawuf, Ihya’ Ulumddin– karya monumental al-Ghazali yang di ampuh  secara daring oleh Gus Ulil era pandemi sekarang-, ia mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik Islam sejak dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Kitab Ihya‘Ulumuddin dipenuhi dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha, tawakkal, dan lain-lain diberikan pendasaran Qur’an dan Hadits. Dari sini tak keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf Al-Ghazali adalah khuluqi amali dan bukan falsafi.

Dari dulu hingga sekarang, Al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibnu Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan (kritik) terhadap Al-Ghazali. Namun, kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak menggoyahkan kedudukan Al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumddin terlalu kuat untuk di patahkan. Alih-alih patah, di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pikiran-pikiran sufistik Al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansi untuk hadir kembali. Ia menyuguhkan konsep cinta (mahabbah), tauhid (monoteisme), makhafah (takut), dan ma’rifah (pengetahuan).

Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk cinta kepada seluruh makhluk Allah. Bahwa siapa yang menyayangi Allah dengan sendirinya menyayangi makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dari konsep tauhid ini lahir misalnya semangat untuk menyatu dengan Allah dengan cara membersihkan diri dari dosa melalui medium tobat (taubat), tak mengikatkan diri pada harta dunia (zuhd) karena khawatir terjauh dari Allah, menyerahkan segala urusan kepada Allah (tawakkal), rela terhadap segala keputusan dan. Tangga-tangga spiritual ini sekiranya dijalankan secara konsisten akan mengantarkan seseorang pada derajat mengetahui Allah (ma’rifat Allah). Doktrin-doktrin spiritual seperti ini akan tetap berguna. Di tengah masyarakat modern yang kerap merasa teralienasi, kitab Ihya’ Ulmuddin seperti oase yang menyejukkan.

Al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang sangat  produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar Negara di Mu’askar maupun ketika sebagai profesor di Bagdad, baik sewaktu skeptis di naisabur maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang. Syekh Abdul Qadir Al-Idrus dalam ta’rif al-ihya fi fadha’il al-ihya menyatakan: ada tiga Muhammad dalam islam, yakni Muhammad bin Abdullah, penghulu segala nabi, Muhammad bin idris asy-syafi’i, penghulu segala imam, dan Muhammad Al-Ghazali, penghulu segala pengarang. Ungakapan Ismail bin Al-Hadrami ini, agaknya tak berlebihan. Kita tau jumlah buku yang di karang oleh Al-Ghazali begitu banyak dan pembahasannya juga beragam (tidak dalam suatu disiplin ilmu). Jumlah kitab yang ditulis Al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarah. Menurut ahmad daudy, penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang Al-Ghazali adalah yang di lakukan oleh Abdurrahman al-badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.

Dalam buku tersebut, Abdurrahmah mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya Al-Ghazali dalam tiga kelompok: Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang di ragukan  sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 buah kitab.Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri dari 31 buah kitab. Kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali tersebut meliputi berbagai bidang ilmu yang poluler pada zamannya, diantaranya tentang tafsir Al-Qur’an, Ilmu kalam, Ushul Fiqh, Fiqh, Tasawuf, Mantiq, Falsafah, dan lain-lain. Bahkan ada yang mengatakan karya Al-Ghazali di perkirakan mencapai 300 buah.[1] Karna itu, tak ayal lagi kalau ia mendapat julukan sang Hujjatul Islam.

Nama Imam Al-Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali) sangat populer di lingkungan umat Islam. Rasanya amat jarang pelajar Islam yang tak mengenal tokoh ini. Ia bahkan menempati kedudukan istimewa di hadapan umat Islam. Sejumlah kitab karya Al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab tasawwuf karya Al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitab Ihya‘ Ulumuddin.

Al-Ghazali kritik sampai tasawuf

Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap para pemikir filosof. Adapun yang dimaksud dengan para filosof disini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari yunani ( Sokrates, Aristoteles, dan Plato) didunia islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut Al-Falasifah. Dalam buku ini ia mendemostrasikan kepalsuan dalam filosof beserta doktrin-doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan menghabiskan waktu selama dua tahun.

Baca Juga:  Al-Ghazali antara Pengalaman dan Kreativitas

Setelah di hayati secara seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid Al-Falasifah (tujuan pemikiran para filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argumen yang dipergunakan para filosof. Hal itu didukung oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan, bahwa menolak sebuah mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama sedalam-dalamnya berarti menolak dalam kebutaan. Perlu dipahami pendapat yang seperti di atas perlu lebih dicermati, dari kehadiran buku maqasyid al-falasifat itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan tujuan filsafat para filosof, yang tentu saja menurut Al-Ghazali dan belum tentu cocok dengan pendapat para filosof. Pendapat ini dapat dibuktikan ketika ia mengkritik, bahkan mengkafirkan para filosof yang sebenarnya berbeda dari msksud para filosof itu sendiri.

Jika mencermati kegelisahan akademik Al-Ghazali dalam karya Magnum Opusnya, Tahafut Al-Falasifah, jelas sekali bahwa yang menjadi titik tumpu kritiknya terhadap para filsuf, adalah karena dia melihat perilaku para filsuf metafisika waktu itu telah menyalahi syari’ah.  Berangkat dari hipotesis bahwa perilaku para filsuf metafisika waktu itu telah menyalahi agama, Al-Ghazali kemudian tergerak untuk mengkaji dan menganalisis filsafat yang berkembang pada masanya. Logika Al-Ghazali bermula dari pemilahan ilmu menjadi dua macam, pertama ilmu rasional murni yang tidak mendapat dorongan dari syari’ah; kedua ilmu naqal murni. Tujuan dan keterlibatan keduanya berbeda. Ilmu yang pertama bergelut dengan persoalan keduniaan, seperti politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, dan ilmu yang kedua bergelut dengan kepentingan manusia diakhirat kelak, seperti ilmu hadits, tafsir dan tasawuf. Menurut Al-Ghazali kehidupan kedua inilah yang merupakan kehidupan hakiki bagi manusia. Atas dasar itu, maka ilmu yang hakiki yang mendapat restu tuhan menurut Al-Ghazali adalah ilmu yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yaitu ilmu naqal atau ilmu agama.

Dengan logika seperti ini, Al-Ghazali gelisah melihat serangan para filsuf yang menyepelehkan agama. Dia pun memutuskan untuk menganalisis pelbagai aliran filsafat. Dalm analisinya, Al-Ghazali  memetakan pemikiran filsafat kala itu mejadi menjadi tiga aliran. Pertama, materialisme (al-dariyyun), yang menolak keberadaan pencipta yang maha mengetahui dan maha mengatur, dan meyakini bahwa alam ada dengan sendirinya. Kedua, naturalisme (al-Thabi’iyyyun) yang acap kali menganalisis keagungan alam, hewan dan manusia. Namun akhirnya berpendapat bahwa ketika jiwa itu mati, ia tidak akan kembali lagi. Terlebih juga menolak keberadaan hari akhirat beserta unsur- unsur yang ada yang di dalamnya seperti, surga, neraka, hari kebangkitan, hari kiamat, hisab dan sebagainya. Ketiga, metafisika (al-ilahiyyun) yang acapkali menganalisis pelbagai pesoalan ketuhanan seperti Plato dan Aristoteles, namu  rancu dalam menganalisis pelbagai macam persoalan.

Dua aliran pertama dianggap zindiq oleh Al-Ghazali sehingga keduanya tidak perlu lagi disanggah. Yang perlu di sanggah adalah aliran ketiga, karena aliran ini berbicara tentang persoalan-persoalan ketuhanan yang bersinggungan dengan ajaran prinsipil dalam syari’ah islam, lebih-lebih diikuti oleh filsuf  muslim al-farabi dan ibnu sina. Terhadap aliran ini, Al-Ghazali membagi membagi menjadi tiga jenis: yang wajib dikafirkan, dibid’ahkan dan tidak wajib diingkari. Al-Ghazali mencatat empat macam ilmu yang dimiliki para filsuf kala itu: ilmu pasti (al-riyadiyat), logika (al-manthiqiyat) fisika (al-thabiiyat) dan metafisika (al-ilaiiyat) ilmu pasti yang terdiri dari matematika (al-hisabiyat) dan ilmu ukur (handasatun)  yang tidak mendapat sorotan serius Al-Ghazali, karena secara prinsipil ilmu ini dinilai tidak bertentangan dengan agama. Dari keempat ilmu itu, yang terkait dengan agama, baik dari persamaan maupun pertentangan, menurut Al-Ghazali adalah tiga ilmu lainnya: logika, fisika dan metafisika. Atas dasar itu, maka ketiga ilmu filsafat inilah yang menjadi sasaran keritik Al-Ghazali.

Baca Juga:  Para "al-Ghazali Kecil" di Nusantara

Al-Ghazali berpendapat bahwa kebanyakan keyakinan para filsuf dalam metafisika bertentangan dengan  kebenaran- yang benar hanya sedikit. Kebanyakan ilmu logika menurut Al-Ghazali berjalan di atas metode yang benar, sedang kesalahannya sangat jarang. Para filsuf berbeda pendapat dengan ahli kebenaran hanya dalam hal istilah dan penyajian, bukan terkait dengan makna-makna dan tujuan-tujuan ilmu ini hendak meluruskan metode-metode berargumen. Ketiga adalah fisika. Menurut Al-Ghazali, kebenaran (al-haqqi) di dalam ilmu ini bercampur aduk dengan kebatilan. Bahkan yang benar di dalamnya serupa dengan yang salah. Setelah mendeskripsi pemikiran para filsuf muslim, Al-Ghazali masuk lebih praktis lagi ke dalam persoalan-persoalan  kontroversial yang megemuka saat itu. Kitabnya, tahafut  al-falasifah yang menjadi inti kritik Al-Ghazali terhadap para filsuf, memuat dua puluh masalah. Tujuh belas masalah menyangkut persoalan yang wajib dibid’akan dan tiga masalah menyangkut persoalan-persoalan yang wajib dikafirkan.

Dari sekian persoalan ini, Al-Ghazali membagi persoalan pertentangan antara para filsuf  dengan para pemikir muslim lainnya terkait dengan tiga kategori persoalan: pertama perbedaan pemahaman tentang bahasa, yang menurut Al-Ghazali persoalan ini tidak perlu dipersoalkan, seperti penamaan pencipta alam dengan al-jauhar; kedua perbedaan tentang hal-hal yang tidak terkait dengan persoalan agama dan persoalan pembenaran tentang kenabian dan kerasulan, seperti teori filsuf tentang gerhana bulan; dan ketiga, persoalan yang terkait dengan hal-hal prinsipil dalam agama, seperti pencipta alam, pengetahuan tuhan dan kebinasaan jasad. Lebih lanjut, Al-Ghazali memberikan penilaian terhadap pemikiran filsafat. Menutut Al-Ghazali ada tiga kategori nilai pada pemikiran filasafat, yakni: pertama, pemikiran yang bid’ah. Persoalan yang masuk dalam kategori ini berjumlah sekitar tujuh belas masalah. Persoalan-persoalan ini tidak berkaitan dengan hal-hal yang prinsipil dalam agama. Kedua, pemikiran filsafat yang harus dipelajari, karena ia menjadi salah satu sarana mencapai pemikiran yang benar dan pemikiran ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, yaitu logika. Ketiga, pemikiran yang harus dikafirkan, terutama menyangkut persoalan-persoalan yang terkait dengan hal-hal yang prinsipil dalam agama. Persoalan yang terkait dengan ini adalah seperti tentang pengetahuan tuhan, kebaruan alam dalam kekekalan jiwa atau adanya hari kebangkitan.

Dalam pandangan Al-Ghazali, para filsuf berpendapat bahwa tuhan mengetahui sesuatu hanya terkait dengan hal-hal yang bersifat universal. Terhadap hal-hal partikural perbuatan manusia tuhan tidak mengetahuinya. Menurut Al-Ghazali pandangan ini demikian benar-benar salah dan membuat pengetahuan menjadi terbatas. Dalam pandangan Al-Ghazali, para ulama islam telah menyepakati bahwa Allah mengetahui setiap sesuatu. Setiap yang ada adalah lahir berkat kehendak tuhan, dan apapun yang ada di alam ini senantiasa ada karena kehendaknya.. Dia mengetahui semua yang ada di alam ini, karena sesuatu yang dikehendaki pasti diketahui oleh para menghendaki.

Begitu pula dengan kebaruan alam. Menurut pandangan para filsuf, sebagaimana dilansir Al-Ghazali, alam ini bersifat Qadim, kendati yang di qadim dalam pandangan mereka dalam arti esensi bukan terkait persoalan waktu. Secara esensial, alam ini telah ada sebelum diaktualkan ke dalam bentuk konkrit dan keberadaannya pada waktu itu bersifat potensial, hingga akhirnya tuhan mengatakan “Kun” jadilah, maka ia menampakkan diri secara aktual sebagaimana keadaannya sekarang. Yang terakhir adalah terkait dengan kebangkitan jasad. Apakah jasad itu kekal atau tidak dan apakah yang bangkit di alam kebangkitan besok jasadnya atau jiwanya. Menurut para filsuf, jiwa adalah kekal dan jasad bakal hancur tanpa bisa bangkit kembali. Menurut Al-Ghazali jasadlah yang akan bangkit kelak hari kebangkitan.

Baca Juga:  Al-Ghazali di Tengah Paradoks Agama dan Sains

Berdasarkan dari tiga hal inilah, Al-Ghazali kemudian memberikan penilaian “rancu” (tahafut) atas pemikiran para filsuf lantaran ketiganya telah ditetapkan secara normatif dalam al-Qur’an dan merupakan prinsip dasar syari’ah. Dalam pandangan Al-Ghazali, pemikiran para filosof bertentangan dengan syari’ah karena mereka karena mereka telah menyingkirkan ajaran-ajaran syari’ah, terutama prinsip dasar syari’ah. Pada akhirnya, filsafat mendapat label bid’ah dan sesat, sedangkan para filsuf mendapat label kafir dan zindik. Filsafat termarjinalkan dalam tradisi islam. Berbanding terbalik dengan status filsafat, ilmu-ilmu agama mendapat angin segar di kalangan masyarakat, dan Al-Ghazali tampil dengan label baru sebagai pembela agama dengan kitabnya, Ihya’ Ulumuddin.

Hal lain yang di kritik Al-Ghazali adalah Ta’limiyah-bathiniyah yang awalnya merupakan kelompok oposisi yang lahir bersamaan dengan kekalahan Ali bin Abi Thalib dari mu’awiyah. Para pendukung ali mendirikan sektenya sendiri yang di sebut syi’ah. Ada banyak aliran syi’ah, dan diantara ajarannya adalah ta’limiyah bathiiyah. Kelompok ini menyakini kebenaran agama hanya bisa ditemukan pada imam yang suci (imam ma’sum). Indra dan akal tidak bisa menemukan kebenaran. Hanya melalui imam ma’sum, kebenaran yang diajarkan tuhan di dalam kitab sucinya bisa ditemukan. Al-Ghazali menilai, kelompok ta’limiy bathiniyah mengklaim diri sebagai pemilik satu-satunya ta’lim dan penerima hak istimewa pengetahuan yang diperoleh dari imam yang ma’sum. Al-Ghazali menepis pandangan kelompok ta’limiyah bathiniyah ini. Menurut Al-Ghazali, ajaran rasul tidak hanya ditemukan pada imam yang ma’sum yang diyakni mewakili rasul, tetapi juga terletak di dalam diri setiap orang yang bersih hatinya. Orang yang bersih hatinya itu berasal dari mereka yang mendalami ajaran tasawuf.

Akhirnya, setelah malang melintir melakukan kritik terhadap berbagai aliran pemikiran islam kala itu, mencari kelebihan dan kelemahan masing-masing aliran itu, Al-Ghazali akhirnya menemukan suatu kelezatan (Dzauq) dalam tasawuf. Al-Ghazali menilai, hanya kelompok sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Sufi yang dimaksud adalah bukan hanya orang-orang yang hanya ahli berkata-kata, tapi metode yang ditempuh olehnya adalah metode praksis dan teoritis (amal dan ilmu) sekaligus.

Tasawuf menurut Al-Ghazali adalah bertauhid dengan sungguh. Karna pangkal dari seluruh ajaran tasawuf adalah tauhid. Bagi Imam Al-Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi. Untuk memudahkannya, sang hujjatul islam itu membagi tauhid ke dalam empat peringkat. Pertama adalah orang yang lisannya mengucapkan kalimat laa ilaha illaallah, tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak tembus ke dalam hati. Al-Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang[1]orang munafik. Kedua kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dan dibenarkan oleh hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam. Ketiga melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu. Inilah maqam al-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekat kepada Allah). Keempat bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah. Dalam peringkat ini, seseorang sudah tak melihat dirinya, karena yang terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tawhid, yang menurut Imam al-Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Ibn Al-Mansur Al-Hallaj. []

[1] Saya kutip dari buku Filsafat islam, prof. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. halaman 77-78.

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] dan lain-lain. Bahkan ada yang mengatakan karya Al-Ghazali di perkirakan mencapai 300 buah.[1] Karna itu, tak ayal lagi kalau ia mendapat julukan sang Hujjatul […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini