Akidah Imam Syafi’i dan Pendapatnya
Pendapat Imam Syafi’i terhadap Akidah Kaum Mu’tazilah

Pada awal berdirinya Daulah Abbasiyyah, yaitu pada paruh ketiga abad pertama merupakan masa kejayaan Islam dalam hal peradaban, pemikiran, budaya, dan ilmu pengetahuan. Imam Syafi’i hidup selama 54 tahun merasakan hal tersebut. Pada masa kejayaan ini kondisi kekuasaan dan politik sangatlah kokoh, sehingga berbagai macam peradaban kuno, yaitu peradaban Yunani, Persia, dan Hindu dapat hidup berdampingan di bawah lindungan agama baru. Mereka bersatu-padu tanpa menimbulkan konflik, kecuali dalam beberapa kondisi di antaranya ialah adanya sebagian orang yang tidak mau bersatu dengan Islam.

Islam mengalami kejayaan pasti memiliki sebab. Tidak mungkin Islam jaya tanpa didorong oleh kemajuan dalam beberapa hal. Adapun beberapa kemajuan yang membuat Islam berhasil meraih kejayaannya antara lain ialah kesuburan dan produktivitas akal, kemajuan ilmu pengetahuan, berkembangnya ilmu hadits, madrasah fikih, muktamar ilmu pengetahuan, pertemuan para ahli fikih, dan perhatian besar Ulama terhadap standarisasi pengambilan dalil (maqayis al-istidlal).

Kemajuan benar-benar dirasakan pada zaman ini. Akan tetapi, penyimpangan dan kesalahan dalam pemikiran juga muncul. Pada zaman Imam Syafi’i, muncul berbagai pemikiran dan aliran, salah satunya ilmu kalam yang didirikan oleh kaum Mu’tazilah. Orang-orang mulai membicarakan ilmu kalam, mulai dari apakah Al-Quran itu makhluk atau tidak sampai sifat-sifat Allah serta qadha dan qadar-Nya. Alih-alih menyukai ilmu kalam, Imam Syafi’i malah membencinya hingga beliau berkata ‘Tak ada yang lebih kubenci melebihi ilmu kalam dan orang-orang yang mendalaminya’.

Terlepas dari kebenciannya, Imam Syafi’i tetap mempelajari ilmu kalam untuk mengetahui apa tujuan dari ilmu kalam itu sendiri. Namun, ia tidak menemukan tujuan yang jelas dari ilmu kalam.

Baca Juga:  Kisah Perdebatan Akidah antara Izzuddin Bin Abdissalam dan Sultan Asyraf
Pendapat Imam Syafi’i terhadap Masalah Akidah

Imam Syafi’i memiliki beberapa pendapat dalam masalah akidah, yaitu Al-Quran bukanlah makhluk, kemungkinan seorang hamba melihat Allah, hal qadha dan qadar, sertapersoalan iman. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Quran merupakan kalam (perkataan) Allah dan bukan makhluk. Beliau bersandar pada dalil QS. An-Nisa ayat 164 yang berbunyi “dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”. Adapun kemungkinan melihat Allah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa di akhirat kelak orang-orang kafir tidak dapat melihat Allah dikarenakan terhalang oleh tirai. Sedangkan para wali Allah memiliki kesempatan untuk melihat Allah dengan keridaan.

Adapun terkait qadha dan qadar, Imam Syafi’i memiliki pendapat bahwa af’al (perbuatan-perbuatan) manusia diciptakan oleh Allah dengan kehendak-Nya dan usaha manusia itu sendiri. Manusia memiliki hak atas pilihan dan kehendaknya atas sesuatu, akan tetapi itu semua berada pada kehendak Allah dan pilihan-Nya, karena Allah adalah Maha Pencipta (manusia dan perbuatannya). Sedangkan Iman, Imam Syafi’i mempunyai pendapat bahwa iman ialah kepercayaan yang diikuti dengan perbuatan. Ia menguatkan pendapatnya dengan menyeru untuk mengikutinya. Jika iman meliputi kepercayaan dan perbuatan, maka ia akan bertambah dan berkurang sesuai dengan kadar perbuatan seorang manusia.

Pendapat Imam Syafi’i terhadap Khilafah

Di antara pembicaraan yang sering dibicarakan oleh ahli kalam dan kelompok-kelompok politik salah satunya ialah khilafah. Permasalahan khilafah masih ada sangkut-pautnya dengan ilmu kalam. Walaupun tidak masuk dalam ranah kajian ilmu fikih, Imam Syafi’i tetap memberikan pendapatnya dikarenakan beliau merasa bahwa masalah khilafah merupakan permasalahan agama yang harus ditegakkan. Imam Syafi’i mengemukakan pendapatnya bahwa orang-orang Quraisy memiliki hak atas imamah (kepemimpinan).

Pendapat Imam Syafi’i tersebut disandarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “siapa yang menghinakan seorang Quraisy, maka Allah akan menghinakannya”. Imam Syafi’i tidak mensyaratkan baiat untuk seorang khalifah sebelum menduduki jabatannya, karena kekhalifahan dapat terbentuk tanpa adanya baiat jika kondisinya darurat atau krusial. Hal yang paling penting menurut Imam Syafi’i ialah khalifah harus seorang yang berasal dari Quraisy dan ia didukung oleh masyarakat baik sebelum menjabat maupun sesudahnya.

Baca Juga:  Kesuksesan Asy-Syafi’i antara Kecerdasan Intelektual dan Kefakiran
Imam Syafi’i dan Ahlul Bait

Imam Syafi’i sangat mencintai ahlul bait (keluarga Rasulullah) dan meyakini kesucian mereka. Bahkan, beliau rela dianggap sebagai anggota kelompok Rafidah, jika yang mencintai ahlul bait adalah Rafidah. Beliau berkata “jika Rafidah itu ialah pencinta keluarga Muhammad, maka biarkanlah jin dan manusia menganggapku seorang Rafidah”. Imam Syafi’i memiliki bait-bait syair yang menggambarkan kecintaannya kepada ahlul bait, sebagai berikut:

إذا في مجلس نذكر عليا     # وسبطيه وفاطمة الزكية

يقال تجاوزوا يا قوم هذا     # فهذا من حديث الرافضية

برئت إلى المهيمن من أناس # يرون الرفض حب الفاطمية

Jika di satu majelis kami menyebut nama Ali

Serta dua anaknya dan Fatimah yang suci

Ada yang berkata, “wahai kaum abaikan ini…!”

Karena ini adalah obrolan kaum Rafidah

Di hadapan Allah, aku merasa terbebas dari dosa manusia ini

Yang menilai seorang yang mencintai keluarga Fatimah sebagai anggota kelompok Rafidah

Wallahua’lam. []

*Dinukil dari buku Biografi Imam Syafi’i karya Dr. Tariq Suwaidan

Syahrul Alfitrah Miolo
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama