Tulisan ini adalah ikhtisar dari kajian pertama Ihyā’ Ulūmiddīn karya Abu Hamid Al Ghazali yang diampu oleh KH. Dr. Ghazi Mubarak, wakil pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Bab yang beliau baca adalah Kitābu Asrāri al-Ṣaūm untuk menyesuaikan pada suasana bulan Ramadan yang sedang dijalankan oleh seluruh muslim di dunia ini. Selain untuk mengisi waktu libur akibat pandemi, membaca bab ini bertujuan agar para handai taulan senantiasa meningkatkan kualitas puasa dan tidak terus menerus berada pada tingkatan puasa awam.
Tanpa mengurangi rasa takzim hamba sebagai santri amatir, mencoba menerjemahkan kalimat-kalimat sang guru. Semoga bisa menjadi penyambung lidah yang menjembatani ide-ide keilmuan beliau pada khalayak umum. Tentunya dengan sedikit tambahan yang penulis ambil dari beberapa referensi.
Tak kenal maka tak sayang, jargon ini sejak saya kecil sampai sekarang masih tetap eksis dipakai. Begitupun untuk membaca kitab sakral ini kita harus mengenal empunya terlebih dahulu agar ada chemistry/keterhubungan batin antara pembaca dengan pengarangnya.
Hujjatul Islām al-Ghazālī setelah mencapai level ketenarannya mengajar di Universitas Nizhamiyah di Baghdad tidak lantas merasa puas. Alih-alih berbangga diri, ia justru merasa gelisah lalu menyendiri (uzlah) di beberapa kota salah satunya di Damaskus. Ia berkontemplasi tentang dirinya sendiri di menara masjid Jami’ al-Umawi sehingga melahirkan tulisan-tulisan sebagai artikulasi dari renungannya selama 10 tahun di tempat itu. Kitab Ihyā’ ‘Ulūmiddīn adalah salah satu karya al-Ghazālī yang paling spektakuler.
Imam al-Ghazālī dengan karya magnum opus-nya, Ihyā ‘ulūmiddīn menjadi rujukan pelbagai fan keilmuan, fikih, tasawuf, ilmu kalam, filsafat, kekeluargaan, peradilan, politik dan sosial. Hingga Imam Abū Zakariyā Muhyiddīn an-Nawawī pernah berkata kāda al-ihyā’ an yakūna Qur’ānan “Ihya’ hampir menjadi seperti al-Quran”. Kemiripannya pasti bukan dari segi melemahkannya (i’jāz) melainkan dari segi popularitas dan banyak memberi manfaat pada khalayak dalam berbagai lini kehidupan.
Bahkan Ibn as-Subki mengatakan لَوْ ذَهَبَتْ كُتُبُ الْإِسْلاَمِ كُلُّهَا وَبَقِيَ الِإحْيَاءُ لَأَغْنَى عَمَّا ذَهَبَ “Seandainya seluruh kitab islam tidak ada dan hanya tersisa kitab Ihya’ maka orang-orang muslim akan merasa cukup (untuk memenuhi kebutuhan mereka)”. Pujian-pujian ini bukan tanpa alasan, dari berbagai aspek kitab ini memiliki banyak keunggulan. Salah satunya dari segi kepenulisan, al-Ghazālī konsisten dalam sistematisasi penulisan. Di setiap awal bab ataupun sub babnya tak akan luput dari rujukan yang berasal dari al-Quran lalu al-Hadis, al-Atsar kemudian cerita tabi’īn atau kalam-kalam bijak bestari.
Selain itu, di setiap pendahuluan pembahasan argumentator Islam ini akan menggunakan kalimat-kalimat indah yang dalam ilmu Balaghah disebut barā’atu al-istihlāl (kemahiran memilih diksi dalam memulai pembicaraan), selain memerhatikan sajak al-Ghazālī juga menyisipkan klu-klu dalam badan pendahuluan sehingga pokok pembahasan bisa langsung ditangkap dari pendahuluannya. Alhasil kalimatnya menjadi indah dan bermakna. Salah satu contoh pendahuluannya dalam Kitābu Asrāri al-Ṣaūm “Kitab Tentang Rahasia Puasa”,
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَعْظَمَ عَلَى عِبَادِهِ الْمِنَّةَ, بِمَا دَفَعَ عَنْهُمْ كَيْدَ الشَّيْطَانِ وفَنَّه, ورَدَّ أَمَلَهُ وَخَيَّبَ ظَنَّهُ, إِذْ جَعَلَ الصَّوْمَ حِصْنًا لِأَوْلِيَائِهِ وجُنَّة, وَفَتَحَ لَهُمْ بِهِ أَبْوَابَ الجَنَّة, وَعَرَّفَهُمْ أَنَّ وَسِيْلَةَ الشَّيْطَانِ إِلَى قُلُوْبِهُمْ الشَّهَوَاتِ المُسْتَكِنَّة, وإِنَّ بِقَمْعِهَا تُصِبِحُ النَّفْسُ المُطْمَئِنَّةُ ظَاهِرَةَ الشَوْكَةِ فِي قَصْمِ خَصْمِهَا قَوِيَّةَ المُنَّةِ.
perhatikan setiap akhir iramanya yang diakhiri dengan ritme ‘nah’, dalam ilmu Balaghah tumpukan kalimat ini disebut saj’ (سجع) atau narasi yang diakhiri ritme yang monoton sehingga lafaz-lafaz terdengar lebih indah. tentunya bukan sekedar ‘bumbu’ kata melainkan kata yang dipilih akan menjadi kunci masuk pada keterangan yang akan dibahas.
Selain konsistensi dalam kemahiran memilih diksi yang indah, ulama kelahiran Ṭūsī ini juga sistematis dalam penulisan argumen-argumen yang dijadikan dasar pokok pikirannya. Ia mengawali dengan dalil-dalil al-Quran, al-hadis, cerita tabi’in kemudian kalam dari seorang yang bijak bestari.
Ada beberapa khas al-Ghazālī dalam Ihyā’ yang menjadi titik kritik bagi para ilmuan yaitu pencantuman hadis yang seringkali tergolong dalam kategori hadis daif/lemah dan maudū’. Syekh Ramadan al-Būṭī dalam Masyūrāt Ijtimā’iyah menjelaskan bahwa pencantuman itu tidak lantas menurunkan kredibilitas al-Ghazālī dalam berargumen karena hadis-hadis daif itu tidak dipakai dalam memutuskan hukum syariat melainkan dalam hal keutamaan amal/faḍāil al-a’māl.
Seyogyanya masih banyak sekali hal-hal yang masih belum terungkap dari al-Ghazālī dan karya fenomenalnya namun kalimat penulis kehabisan kata untuk menuliskan keistimewaan yang seakan tak kunjung menemukan akhir itu. Sekiranya tulisan ini cukup sebagai introduksi untuk selanjutnya beralih ke pembahasan yang dibaca oleh mukarram KH. Ghazi Mubarak yaitu Kitābu Asrāri al-Ṣaūm. [HW]
[…] Islam juga telah mengabadikan ulama-ulama Islam yang “gandrung” akan ilmu. Sebut saja al-Ghazali, hujjatul Islam pengarang kitab Ihya’ Ulumiddin. Kitab ini begitu populer di dunia Islam, […]
[…] ini terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Konteks ini, kisah yang diungkapkan Imam Al-Ghazali tentang Imam Syafi’i pada dasarnya juga pada […]
[…] terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tawhid, yang menurut Imam al-Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Ibn Al-Mansur Al-Hallaj. […]