Konsep Perdamaian Dalam Etika Immanuel Kant

Konflik sosial di Indonesia dalam beberapa hari terakhir semakin meningkat, dari mulai konflik yang dilatarbelakangi agama sampai konflik dilatar belakangi suku. Alih-alih virus corona tak henti-hentinya menyebar ke seantero dunia. Hal ini mengindikasikan dua hal, pertama semakin melemahnya kontrak sosial di masyarakat, dan kedua, lemahnya peran negara dalam menjamin keamanan bagi warganya.

Hari ini, perdamaian menjadi suatu hal yang langka dan keluar dari naluri manusia. Padahal, salah satu tugas manusia yang paling besar adalah menebarkan perdamaian. Perdamaian menjadi tanggung jawab kita semua, terutama sebagai umat beragama. Bagi Kant, perdamaian abadi itu mungkin, tetapi hanya dapat dicapai melalui kebijakan politik yang menempatkan diri di bawah paham kewajiban hukum murni.

Perdamaian bukanlah hal yang hanya sebatas kita perhatikan dan renungkan, tetapi perlu adanya upaya etis untuk menciptakan perdamaian itu  bersumber dari proses pemikiran yang mendalam atas moral individu.

Sekilas tentang Immanuel Kant

Immanuel Kant, selanjutnya disebut Kant, lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sekarang Kaliningrad). Dan meninggal di kota yang sama pada tanggal 12 Februari 1804. Kant dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda Konigsberg. Beberapa nenek moyangnya datang ke Jerman. Terlahir dalam keluarga yang tergolong kaum Pietis, sebuah sekte Protestan. Orientasi etis Pietis yang sangat kental dan tiadanya penekanan pada dogma teologis menadi sebuah ciri khas Kant, (Agama dan Perdamaian: Dari Potensi Menuju Aksi, editor Moch. Nur Ichwan dan Ahmad Muttaqin, hal 80).

Kant mengajar filsafat di Universitas Konigsberg setelah lulusa kuliah dari sana. Kant juga pernah menjadi tutor di beberapa keluarga aristokrat. Karirnya menjadi dosen selama lima belas tahun, sepanjang itu ia juga mengajar dan menulis tentang metafisika, logika, etika, dan sains-sains alam.

Baca Juga:  Peringati Harlah NU Ke-95, Merawat Perdamaian di Tengah Perbedaan menuju Kemandirian NU dan Perdamaian Dunia

Pada tahun 1770, Kant diangkat menjadi Guru Besar Logika dan Metafisika di Konigsberg, dan pada 1781 di menerbitkan magnum opus[1]nya, Critique of Pure Reason (Kritik atas Akal Budi Murni), selanjutnya disebut critique I. Dengan karya fenomental itu, Kant menjadi pendiri sekaligus pemuka madzhab filsafat baru, yang disebut Filsafat Kritis (Critical Philosophy), (Lewis White Beck, “Riwayat Hidup Kant dan Karya-Karyanya” .., xxxi).

Critique of Practical Reason (Kritik atas Akal Budi Praktis), selanjutnya disebut critique II, yang terbit pada tahun 1788. Pada tahun 1790, critique of Judgment melengkapi penjelasan Kant yang sistematis tentang pandangannya. Karya-karya Kant yang lain yaitu, Prolegomena to Any Future Metaphysics, Idea for a Universal History, Metaphysical Foundations of Natural Science, Religion within the Limits of Reason Alone, Perpetual Peace, dan lain sebagainya (H. B. Action, Dasar-Dasar Filsafat Moral, hal. 2).

Perdamaian dalam Filsafat Etika Kant

Secara garis besar, umumnya, pandangan-pandangan mengenai etika yang berkembang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu etika heonistik, deontologis dan utilitarian. Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia. Etika deontologis memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri dan tidak (murni) rasional, (Abdullah, M. Amin, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafar Etika Islam, hal 17). Adapun Etika utilitarian memandang manusia demi kepentingannya sendiri yang tak terbatas akan mentaati perintah-perintah Tuhan (Agama dan Perdamaian: Dari Potensi Menuju Aksi, editor Moch. Nur Ichwan dan Ahmad Muttaqin, hal 88).

Kant sendiri masuk dalam kategori etika deontologis, karena pandangannya mengenai etika bersifat fitri. Walaupun demikian, sumbernya tidak bersifat rasional maupun teoritis. Etika bukanlah urusan nalar murni, tetapi urusan nalar praktis. Hal ini disebabkan, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusaha merumus[1]kan etika, maka dengan sendirinya tidak akan sampai pada etika sebenarnya. Menurut Kant, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan dapat terjebak kedalam perhitungan untung-rugi. Bahkan, etika yang bersifat rasional itu dapat bermakna lebih dari sekedar untung-rugi.

Baca Juga:  Internalisasi Etika Utilitarian dalam Dinamika Pesantren

Pada hakikatnya, etika tidak hanya menyangkut dengan pengetahuan tentang baik dan buruk. Etika juga menyangkut analisis konseptual mengenal hubungan yang dinamis antara manusia yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri dengan berbagai dorongan eksternal. Dengan demikian, ada keterkaitan erat antara etika dan pola berpikir yang dianut oleh pribadi, kelompok atau masyarakat. Maka, hukum praktis mengacu hanya pada kehendak, terlepas dari apa yang diperoleh dengan kausalitasnya, dan orang tersebut dapat menafikan kausalitas ini, selama berkaitan dengan dunia indrawi, untuk memperoleh hukum-hukum yang murni (Immanuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi,  hal 32).

Sistem etika yang menempatkan manusia sebagai subjek atau pelaku yang aktif, dinamis, dan otonom sangat dikedepankan oleh Kant, tanpa perlu harus mengesampingkan nilai religiusitas seseorang. Di dalam konsepsi etika rasional Kant, kekuatan ajaran moral keagamaan terasa mengakar kuat dalam kehidupan kita. Konsepsi Kant tentang etika rasional memiliki strategi ganda.

Satu sisi, Kant  mendorong rasio manusia untuk mengkaji fenomena alam, manusia, dan kehidupan sosial tanpa sedikit pun dibayangi oleh hambatan skeptis dan psikologis. Namun, pada sisi lain ia dengan jujur dapat mengakui batas-batas tertentu wujud rasional, sehingga Kant membuka pintu hanya untuk mepostulasikan eksistensi Tuhan dan imortalitas.

Dalam puncak kematangan sistem etika rasional Kant, dimensi ketuhanan dan keagamaan mulai menemukan titik cerah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menghadapi berbagai macam tindakkan dan perilaku yang amoral; kekerasan, stigmasasi, penghakiman, dan lain sebagainya. Menghadapai kenyataan yang tidak bisa dihindari manusia kadang tergoda untuk jatuh ke dalam keputusasaan moral. Dengan adanya kenyataan hukum moral yang universal yang mengikat semua orang tanpa pandang bulu itu, setidaknya menjadi bukti otentik tentang keberadaan Tuhan.

Baca Juga:  Piagam Perdamaian

Dimensi ketuhanan ini sebenarnya yang dapat mendorong manusia untuk tidak begitu saja menyerah konyol kepada tuntutan keputusasaan moral. Dengan demikian, kita jangan ikut terjebak dalam lingkaran atau pusaran konflik sosial yang terjadi, tetapi justru harus dapat keluar, bahkan mendamaikan lingkaran konflik tersebut. Walaupun seluruh ide dan konsep dalam pikiran kita bersifat apriori, tetapi itu hanya dapat diwujudkan dengan adanya pengalaman.

Kant memandang bahwa prinsip moral mengakui bahwa konsep ini mungkin berdasarkan atas pencipta dunia memiliki kesempurnaan tertinggi. Zat ini haruslah Maha Mengetahui, untuk mengetahui perbuatan kita bahkan pada bagian-bagian yang paling pribadi dari niat kita dalam berbagai peristiwa. Jadi hukum moral, berdasarkan atas konsep kebaikan tertinggi sebagai objek akal budi praktis murni, mendefinisikan konsep Zat Pertama sebagai Zat Tertinggi (Immanuel Kant, Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj. Nurhadi,  hal 229). Aspek inilah yang dikatakan Amin Abdullah sebagai faktor yang paling dilupakan dalam etika Kantian. Kemampuan Kant menyisihkan ruang bagi religiusitas merupakan upaya yang luar biasa. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini