Sebuah pola hubungan yang sama tuanya dengan sejarah manusia sejak di surga sampai turun ke bumi dan disyariatkan secara legal formal adalah pernikahan.
Pernikahan, Anda tahu, yang sejauh ini dianggap sakral dan kudus, lantaran mengikat sepasang anak manusia dalam ikatan cinta suci dan perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha), yang disunnahkan oleh kanjeng Nabi, yang oleh Al-Qur’an, redaksi pernikahan sampai diulang sebanyak 23 kali dengan tujuan sakinah mawaddah wa rahmah, ternyata pernah mengalami pergeseran dan penyesatan di zaman Jahiliah.
Para lelaki pada masa Arab gurun belum tercerahkan oleh cahaya Islam sangat merendahkan kaum perempuan. Tak hanya dijadikan budak seks cum pekerja paksa tanpa gaji, perempuan bahkan lebih rendah dari puisi, lebih murah dari pedang, lebih nista dari keledai dan binatang peliharaan. Anehnya, para pemuka jahiliah berharap keturunan laki-laki dari perempuan! Setidaknya, terdapat empat jenis pernikahan di zaman Abu Jahal Abu Lahab merajalela.
Pertama, pernikahan yang dimulai dari pinangan kepada orang tua dan atau wali, membayar dan menunaikan mahar yang disepakati, lantas menikah di hadapan berhala-berhala dan diarak keliling Ka’bah.
Kedua, Suami memerintahkan istrinya pasca suci dari menstruasi untuk berhubungan badan dengan seseorang atau “suami bayaran” yang dianggap hebat dan terpandang hingga sang isteri hamil, kemudian sang suami menggaulinya seperti biasa. Hal ini dilakukan semata ingin mendapat keturunan yang baik alias bibit unggul dari cinta satu malam itu.
Ketiga, gerombolan lelaki berjumlah sepuluh orang (misalnya) yang menggauli seorang perempuan secara bergiliran, lantas setelah hamil dan melahirkan, maka sepuluh laki-laki tersebut dipanggil dan dikumpulkan secara bersamaan ke hadapan perempuan itu untuk ditunjuk salah satu dari mereka sebagai bapak biologis dari si jabang bayi oleh si perempuan, dan lelaki yang telah ditunjuk tidak boleh menolak.
Keempat, seorang perempuan tunasusila yang bersenggama secara sukarela dengan siapapun dan lelaki manapun yang menyukainya, tanpa ada kesepakatan apapun jika kelak si perempuan ternyata hamil dan atau melahirkan di kemudian hari.
Nah, Islam yang dibawa oleh baginda Nabi Saw, melarang cara-cara perkawinan tersebut kecuali pada jenis yang pertama dengan catatan menghilangkan tradisi mengitari berhala yang memenuhi sekeliling Kakbah.
Jelas bahwa spirit pernikahan dalam Islam adalah untuk memuliakan manusia, dan khususnya kaum Hawa. Poligami bagaiamana, apa masih bisa dianggap memuliakan perempuan?
Perlu diketahui bahwa di zaman Jahiliah Arab, para kepala suku, tetua adat, saudagar dan kalangan borjuis lazim memiliki 200 isteri, 100 budak wanita dan 300 gundik. Sehingga, Nabi Muhammad mencontohkan hidup monogami di tengah-tengah masyarakat poligam Mekah selama lebih kurang 27 tahun. Justru, poligami ala Islam (yang sangat menuntut kualifikasi ketat) membatasi secara revolusioner tradisi Jahiliah kala itu. Di sini, kadang kebanyakan kaum otak cingkrang gagal paham yang sok membela agama dan nyunnah Rasul.
Perihal tujuan pernikahan yakni sakinah mawaddah wa rahmah, sakinah maknanya tenang setelah terjadi gejolak, itu artinya sangat wajar jika dalam biduk rumah tangga terjadi perselisihan dan pertengkaran, untuk kemudian berdamai dan tenang, tidak jaim meminta maaf dan memaafkan. Mawaddah maknanya adalah jiwa yang bersih dari kehendak negatif dan keinginan yang buruk, meski sesekali jengkel dan kesal sering mewaranai dan mengguncang bahtera rumah tangga. Sedangkan rahmah atau cinta-kasih adalah bergaul dan berumah tangga atas dasar cinta dan niat ibadah, sehingga segala kelemahan dan kekurangan pada suami atau isteri dipandang dengan penuh cinta-kasih, tidak dengan kacamata kebencian nan picik.
Oleh karena itu, penting bagi suami-isteri mengingat mitsaqan ghalizha bahwa suami atau isteri adalah ayat suci, dengan cara memperbaharui niat menikah (sebagai ibadah) setiap hari. Berdasarkan pandangan bahwa isteri adalah ayat (sebagaimana Al-Qur’an), tidak mungkin seorang suami merendahkan dan menghina apalagi sampai menginjak-injak ayat suci, pun juga sebaliknya.