Tulisan ini lahir dari obrolan ringan malam, dengan segelas es kopi di tangan. Mengingat tanggal 8 Maret yang lalu adalah hari perempuan internasional, maka menarik sekali untuk menulis seputar feminisme. Yang saya tau, sampai detik ini feminisme masih saja menjadi kontroversi.
Apa sebetulnya feminisme?
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang memperjuangkan emansipasi atau persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria tanpa adanya diskriminasi. Inti dari feminisme adalah bagaimana perempuan harus memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan diri.
Terjadinya kontroversi seputar feminisme berawal dari kesalahfahaman dalam memahami tujuan dari feminisme itu sendiri. Sebagian orang beranggapan bahwa feminisme adalah sebuah ideologi kebencian yang bertujuan melemahkan laki-laki dan segala hal yang berhubungan dengan maskulinitas. Beberapa agama memang memiliki praktik yang sangat patriarki, tapi ada juga yang sudah menerapkan interpretasi ramah perempuan dalam praktiknya.
Dalam islam, topik feminisme sudah sering dibicarakan. Salah satu tokoh Islam yang terkenal aktif memperjuangkan hak-hak perempuan adalah Buyah Husein Muhammad, lewat Fahmina Institute dll.
Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan diri sudah banyak tertulis dalam nash-nash Al Qur’an ataupun kisah-kisah terdahulu. Diskriminasi yang dialami oleh perempuan terjadi bukan karena ikatan agama, melainkan budaya. Salah satu budaya yang terkenal dengan ke-patriarkisme-annya adalah budaya pesantren. Apakabar feminisme di pesantren?
Dulu, perempuan di lingkungan pesantren – baik para putri kyai maupun istrinya – hidup hanya untuk patuh terhadap orang tuanya. Lalu berganti patuh kepada suaminya setelah mereka menikah. Tetapi sepertinya Kyai Abbas punya pandangan lain. Saya tidak tau apakah orang-orang juga memperhatikan hal ini. Tetapi yang saya lihat, kyai Abbas dan anak cucunya begitu besar memberi kesempatan pada istri dan anak perempuannya untuk bergeser dari zona kasur-dapur-sumur.
Salah satu putri kyai Abbas diberi nama Sukainah. Besar kemungkinan nama Sukainah ini merupakan tafa’ulan/tabarrukan dari nama sayyidah Sukainah yang tidak lain adalah putri sayyidina Husein. Sukainah binti Husein terkenal sebagai perempuan cantik, cerdas, dan seorang penyair yang hebat.
Yang tidak bisa dilepaskan dari kisah Sukainah binti Husein adalah keberaniannya mengemukakan pendapat dan haknya sebagai seorang perempuan sesaat sebelum hari pernikahannya. Sosok perempuan cerdas itu mengajukan perjanjian pra-nikah. Sesuatu yang bahkan belum terfikir oleh wanita lain pada zamannya. Kisah Sukainah binti Husein sering dijadikan contoh oleh para feminis sebagai wujud keberanian perempuan dalam bersuara dan menuntut haknya. Mungkin dari sosok sayyidah Sukainah ini Kyai Abbas terinspirasi untuk menjadikannya nama putrinya.
Pandangan kyai Abbas seputar feminisme juga sepertinya menurun pada putra-putrinya. Salah satu putra kyai Abbas – Kyai Abdullah Abbas – memberikan kesempatan dan ruang gerak kepada istrinya – Nyai Zainab – untuk terjun ke masyarakat lewat organisasi di bawah bendera Nahdhatul Ulama. Jika dulu biasanya ibu nyai hanya mengajar mengaji, Nyai Zainab sudah berorganisasi.
Salah satu dawuh kyai Abdullah Abbas kepada istrinya yang terkenal adalah “Belum tentu sholat kita mengantarkan kita ke surga. Bisa jadi yang mengantarkan kita ke surga adalah dengan jalan ngladeni wong cilik”.
Sosok perempuan dari Bani Abbas yang aktif terjun ke masyarakat lainnya adalah Ny. Hj. Iim imro’ah. Beliau merupakan putri dari Kyai Mustamid bin Kyai Abbas. Lebih dari separuh hidup beliau dijalani sebagai guru, kepala sekolah, dan aktivis di Fatayat NU – Muslimat NU. Beliau juga pernah menjabat sebagai ketua pengurus cabang muslimat Kabupaten Cirebon.
Perjuangan Nyai Hj. Iim imro’ah ini juga diikuti oleh sosok wanita hebat lainnya, yakni Ny. Hj. Aan muzayyanah. Beliau merupakan istri dari Kyai Fahim Chawi putra dari Nyai Sukainah binti Kyai Abbas yang sudah saya ceritakan di awal tadi. Dalam proses kehidupannya, Nyai Hj Aan mendapat dukungan penuh dari suami untuk mengembangkan diri di luar perannya sebagai seorang istri dan ibu.
Dulu, di tahun 80-an, saat perempuan2 pesantren masih berdebat tentang boleh tidaknya sekolah, Nyai Aan sudah memilih jalan dakwah yang luar biasa. Beliau menyuarakan nilai-nilai islam lewat Lagu-lagu bernuansa Qoshidah. Dakwah lewat nada oleh kaum perempuan saat itu masih sangat jarang. Sampai sekarang, beliau masih aktif di berbagai kegiatan-kegiatan muslimat wilayah Jawa Barat.
Wanita-wanita hebat Bani Abbas ini adalah wujud nyata feminisme. Bahwa feminisme adalah sebuah ruang di mana perempuan mendapat hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. Mereka memiliki kesempatan yang sama dalam berpendidikan, menjadi pemimpin, terjun ke masyarakat, atau menentukan hidup yang seperti apa yang ingin dijalani.
Sampai sekarang, saya masih melihat sosok-sosok wanita hebat lahir dari keluarga Kyai Abbas. Tanpa mengesampingkan kodrat mereka sebagai wanita, dan peran mereka sebagai seorang ibu/istri, mereka tetap melanjutkan hidup untuk belajar, mengajar, berkembang, bermanfaat, dan berbahagia.
Sebagai penutup, saya tuliskan sebuah kalimat dari surat R. A Kartini untuk sahabatnya.
“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita seutuhnya.