Jilbab Syar'i: Melemahkan atau Menguatkan Iman?

Belakangan muncul istilah ramai yang menjadi buah bibir masyarakat. Istilah ini sangat berdekatan dengan masyarakat bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk meraup keuntungan. Tak lain tak bukan, istilah ini ialah ‘syariatisasi’. Dalam berbagai toko entah menggunakan platform online atau toko offline banyak sekali yang membubuhi dagangannya sebagai barang ‘Syar`i’. Anenhya, jilbab yang sangat ramai dipakai khalayak perempuan pun diperdagangkan dengan tambahan nomenklatur ‘syar`i. Seakan-akan ada jilbab yang tidak ‘syar`i.

Hal demikian tidak hanya muncul dan marak di dunia jual-beli namun juga kehidupan sehari-hari. Ragam bentuk jilbab pun dipolitisasi dengan hanya menampilkan jilbab syar`i adalah jilbab yang lebar nan panjang. Politisasi jilbab tersebut mengakibatkan banyaknya kasus diskriminatif terhadap pemakai ragam jilbab yang lainnya.

Menyoal jilbab kerap kali disandarkan pada salah satu ayat al-Qur`an, tepatnya Surat al-Ahdzab ayat 59. Berikut bunyi terjemahannya:

“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari ayat tersebut, dengan kedangkalan pengetahuan penus, maka dikutiplah penjelasan K.H Husein Muhammad yang termaktub dalam karyanya yang berjudul “Islam, Agama Ramah Perempuan”. K.H. Husein Muhammad memaparkan ayat tersebut sebagai seruan untuk membedakan perempuan budak dan perempuan merdeka, bukan untuk mendiskriminasikan budak, tetapi untuk pembeda agar perempuan-perempuan yang sudah dimerdekakan tak lagi menghadapi pelecehan-pelecehan dan kemungkinan diperbudak kembali.

Seolah-olah penjelasan tersebut memang mengarah pada bentuk kontrol terhadap perempuan. Namun, perlunya kita memahami asbabun-nuzul ketika ayat tersebut turun. Dengan memahami konteks budaya masyarakat yang menindas perempuan maka diperlukan upaya-upaya strategis untuk menciptakan perubahan terhadap budaya tersebut. Sehingga penjelasan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai kontrol atas perempuan, namun sebagai strategi untuk mewujudkan masyarakat yang setara dan adil tanpa penindasan.

Baca Juga:  Sayyidah Nafisah: Ahlu Qur'an yang Menggali Makam Kuburnya Sendiri

Namun, konteks hari ini berbeda, seperti yang dipaparkan di muka, makna jilbab dipolitisasi oleh sebagian kelompok. Mereka menganggap dirinya lebih ‘syar`i’ ketimbang varian jilbab lainnya. Memang, terkadang ada pula bentuk jilbab yang cenderung tidak melindungi aurat dengan sempurna malah memunculkan lekuk-lekuk tubuh yang mencolok.

Alangkah baiknya kita mengetahui khazanah secara meluas sehingga dapat terhindar dari kesombongan keimanan yang kerap kali menyerang dan membuat kita merasa paling suci dan benar sendiri. Pada akhrinya akan terjatuh pada kemalasan menengok pada keragaman keyakinan pada hal yang suci dan sakral

Konteks lokalitas memang menjadi pertimbangan dalam persoalan jilbab, namun jika menengok beberapa dasawarsa yang lalu bentuk jilbab tidak seperti sekarang. Jilbab dengan sederhana hanya menutupi rambut dan ada pula yang helaian rambutnya masih terlihat. Kita tentu tidak bisa melabeli pemakai jilbab seperti itu dengan label tidak ‘syar`i’. Alangkah su`ul adabnya ketika kita melabelinya sebagai tidak ‘syar`i’. Padahal orang-orang tersebut kebanyakan berangkat dari keluarga pesantren kuno dan tak sedikit juga merupakan pahlawan kemerdekaan.

Dalam tradisi lain pun, juga ditemukan kemiripan tentang penutup kepala ‘selembar kain’ ini. Padahal irisan kebudayaan timur tengah tidak hanya Arab Saudi namun terdapat banyak sekali kebudayaan lain yang memiliki corak yang sama. Katakanlah para suster dari umat Kristen dan Katolik pun memiliki penutup kepala yang tak jauh bentuknya dari jilbab. Pun, perempuan Yahudi setelah menikah juga mengenakan penutup kepala tradisional (Alfikar, 2023).

Maka, ketimbang sibuk mengatur bentuk hijab dan berkorespondensi dengan keimanan seseorang, seyogyanya kita belajar memahami dan menghormati perbedaan atas ‘selembar kain’ tersebut. Daripada memolitisasi bentuk hijab yang paling benar alangkah baiknya menghormati keragaman ciptaan Tuhan di balik setiap insan. Dengan begitu kita menyadari bahwa dibalik selembar kain terdapat keragaman pemahaman yang memiliki dasar tertentu. Dan sekalipun itu berbeda, itu adalah bentuk kekuasaan Tuhan atas keragaman ciptaanya. []

Satrio Dwi Haryono
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini