Manusia dari segi nurture, lahir (by given) telah memiliki ciri- ciri bawaan sendiri secara berbeda, seperti bentuk tubuh, kromosom, warna kuilit, dsb. Dari segi culture, manusia hidup dan dibesarkan juga pengaruh oleh lingkungan fisikal dan lingkungan sosial yang berbeda. Pengaruh keduanya, menjadikan manusia pada batas-batas tertentu memiliki kemiripan, kesamaan, atau perbedaan. Perbedaan seperti inilah yang dalam sejarah kehidupan mulai dikenal istilah kemajemukan. Hadirnya entitas kemajemukan dalam satu segi yang lain, menghadirkan dua sisi yang lain, menghadirkan dua sisi dari sebuah mata uang, yaitu permusuhan dan persaudaraan. Permususuhan terjadi sebagai akibat dari cara melihat diri (theself) terhadap sosok orang lain (the others) yang berbeda itu sebagai pihak yang di luar, yang berpeluang untuk mengancam, baik oleh atau atas nama perbedaan nurture maupun culture.
Perbedaan-perbedaan itu pada gilirannya, ditempatkan dan diposisikan sebagai pihak-pihak yang bisa mempersempit peluang, atau memperlemah keyakinan keagamaan. Inilah dibalik kemajemukan. Kemajemukan sebagai kondisi yang alami itu, melahirkan pengaruh-pengaruh yang berbeda-beda pula. Pengaruh kemajemukan dari suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Ada kalanya di dalam kemajemukan itu untuk wilayah-wilayah tertentu ditemukan konflik-konflik yang terbuka, tetapi pada wilayah-wilayah lain konflik tidak muncul secara terbuka (laten). Dengan kata lain, konflik terkadang muncul di permukaan dengan aksi-aksi kekerasan, terka-dang pula hanya dengan konflik yang tidak menampakkan aksi tertentu.
Konflik Sosial Keagamaan
Penganut agama adalah orang yang menyakini dan memper-cayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik atau buruk, yang didalam tren Islam disebut “amal perbuatan”. Darimana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflik intraagama atau disebut juga konflik antar mazhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama. Sebagaimana bentuk masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk baik dari segi suku, etnis, dan agamanya. Untuk itu manusia tidak dapat hidup hanya dalam satu suku, satu agama atau satu golongan, karena manusia tidak dapat hidup sendiri, maka manusia hidup dalam kelompok baik yang kelompok yang kecil seperti suku-suku yang terpencil maupun kelompok yang besar seperti pada negara-negara yang modern, hal ini sesuai dengan kondisi kemanusiaan.
Konsep dan Defenisi Konflik Sosial
Studi tentang konflik telah mengalami perkembangan pesat ketika muncul teori kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx.Meskipun teori kelas tidak secara langsung membahas konflik sosial, namun teori tersebut menjadi sumber dasar filosofis dan teoritis bagi teori konflik. Menurut teori kelas, masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas sosial berdasarkan nilai ekonomi dan sistem penguasaan alat-alat reproduksi. Di dalam relasi kelas-kelas sosial terdapat unsur dominasi oleh salah satu kelas terhadap kelas yang lain. Konflik merupakan sebuah fenomena sosial yang selalu hadir di tubuh masyarakat. Selama manusia hidup konflik akan selalu muncul, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Sebagai sebuah konstruksi sosial konflik mengalami transformasi makna dan definisi di dalam ruang, konteks dan struktur sosial yang berbeda-beda. Dengan kata lain konflik memiliki makna yang berbeda-beda dalam lintas budaya tergantung bagaimana masyarakat memahami dan menafsirkannya. Diana Francis mendefinisikan konflik sebagai per-cekcokan, perselisihan, atau pertentangan baik itu bersifat individual, kelompok atau institusional .Simon Fisher et al, mendefiniskan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Kebijakan Negara dan Konflik Sosial Keagamaan
Kebijakan negara cukup signifikan pengaruhnya dalam memicu aksi kekerasan yang dapat menimbulkan konflik sosial keagamaan. Ini dapat dilihat pada kebijakan negara terhadap kelom-pok Ahmadiyah. Pada tahun 2008 pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang “Peringatan dan Perintah kepada Penganut , Anggota, dan/atau Anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat”. Meskipun sudah ada jaminan legal terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, dalam tataran kehidupan praktis di masyarakat kita masih kerap menemukan tindak kekerasan dan diskriminatif yang mengatasnamakan agama tertentu.
sedangkan menurut Barge (1994) dalam setiap konflik sosial tidak terlepas dari beberapa unsur berikut:
- Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. jadi, ada interaksi antara mereka yang terlibat.
- Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan itulah yang menjadi yang menjadi sumber konflik.
- Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan/sasaran.
- Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan. ini meliputi situasi antarpribadi, antar kelompok, dan antar-orga- nisasi. []
DAFTAR PUSTAKA
Aqsha, Darul, Dick Van Der Meij, dan Johan Hendrik Meuleman. 1995. Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to March 1993. Jakarta: INIS.
Bagir, Zainal Abidin dkk. 2010. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. Yogyakarta: CRCS-UGM.