Konflik Sosial Keagamaan Islam Non-Mainstream dalam Masyarakat Majemuk di Indonesia

Manusia dari segi nurture, lahir (by given) telah memiliki ciri- ciri bawaan sendiri secara berbeda, seperti bentuk tubuh, kromosom, warna kuilit, dsb. Dari segi culture, manusia hidup dan dibesarkan juga pengaruh oleh lingkungan fisikal dan lingkungan sosial yang berbeda. Pengaruh keduanya, menjadikan manusia pada batas-batas tertentu memiliki kemiripan, kesamaan, atau perbedaan. Perbedaan seperti inilah yang dalam sejarah kehidupan mulai dikenal istilah kemajemukan. Hadirnya entitas kemajemukan dalam satu segi yang lain, menghadirkan dua sisi yang lain, menghadirkan dua sisi dari sebuah mata uang, yaitu permusuhan dan persaudaraan. Permususuhan terjadi sebagai akibat dari cara melihat diri (theself)  terhadap  sosok  orang  lain  (the  others)  yang  berbeda  itu  sebagai  pihak yang di luar, yang berpeluang untuk mengancam, baik oleh atau atas  nama  perbedaan  nurture  maupun  culture.

Perbedaan-perbedaan  itu  pada  gilirannya,  ditempatkan  dan  diposisikan  sebagai  pihak-pihak  yang   bisa   mempersempit   peluang,   atau   memperlemah   keyakinan   keagamaan. Inilah dibalik kemajemukan. Kemajemukan  sebagai  kondisi  yang  alami  itu,  melahirkan  pengaruh-pengaruh  yang  berbeda-beda  pula.  Pengaruh  kemajemukan  dari  suatu  wilayah  berbeda  dengan  wilayah  lainnya.  Ada  kalanya  di  dalam  kemajemukan  itu  untuk  wilayah-wilayah  tertentu  ditemukan  konflik-konflik yang terbuka, tetapi pada wilayah-wilayah lain konflik tidak   muncul   secara   terbuka   (laten).   Dengan   kata   lain,   konflik   terkadang  muncul  di  permukaan  dengan  aksi-aksi  kekerasan,  terka-dang   pula   hanya   dengan   konflik   yang   tidak   menampakkan   aksi   tertentu.

Konflik Sosial Keagamaan

Penganut  agama  adalah  orang  yang  menyakini  dan  memper-cayai  suatu  ajaran  agama.  Keyakinannya  itu  akan  melahirkan  bentuk  perbuatan  baik  atau  buruk,  yang  didalam  tren  Islam  disebut  “amal  perbuatan”.  Darimana  mereka  meyakini  bahwa  suatu  perbuatan  itu  baik   dan   buruk.   Keyakinan   ini   dimiliki   dari   rangkaian   proses   memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam  memahami  ajaran  agamanya,  sesuai  dengan  kemampuannya  masing-masing.  Akibat  perbedaan  pemahaman  itu  saja,  cikal  bakal  konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki  potensi  yang  dapat  melahirkan  berbagai  bentuk  konflik  (intoleransi).    Paling    tidak,    konflik    seperti    ini    adalah    konflik    intraagama  atau  disebut  juga  konflik  antar  mazhab,  yang  diakibatkan  oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama. Sebagaimana  bentuk  masyarakat  Indonesia  adalah  masyarakat  yang  majemuk  baik  dari  segi  suku,  etnis,  dan  agamanya.  Untuk  itu  manusia  tidak  dapat  hidup  hanya  dalam  satu  suku,  satu  agama  atau  satu   golongan,   karena   manusia   tidak   dapat   hidup   sendiri,   maka   manusia  hidup  dalam  kelompok  baik  yang  kelompok  yang  kecil  seperti suku-suku yang terpencil maupun kelompok yang besar seperti pada  negara-negara  yang  modern,  hal  ini  sesuai  dengan  kondisi  kemanusiaan.

Baca Juga:  Siapa yang Layak Berbicara Islam?
Konsep dan Defenisi Konflik Sosial

Studi  tentang  konflik  telah  mengalami  perkembangan  pesat  ketika  muncul  teori  kelas  yang  dikembangkan  oleh  Karl  Marx.Meskipun  teori  kelas  tidak  secara  langsung  membahas  konflik  sosial,  namun  teori  tersebut  menjadi  sumber  dasar  filosofis  dan  teoritis  bagi  teori konflik. Menurut teori kelas, masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas sosial berdasarkan nilai ekonomi dan sistem penguasaan alat-alat reproduksi. Di dalam relasi kelas-kelas sosial terdapat unsur dominasi oleh   salah   satu   kelas   terhadap   kelas   yang   lain. Konflik  merupakan  sebuah  fenomena  sosial  yang  selalu  hadir  di  tubuh  masyarakat.  Selama  manusia  hidup  konflik  akan  selalu  muncul,   tidak   terhindarkan   dan   sering   bersifat   kreatif. Sebagai sebuah  konstruksi  sosial  konflik  mengalami  transformasi  makna  dan  definisi  di  dalam  ruang,  konteks  dan  struktur  sosial  yang  berbeda-beda.  Dengan  kata  lain  konflik  memiliki  makna  yang  berbeda-beda  dalam lintas budaya tergantung bagaimana masyarakat memahami dan menafsirkannya.  Diana  Francis  mendefinisikan  konflik  sebagai  per-cekcokan,  perselisihan,  atau  pertentangan  baik  itu  bersifat  individual,  kelompok  atau  institusional  .Simon  Fisher  et  al,  mendefiniskan  konflik  sebagai  hubungan  antara  dua  pihak  atau  lebih  (individu  atau  kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang  tidak  sejalan.

Kebijakan Negara dan Konflik Sosial Keagamaan

Kebijakan    negara    cukup    signifikan    pengaruhnya    dalam        memicu   aksi   kekerasan   yang   dapat   menimbulkan   konflik   sosial   keagamaan.  Ini  dapat  dilihat  pada  kebijakan  negara  terhadap  kelom-pok  Ahmadiyah.  Pada  tahun  2008  pemerintah  dalam  hal  ini  Menteri  Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan  Bersama  (SKB)  tentang  “Peringatan  dan  Perintah  kepada  Penganut  ,  Anggota,  dan/atau  Anggota  pengurus  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  (JAI)  dan  Warga  Masyarakat”. Meskipun  sudah  ada  jaminan  legal  terhadap  hak  kebebasan  beragama   dan   berkeyakinan,   dalam   tataran   kehidupan   praktis   di   masyarakat   kita   masih   kerap   menemukan   tindak   kekerasan   dan   diskriminatif  yang  mengatasnamakan  agama  tertentu.

Baca Juga:  77 tahun Indonesia, Penting Konsolidasi SDM Pemuda di level Global

sedangkan menurut Barge (1994) dalam setiap konflik sosial tidak terlepas dari beberapa unsur berikut:

  1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. jadi, ada interaksi antara mereka yang terlibat.
  2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan itulah yang menjadi yang menjadi sumber konflik.
  3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan/sasaran.
  4. Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan. ini meliputi situasi antarpribadi, antar kelompok, dan antar-orga- nisasi. []

 

DAFTAR PUSTAKA

Aqsha, Darul, Dick Van Der Meij, dan Johan Hendrik Meuleman. 1995. Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to March 1993. Jakarta: INIS.

Bagir, Zainal Abidin dkk. 2010. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. Yogyakarta: CRCS-UGM.

Leni Mailani
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini