Umar bin Abdul Aziz dilahirkan pada tahun 61 H di Madinah Al-Munawawarah. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah ia seorang dermawan dan salah satu pejabat terbaik Bani Umayah yang menjabat gubernur di Mesir, dia pun dikenal sungguh-sungguh dan tekun dalam menuntut ilmu hadist Nabi SAW. Ibunya adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Abdul Al-Khathab, banyak pendapat mengatakan ibunya bernama Laila (Wibowo, 2018: 53).
Umar bin Abdul Aziz merupakan orang yang berada dalam mimpi khalifah Umar bin Khattab yang disebutkan bahwa akan ada anak laki-laki dari keturunanku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilannya. Semenjak kecil sudah dapat dibuktikan bahwa anak laki-laki itu adalah Umar bin Abdul Aziz, karena sejak kecil Umar bin Abdul Aziz sudah dididik oleh orang tuanya dengan baik.
Masa kecil Umar bin Abdul Aziz dipenuhi oleh kemewahan dan kenikmatan, karena Umar bin Abdul Aziz merupakan seorang putra mahkota. Terkadang kemewahan dan kenikmatan itu melebihi apa yang ia inginkan. Namun, kemewahan dan kenikmatan itu tidak membuat Umar bin Abdul Aziz sombong dan berfoya-foya. Umar bin Abdul Aziz tetap takut kepada Allah SWT dan tetap semangat dalam menuntut ilmu demi menumpas kebatilan.
Umar bin Abdul Aziz merupakan salah satu ulama yang mempunyai kedekatan dengan para khalifah. Umar bin Abdul Aziz juga merupakan orang yang berpengaruh dalam pemerintahan karena para khalifah sering meminta saran atau masukan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan politik. Mereka juga sering mengadakan musyawarah, yang dengan itu Umar bin Abdul Aziz memiliki tempat khusus di keluarga Bani Umayyah. Dengan itulah khalifah Abdul Malik lebih mengutamakan Umar bin Abdul Aziz daripada anak-anaknya sendiri, bahkan Umar bin Abdul Aziz dinikahkan dengan putri dari khalifah Abdul Malik yang bernama Fatimah. Kemudian, Umar bin Abdul Aziz diangkat oleh khalifah Abdul Malik menjadi kepala daerah dari sebuah daerah yang kecil di daerah Syam yang bernama Khanashirah yang termasuk wilayah Aleppo untuk melatih dan memberi kesempatan kepada Umar bin Abdul Aziz untuk mengelola pemerintahan.
Pada bulan Rabiul Awwal tahun 87 H, Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memberikan kekuasaan kepada Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah Al-Munawwarah yang saat itu berusia 25 tahun menggantikan Hisyam bin Ismail. Pada awalnya ia menolak, tetapi ia mau menerima jabatan sebagai gubernur Madinah dengan tiga syarat. Umar bin Abdul Aziz pada saat pengangkatan menjadi gubernur Madinah, umar memberikan tiga syarat, yaitu (Wibowo, 2018: 61):
Pertama, hendaklah ia memimpin dengan benar dan adil, tidak berbuat zalim kepada siapa pun, tidak boleh mengambil hak orang lain dari Baitul Mal, karena akan berdampak pada berkurangnya harta yang diberikan kepada khalifah dari Madinah; Kedua, diperbolehkan untuk melaksanakan haji pada tahun pertama kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, karena haji belum pernah dilaksanakan pada saat itu; Ketiga, diperbolehkan untuk memberikan bantuan kepada penduduk Madinah.
Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik menyetujui tiga syarat tersebut. Umar bin Abdul Aziz pun melaksanakan tugasnya di Madinah dan penduduk Madinah pun merasa senang dengan kepemimpinannya. Kemudian, Thaif digabungkan ke dalam wilayah kepemimpinannya dan ia menjadi penguasa seluruh kota Hijaz. Penduduk Madinah makin senang dengan pengangkatannya sebagai walikota.
Langkah pertama yang dilakukan Umar bin Abdul aziz setelah menjabat sebagai khalifah adalah ia mengumpulkan para ulama untuk memberi pendapat mengenai harta bendanya. Seperti itulah Umar, ia menempatkan para ulama sebagai penasehatnya untuk berbagai perkara yang ia hadapinya. Kedekatan Umar dengan para ulama tidak sebatas memberi petunjuk dan nasehat. Namun, para ulama juga berpartisipasi dalam struktur kepemerintahan Umar. Mereka menempati posisi yang paling penting dan berpengaruh terhadap siasat negara, yaitu jabatan gubernur di berbagai wilayah dan kepala Baitul Mal (Wahyuningsih, 2016: 94).
Fase kehidupan Umar bin Abdul Aziz terdiri dari dua fase, pertama fase pra menjadi khalifah yang mana Umar bin Abdul Aziz tetap sholeh walaupun ia hidup dengan kemewahan dan kenikmatan. Kedua, pasca menjadi khalifah yang mana Umar bin Abdul Aziz menjadi zahid dan jauh dari kenikmatan dunia. Menjadi seorang khalifah memalingkannya dari kehidupan dunia untuk totalitas dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Pada fase kedua inilah yang dapat membuktikan apakah Umar bin Abdul Aziz tidak mengambil gaji dari jabatan khalifah. Umar bin Abdul Aziz mulai muwujudkan mimpi dari Umar bin Khattab, yaitu untuk memenuhi dunia ini dengan keadilan. Umar bin Abdul Aziz memulainya dengan mengembalikan harta benda yang diambil secara zalim oleh para pejabat Bani Umayyah, seperti mengembalikan tanah, ladang dan harta benda lainnya. Keadilan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz ada dua, yaitu mencegah kezaliman dan menghentikan kezaliman dari orang yang menzalimi kepada orang yang dizalimi.
Hidup Umar bin Abdul Aziz tidak begitu lama, ia meninggal karena diracuni oleh seseorang, Ketika sedang sakaratul maut, Umar melihat anak-anaknya dan ia pun meneteskan air mata. Anak-anaknya berkumpul dan seraya Umar berkata ”wahai anak-anakku, aku dihadapkan dengan dua pilihan, pertama aku dapat menjadikan kalian orang-orang kaya, tapi setelah mati nanti aku akan masuk ke dalam api neraka. Kedua, aku meninggalkan kalian dalam keadaan fakir hingga akhir waktu, tapi setelah mati nanti aku akan masuk ke dalam surga. Maka, aku memilih pilihan yang kedua, karena kefakiran itu lebih aku senangi. Bangkitlah kalian, semoga Allah selalu menjaga kalian. Bangkitlah kalian, semoga Allah akan memberikan rezeki yang cukup kepada kalian” (Wibowo, 2018: 79-80).
Ada beberapa hal penting yang dapat menunjukkan bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak mengambil gaji dari jabatan khalifah, yaitu
Pertama, Umar bin Abdul Aziz sangat taat kepada Allah SWT. Ketaatannya itu membuat Umar lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Ketaatan dan ketakutannya kepada Allah SWT. menjadikan Umar memandang dunia ini penuh dengan kefanaan dan keabadian nanti akan ada di akhirat kelak. Kemudian, dikarenakan tanggung jawab sebagai khalifah juga Umar bin Abdul Aziz melakukan semua tugasnya sesuai dengan keridaan Allah SWT.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz merupakan seorang yang zahid. Kezuhudannya berlandaskan kepada Al-Quran dan Sunnah, dengan meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya, tidak merasa senang dengan apa yang ada (kekhalifahan), dan tidak bersedih akan sesuatu yang telah hilang dari perkara-perkara duniawi. Dia meninggalkan perkara-perkara duniawi yang sebetulnya biasa ia dapatkan, karena disibukkan dengan perkara yang memberikan kebaikan akhiratnya dan menggapai apa yang ada di sisi Allah (Wibowo, 2018: 83). Zuhud yang paling menonjol pada diri Umar bin Abdul Aziz adalah zuhud harta. Kekayaan Umar sebelum menjabat sebagai khalifah adalah empat puluh ribu Dinar. Namun, setelah wafat hanya tersisa empat ratus dinar saja (Nurjannah, 2019: 23-24).
Ketiga, Umar bin Abdul Aziz mengatur kekayaan negara secara adil. Ia berusaha mengatur kekayaan yang didapat secara adil dan diridai oleh Allah SWT. Pembagian ini bertujuan untuk penegakan kebenaran dan keadilan serta untuk pemerataan sosial, karena Umar menganggap bahwa sebab dari perbedaan strata sosial adalah buruknya mekanisme pembagian keuangan. Umar mengatur keuangan dengan dua cara, yaitu pertama melarang para pejabat pemerintahan mengambil keuntungan dari kekayaan masyarakat, kemudian menarik kepemilikan yang pernah diambil secara zalim, lalu mengembalikannya kepada pemiliknya. Apabila tidak diketahui pemiliknya akan diserahkan ke Baitul Mal. Umar bin Abdul Aziz mengembalikan semua harta yang didapat secara zalim ke Baitul Mal dan mengambil zakatnya untuk satu tahun saja (Audina, 2018: 68). Kedua, menambah jumlah bantuan kepada masyarakat miskin, meningkatkan perhatian kepada mereka dan memberikan jaminan atau asuransi yang layak kepada masyarakat miskin melalui zakat.
Keempat, Umar bin Abdul Aziz memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui bidang ekonomi. Umar rela melakukan apapun untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, meskipun pendapatan negara berkurang. Umar bin Abdul Aziz rela membayar hutang rakyatnya agar mereka bisa bebas dari hutang. Umar bin Abdul Aziz menyampaikan pesan singkat kepada para pegawainya, “bantulah orang-orang yang terlilit hutang!” Lalu salah satu pegawainya ada yang menanggapinya, “kami mendapati orang yang memiliki hutang, tapi masih mempunyai tempat tinggal, pembantu, binatang kendaraan serta perkakas rumah tangga.” Umar membalas surat itu, “seorang muslim itu harus mempunyai rumah untuk berteduh, pembantu yang membantunya sehari-hari, kuda untuk berjihad melawan musuh, serta perabotan untuk rumahnya. Maka yang seperti itu jika memiliki hutang tetaplah seorang yang perlu dibantu (Asman, 2018: 25). Umar bin Abdul Aziz juga melarang dan menghapus kebijakan yang menyulitkan rakyat, seperti retribusi. Ketika retribusi dianggap sebagai salah satu bentuk kezaliman dan penganiayaan, karena retribusi adalah pajak yang diambil dari orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama. Ketika zakat, jizyah dan pajak atas ahlu dzimmah dianggap sudah cukup, maka Umar melarang keras penarikan retribusi (Audina, 2018: 68).
Melalui pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak mengambil gaji dari jabatan khalifah. Hal tersebut dibuktikan dengan, Umar sangat takut kepada Allah SWT; Umar merupakan orang yang zuhud; umar lebih mengutamakan akhirat daripada dunia; dan Umar mengatur pembagian kekayaan, dan Umar sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Jadi, melalui analisis-analisis di atas, semua kekayaan Umar bin Abdul Aziz itu tidak ia ambil, tetapi dibiarkan berada di Baitul Mal, kemudian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. []