7 Jurus Sukses menjadi Muallif
1. Mulai sekarang

Dalam dunia tulis menulis, seribu teori tanpa praktek tak berguna. Jika ingin menjadi penulis, praktek langsung adalah kuncinya.

Seseorang akan menemukan gaya khas menulisnya yang tidak sama dengan orang lain jika ia memulai proses menulis.

Allah akan menunjukkan jalan bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam menulis. Kegagalan demi kegagalan tidak mematahkan semangat dalam menulis. Justru akumulasi kegagalan-lah yang membentuk skills dan gaya khas menulis seseorang.

Bacalah tulisan KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Nurcholis Madjid, Prof. M. Quraish Shihab, Emha Ainun Najib, dan tokoh yang lain. Mereka punya kekhasan dalam menulis yang merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada mereka setelah melalui proses perjuangan panjang.

2. Fokus

Menulis membutuhkan pikiran yang fokus. Fokus adalah totalitas hati, pikiran, dan fisik dalam mengerjakan tugas menulis. Jika seseorang tidak fokus, maka hasilnya tidak maksimal dan terancam tidak berhasil.

Kesibukan manusia tidak pernah berhenti. Oleh sebab itu, penulis selalu menerapkan the power of deadline sebagai target yang harus dipenuhi dengan mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki.

Kesibukan kita tidak ada apa-apanya dibanding dengan kesibukan Gus Dur, Kiai Sahal, Prof. Quraish, Cak Nur, Cak Nun, dan tokoh-tokoh nasional. Mereka mampu berkarya besar di tengah padatnya kegiatan yang harus mereka jalani setiap waktu.

Jadi, masalah utama bagi kita sebenarnya adalah kemalasan dan suka menunda-nunda yang harus dihilangkan jika kita ingin menjadi penulis seperti mereka. Penyakit laten ini disembuhkan dengan berlatih gigih setiap waktu meskipun tantangan terus menghadang.

Menulis melatih kita menghargai waktu, memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang positif-produktif, dan menghindari hal-hal yang tidak produktif.

Baca Juga:  Mentas dari Kegagalan
3. Percaya diri

Penulis adalah sosok yang percaya diri. Susah menjadi penulis jika dalam dirinya justru ada penilaian negatif dan under estimate.

Percaya diri sangat penting bagi seorang penulis supaya mampu menuangkan gagasan-gagasan segar dalam tulisan yang inspiratif.

Pantangan seorang penulis adalah hal-hal yang membunuh mentalnya. Menilai karyanya jelek, tidak pantas, tidak standar, tidak punya bakat dan lain-lain adalah contohnya. Seorang penulis harus mengapresiasi karyanya sendiri sebelum diapresiasi orang lain sehingga ada energi dan motivasi berkarya lebih bagus terus menerus sepanjang hayat.

4. Berguru Kepada Siapa Saja

Seorang penulis seyogianya berpikiran terbuka sehingga bisa belajar kepada siapapun, di manapun dan kapanpun.

Penulis ketika masih studi di Jombang, berguru kepada dua guru dalam menulis, yaitu KH. Ishomuddin Hadziq (Gus Ishom), cucu Hadlratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, dan KH. A. Mustain Syafii (pakar tafsir aktual) yang merupakan salah satu kiai di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Setiap hari jum’at biasanya penulis shilaturrahim kepada dua tokoh ini untuk berguru bagaimana cara menulis yang baik. Saran dan bimbingan keduanya sangat terasa dalam proses menulis sampai sekarang.

5. Mulai Dengan Meringkas

Dalam konteks pesantren, para santri bisa meniru Imam Zakariyya Al-Anshari yang suka meringkas banyak kitab. Tahrir dan Lubbul Ushul adalah karya Imam Zakariyya Al-Anshari dengan meringkas karya Imam Abi Zur’ah dan Imam Taajuddin As-Subki.

Tentu hal ini membutuhkan kesungguhan dan ketekunan dalam memahami, meringkas dan membuat kesimpulan. Untuk memiliki kemampuan meringkas seperti Imam Zakariyya Al-Anshari membutuhkan tekad dan totalitas dalam berproses.

Meringkas kitab Taqrib, Jurumiyah, Alfiyyah, Aqidatul Awam, dan Bulughul Maram adalah menu latihan menantang bagi santri sekarang.

Baca Juga:  Bersabar dalam Ketidaknyamanan
6. Selalu Dikoreksi dan Direvisi

Tulisan yang bagus adalah tulisan yang dikoreksi dan direvisi terus menerus. Jika banyak koreksi dan revisi, maka kualitas tulisan semakin baik.

Draf karya sebelum dicetak bisa diberikan kepada orang-orang yang punya kepakaran untuk dikoreksi. Semakin banyak koreksi semakin baik sebuah karya.

Namun harus ada target waktu. Tidak ada sesuatu yang sempurna. Pasti ada kekurangan setelah revisi demi revisi. Oleh sebab itu, jika dirasa sudah maksimal, maka tulisan langsung dikirim ke penerbit untuk dicetak atau dicetak sendiri.

Butuh kenekatan mencetak naskah sendiri. Melihat naskah tercetak ada rasa kepuasan intelektual. Kepuasan intelektual dalam hal ini lebih dominan dibanding kepuasan yang lain.

7. Terus belajar dan Tidak Boleh Sombong

Menulis membentuk mental pembelajar seumur hidup. Ia merasa bodoh, kurang ilmu, dan miskin wawasan, sehingga dimanapun, kapanpun, dan kepada siapapun, ia belajar, menimba ilmu.

Dimanapun berada, ia jadikan sumber ilmu, kearifan, dan kebijaksanaan. Ia sosok yang rendah hati, jauh dari sempurna, dan selalu berusaha menyempurnakan ilmu dan skill-nya sepanjang waktu.

Seorang penulis harus menyerap ilmu dari siapapun dan menyeleksinya secara langsung. Setelah itu, ia tuangkan gagasan-gagasan segar solutif transformatif sesuai dengan keyakinannya atas kebenaran ilmu tersebut.

Percayalah, dengan keyakinan kuat, cita-cita menjadi penulis akan dikabulkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, amiin.

Ingat dawuh Syaikh Syarafuddin Yahya Al-‘Amrithi:

اذ الفتى حسب اعتقاده رفع – وكل من لم يعتقد لم ينتفع

Pemuda diangkat derajatnya sesuai kadar keyakinannya.
Setiap orang yang tidak punya keyakinan, maka ia tidak bisa mengambil manfaat. []

Dr. H. Jamal Makmur AS., M.A.
Penulis, Wakil Ketua PCNU Kabupaten Pati, dan Peneliti di IPMAFA Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini